Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Lail Yang Tak Menangis

Rafi semakin sering melihat Lail di rumah sakit darurat. Gadis itu selalu bergerak. Seperti bayangan yang cekatan, Lail melangkah di antara brankar-brankar yang penuh sesak, menenangkan anak-anak yang ketakutan, atau membisikkan doa-doa kepada mereka yang nyaris putus asa. Rafi memperhatikan bagaimana Lail selalu tampak tenang, bahkan di tengah kekacauan, bahkan ketika suara bom terdengar nyaring di kejauhan.

Wajahnya yang tersembunyi di balik niqab hitam seolah menjadi perisai, menyembunyikan badai apa pun yang mungkin bergejolak di dalam hatinya. Namun, mata itu. Mata Lail adalah jendela ke sebuah lautan luka yang tak terhingga, namun juga ke sebuah ketabahan yang luar biasa.

Suatu pagi, Rafi melihat Lail duduk di sudut ruangan, di samping seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun yang kehilangan ibunya dalam serangan semalam. Anak itu tidak menangis, hanya menatap kosong ke depan. Lail tidak mencoba membujuknya bicara. Ia hanya duduk di sana, diam, sesekali mengusap punggung anak itu dengan lembut.

Di tangannya, tasbih itu tak pernah lepas. Jemarinya bergerak pelan, menghitung butiran-butiran doa. Ada kedamaian yang terpancar dari keberadaan Lail, sebuah aura yang membuat orang di sekitarnya merasa sedikit lebih aman, sedikit lebih tenang.

Rafi mendekat. "Bagaimana keadaannya, Lail?" bisiknya, menunjuk ke arah anak itu.

Lail menoleh, matanya sedikit memerah, namun tetap kering. "Dia syok, Akhi. Kita harus memberinya waktu. Hati anak-anak di sini terlalu sering terluka."

"Aku tidak melihatnya menangis," kata Rafi, ada nada keheranan dalam suaranya.

"Menangis membutuhkan energi yang banyak, Akhi Rafi. Dan terkadang, air mata itu sudah kering. Mereka terlalu banyak menangis." Lail menjawab dengan suara pelan, namun penuh makna. "Seperti sungai yang sudah mengering. Kita hanya bisa berdoa agar Allah memberi mereka kekuatan."

Rafi terdiam. Kata-kata Lail menusuk langsung ke hatinya. Ia tahu, Lail sendiri adalah contoh nyata dari apa yang ia katakan. Rafi belum pernah melihat Lail menangis. Ia tahu ayah dan adik Lail syahid. Ia tahu Lail adalah penyintas yang melihat terlalu banyak kengerian. Namun, gadis itu tak pernah menunjukkan air mata. Keikhlasannya, kesabarannya, dan ketegarannya di tengah semua penderitaan ini membuat Rafi semakin mengaguminya.

Ia mencoba membayangkan bagaimana rasanya berada di posisi Lail. Kehilangan keluarga, hidup di tengah perang yang tak berkesudahan, dan masih memiliki kekuatan untuk terus berjuang, terus memberi, terus berzikir. Rafi merasa kerdil. Ia, yang datang dengan beban masa lalu dan rasa bersalah, seringkali masih berkutat dengan egonya sendiri. Sementara Lail, yang telah kehilangan segalanya, seolah telah melampaui rasa sakit dan menemukan ketenangan dalam penyerahan diri total kepada Allah.

Beberapa hari berikutnya, Rafi semakin sering berinteraksi dengan Lail. Bukan dalam obrolan panjang, melainkan dalam bentuk kerja sama saat merawat pasien. Lail selalu ada di sana, siap membantu, sigap memberikan informasi tentang pasien, dan seringkali, memberikan semangat kepada mereka. Ia tidak banyak bicara tentang dirinya, tapi tindakannya berbicara banyak.

Rafi menyaksikan Lail saat membantu seorang ibu melahirkan di tengah kondisi yang serba terbatas. Di saat-saat genting itu, Lail adalah penenang, membacakan doa-doa untuk sang ibu, menuntunnya untuk tetap kuat. Ketika bayi itu akhirnya lahir, Lail adalah orang pertama yang mengumandangkan azan di telinga mungilnya, suaranya bergetar namun syahdu. Rafi melihat keajaiban kehidupan lahir di tengah kehancuran, dan ia melihat peran Lail sebagai perantara keajaiban itu.

Ada satu insiden yang sangat membekas di benak Rafi. Malam itu, serangan udara kembali terjadi, lebih parah dari sebelumnya. Rumah sakit darurat bergetar hebat. Listrik padam. Dalam kegelapan dan kepanikan, seorang perawat muda histeris. Ia tidak bisa lagi menahan tekanan. Lail segera menghampirinya. Tanpa berkata apa-apa, Lail memeluk perawat itu erat. Ia tidak mengucapkan kata-kata penghiburan yang klise. Ia hanya membiarkan perawat itu menangis di bahunya, sementara tangannya terus berzikir, mengusap punggung perawat itu.

Perlahan, tangisan perawat itu mereda. Ia menemukan kekuatan dalam keheningan Lail.

Rafi melihat itu. Lail tidak perlu kata-kata. Kehadirannya, ketenangan batinnya, dan ketaatannya kepada Allah adalah sumber kekuatan bagi orang lain. Ia tidak hanya merawat luka fisik, tetapi juga luka jiwa. Ia tidak hanya memberi obat, tetapi juga memberi harapan.

Rafi menyadari bahwa ia tidak hanya mengagumi Lail, tetapi ia juga belajar banyak darinya. Ia belajar tentang kesabaran sejati, tentang keikhlasan yang tanpa pamrih, dan tentang bagaimana iman bisa menjadi jangkar di tengah badai. Masa lalu Rafi, yang dipenuhi dengan pencarian kesenangan duniawi dan kegelisahan, terasa semakin jauh. Di samping Lail, di tengah Gaza, ia menemukan esensi kehidupan yang sesungguhnya.

Pernah suatu kali, Rafi bertanya kepadanya, "Lail, bagaimana kamu bisa begitu kuat? Setelah semua yang terjadi padamu, kamu masih bisa tersenyum dan membantu orang lain?"

Lail menatapnya, matanya sedikit menyipit. "Kekuatan itu datang dari Allah, Akhi Rafi. Ketika kita bersandar kepada-Nya, tidak ada beban yang terlalu berat. Ayah dan adikku syahid. Itu adalah takdir Allah. Aku percaya, mereka berada di tempat yang lebih baik. Dan tugasku sekarang adalah melanjutkan perjuangan mereka, menjaga tanah ini, dan merawat mereka yang tertinggal."

"Tapi bukankah kamu pernah merasa ingin menyerah? Ingin pergi dari sini?" tanya Rafi, mencoba memahami.

Lail menggeleng. "Tidak ada tempat untuk menyerah di sini, Akhi. Dan tidak ada tempat yang lebih aman dari tanah ini. Ini adalah tanah kami, tanah para Nabi, tanah yang diberkahi. Kami akan tetap di sini, sampai Allah memanggil kami."

Ada keteguhan yang luar biasa dalam setiap kata Lail. Rafi merasakan hatinya berdesir. Ia tidak bisa membayangkan tingkat keimanan dan ketahanan seperti itu. Ia, yang dulunya mudah mengeluh karena hal-hal sepele, kini melihat seorang gadis muda yang telah kehilangan segalanya, namun tetap tegar dengan keimanannya.

Rasa kagum Rafi terhadap Lail bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam. Itu bukan lagi sekadar kekaguman profesional atau simpati. Ada benih-benih perasaan yang mulai tumbuh di hatinya, sesuatu yang berbeda dari cinta-cintaan masa lalunya yang didasari nafsu. Ini adalah perasaan yang murni, perasaan yang didasari oleh rasa hormat yang mendalam pada akhlak, pada keimanan, dan pada keteguhan jiwa.

Ia mencoba mengendalikan perasaan itu. Ia tahu, dalam konteks agama, perasaan semacam ini harus ditempatkan pada tempat yang benar. Ia tidak boleh membiarkan perasaannya menjadi nafsu duniawi. Ia harus menjaganya, memurnikannya. Jika memang ini adalah takdir, maka Allah akan menunjukkan jalannya.

Maka, ia mulai menundukkan pandangannya setiap kali Lail ada di dekatnya. Ia berusaha tidak menatap mata Lail terlalu lama, meskipun mata itu selalu menarik perhatiannya. Ia tidak lagi mencari-cari alasan untuk berinteraksi dengannya secara berlebihan. Ia hanya berinteraksi ketika memang dibutuhkan untuk urusan medis atau kemanusiaan.

Namun, di dalam hatinya, nama Lail selalu ada. Ia menyebutnya dalam sujud panjangnya, dalam setiap doa yang ia panjatkan setelah shalat. Ia memohon kepada Allah agar Lail selalu dalam lindungan-Nya, agar ia diberi kekuatan, dan agar ia selalu istiqamah di jalan-Nya. Rafi juga berdoa agar Allah membersihkan hatinya sendiri, agar ia bisa mencintai Lail karena Allah, bukan karena hal lain.

Sore itu, Rafi melihat Lail sedang membersihkan lantai yang terkena tumpahan darah. Ia melakukannya dengan sabar, tanpa ekspresi jijik. Rafi mendekat, ingin membantu. "Biar saya bantu, Lail."

Lail menoleh, sedikit terkejut. "Tidak perlu, Akhi Rafi. Saya bisa sendiri."

"Tidak apa-apa. Ini tugas kita bersama." Rafi mengambil kain pel dan mulai membantunya. Mereka bekerja dalam keheningan, hanya suara gerakan dan bisikan doa Lail yang mengisi ruangan.

Dalam diam itu, Rafi merasakan kedekatan yang berbeda. Bukan kedekatan fisik, melainkan kedekatan jiwa. Mereka berdua, di tengah neraka dunia ini, menemukan makna dan tujuan. Mereka berdua, meskipun dengan latar belakang yang berbeda, disatukan oleh tujuan kemanusiaan dan iman yang sama.

Saat mereka selesai, Lail menatapnya. Mata itu. Rafi merasakan tatapan Lail menembus jauh ke dalam dirinya. Ada rasa terima kasih, tapi juga sebuah pertanyaan yang tak terucapkan. Rafi hanya mengangguk, berusaha tersenyum, dan bergegas pergi sebelum hatinya terlalu larut dalam perasaan yang belum saatnya ia ungkapkan.

Ia tahu, perasaannya ini adalah ujian. Sebuah ujian untuk menjaga kemurnian niatnya, untuk menundukkan hawa nafsunya, dan untuk berserah diri pada kehendak Allah. Di Gaza, di tengah dentuman bom, ia tidak hanya menemukan penderitaan, tetapi juga menemukan cinta. Cinta yang berbeda. Cinta yang suci, yang hanya bisa disandarkan sepenuhnya kepada Allah. Dan ia bertekad, jika memang cinta ini ditakdirkan untuknya, ia akan menjaganya dengan segala keikhlasan, dengan niat yang murni, dan dengan sepenuh hati demi mencari ridha-Nya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel