Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Sujud Di Tengah Ledakan

Suara sirene melengking memecah keheningan malam Gaza. Bukan suara ambulans yang membawa pasien, melainkan peringatan akan serangan udara yang akan datang. Seluruh rumah sakit darurat tiba-tiba hidup dalam kegelisahan yang mendalam. Para perawat bergerak cepat, mendorong brankar pasien yang bisa dipindahkan ke area yang lebih aman, yang konon lebih "kuat" dari gempuran. Namun, di tempat seperti Gaza, tidak ada yang benar-benar aman.

Rafi, yang baru saja selesai menjahit luka seorang pemuda, langsung berdiri tegak. Jantungnya berdebar kencang. Ini adalah kali pertama ia merasakan langsung ketegangan sebelum serangan yang sesungguhnya. Selama ini, ia hanya mendengar ledakan dari kejauhan, atau melihat dampaknya setelah semuanya usai. Kini, ancaman itu terasa begitu dekat, melayang di atas kepala mereka.

Dokter Khalid berteriak, suaranya sedikit parau namun tetap tegas, "Semua cari perlindungan! Jangan di dekat jendela! Lindungi kepala kalian!"

Para pasien yang lebih kuat berusaha merangkak di bawah brankar atau meja. Mereka yang terlalu lemah hanya bisa pasrah, memejamkan mata, atau memanjatkan doa. Rafi segera membantu seorang ibu yang kesulitan menggendong bayinya, menuntun mereka ke bawah meja operasi yang sudah tidak terpakai.

Ia mencari Lail. Gadis itu berdiri di dekat sebuah tiang, tangannya masih memegang tasbih, bibirnya berkomat-kamit. Wajahnya pucat, tapi matanya memancarkan ketenangan yang aneh, seolah ia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Atau mungkin, karena ia bersandar pada kekuatan yang jauh lebih besar.

"Lail! Menunduk!" Rafi berteriak, berlari menghampirinya. Sebelum ia sempat meraih tangan Lail, sebuah dentuman memekakkan telinga meledak di kejauhan, mengguncang seluruh bangunan. Lampu-lampu berkedip, lalu padam sama sekali, meninggalkan mereka dalam kegelapan pekat, hanya diterangi cahaya samar dari luar yang berasal dari kobaran api di suatu tempat.

Suara pecahan kaca, gemuruh reruntuhan, dan jeritan yang tak terkontrol mengudara. Rafi segera menarik Lail, mendorongnya untuk bersembunyi di balik dinding yang tebal. Mereka meringkuk, Rafi melindungi kepala Lail dengan lengannya. Debu dan serpihan material bangunan berjatuhan. Bau mesiu menusuk hidung.

Selama beberapa detik yang terasa seperti keabadian, hanya ada suara kehancuran. Lalu, jeda. Jeda yang dingin dan mematikan, di mana satu-satunya suara adalah detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Rafi membuka matanya. Gelap. Ia merasakan tangan Lail gemetar di lengannya.

"Lail, kamu tidak apa-apa?" bisiknya, berusaha menembus kegelapan.

Lail tidak menjawab. Namun, Rafi merasakan Lail meremas tangannya dengan lembut. Ada kelegaan. Ia tahu Lail baik-baik saja.

Tak lama kemudian, sirene meraung lagi, namun kali ini lebih jauh, mengindikasikan serangan mungkin sudah berakhir. Perlahan, satu per satu lampu darurat bertenaga baterai mulai dinyalakan. Pemandangan di sekitar mereka memilukan. Beberapa bagian atap ambruk, menyebabkan puing-puing berserakan. Brankar-brankar terbalik. Ada suara tangis yang lebih jelas sekarang, tangis bayi, tangis orang dewasa.

Rafi melihat sekeliling. Dokter Khalid sudah bangkit, menyalakan senter. "Cek korban! Siapapun yang bisa bergerak, bantu!" perintahnya.

Rafi segera bangkit, membantu Lail berdiri. "Kamu yakin tidak ada yang terluka?"

Lail menggeleng. "Alhamdulillah, saya baik-baik saja, Akhi. Kita harus bantu mereka."

Melihat ketenangan Lail, Rafi merasa ada kekuatan baru yang mengalir dalam dirinya. Ini adalah medan perang. Ia harus berfungsi. Ia harus menolong. Mereka berdua segera bergerak, mengevakuasi korban yang tertimpa puing, mencari mereka yang terluka akibat ledakan.

Saat mereka sedang membantu seorang wanita tua yang kakinya tertindih balok kayu, tiba-tiba azan subuh berkumandang dari masjid yang entah bagaimana masih berdiri di tengah reruntuhan. Suaranya serak, mungkin dari mikrofon yang rusak, namun begitu merdu dan menembus jiwa di tengah suasana yang porak poranda itu.

Rafi tertegun. Di tengah dentuman bom, di antara reruntuhan, di antara jeritan dan darah, suara azan itu adalah pengingat akan sesuatu yang abadi. Pengingat akan Tuhan, akan janji-Nya, dan akan takdir yang tak terhindarkan.

Ia melirik Lail. Gadis itu menutup matanya, mendengarkan azan dengan khusyuk. Sebuah tetesan air mata mengalir dari balik niqabnya, namun wajahnya tetap tenang, seolah menemukan kedamaian di tengah kekacauan.

"Kita harus shalat, Akhi," kata Lail, suaranya pelan. "Sebelum matahari terbit."

Rafi mengangguk, hatinya bergetar. Ia merasa malu. Ia, seorang dokter yang dulunya sangat jauh dari agama, kini diingatkan akan kewajiban shalat oleh seorang gadis yang baru saja melewati maut.

Mereka mencari tempat yang sedikit lebih bersih dari puing-puing. Dengan penerangan seadanya dari senter yang dipegang salah seorang relawan lain, Rafi membentangkan sepotong kain sebagai sajadah. Lail berwudu dengan air seadanya dari botol, Rafi mengikutinya.

Ketika mereka berdiri, menghadap kiblat, Rafi merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya dalam hidupnya. Sensasi sujud di tengah ledakan. Bukan ledakan bom yang menakutkan, tapi ledakan spiritual di dalam dirinya. Setiap takbir, setiap gerakan shalat, terasa begitu nyata. Ia tidak hanya shalat dengan tubuhnya, tetapi dengan seluruh jiwanya. Ia merasakan kehadiran Allah begitu dekat. Ia merasakan bahwa hanya dengan bersujud, ia bisa menemukan kekuatan dan kedamaian di tengah neraka ini.

Lail, di sampingnya, shalat dengan khusyuk yang sama. Ia melihat bahu Lail sedikit bergetar selama sujud. Mungkin ia menangis, atau mungkin hanya menahan beban yang begitu berat di hatinya. Tapi ia tahu, seperti dirinya, Lail juga sedang mencari kekuatan dari sumber yang sama.

Setelah shalat, suasana terasa sedikit berbeda.

Ketegangan masih ada, tetapi ada juga ketenangan yang terpancar dari wajah-wajah yang baru saja bersujud. Rafi merasa lebih ringan. Beban di hatinya tidak sepenuhnya hilang, tapi ia tahu ia tidak sendiri. Ia memiliki Allah.

"Alhamdulillah," bisik Lail, setelah mereka selesai berdoa. "Allah masih memberi kita kesempatan."

Rafi menoleh padanya. "Benar. Alhamdulillah." Ia ingin mengatakan lebih banyak, ingin mengungkapkan kekagumannya pada Lail, pada imannya yang begitu kuat. Tapi ia tahu, ini bukan waktu yang tepat. Ia harus menundukkan hatinya, seperti yang telah ia janjikan pada dirinya sendiri.

Hari itu, Rafi terus bekerja, membantu para korban. Ia melihat Lail juga tanpa henti membantu, membersihkan luka, menghibur anak-anak, bahkan mencari sisa-sisa makanan untuk dibagikan. Lail adalah cahaya di tengah kegelapan. Ia adalah harapan.

Di tengah kesibukan itu, Rafi sesekali mencuri pandang ke arah Lail. Setiap kali ia melihat gadis itu memegang tasbihnya, atau berbicara lembut kepada seorang anak yang ketakutan, hatinya merasakan gelombang kekaguman yang semakin dalam. Ini bukan cinta yang ia kenal dulu. Ini adalah sesuatu yang lebih murni, lebih suci. Sebuah cinta yang tumbuh dari rasa hormat dan kekaguman pada iman seseorang.

Ia tahu, dalam agama, cinta tak boleh sembarangan disandarkan. Ia harus menjaga pandangannya, menjaga hatinya. Ia harus menundukkan segala bentuk perasaan duniawi yang mungkin muncul. Ia menyebut nama Lail, ya, tapi hanya dalam sujud panjangnya. Hanya dalam doa-doa di mana ia meminta kepada Allah untuk melindungi gadis itu, untuk memberinya kekuatan, dan untuk merahmati kehidupannya.

Semakin hari, Rafi semakin larut dalam rutinitas barunya di Gaza. Ia tidak lagi memikirkan kenyamanan yang ia tinggalkan di Indonesia. Setiap detik di sini adalah tentang bertahan hidup, tentang membantu, tentang mencari pengampunan. Ia melihat Lail sebagai cerminan dari apa yang ia ingin menjadi: seseorang yang sepenuhnya berserah diri pada Allah, yang menemukan kekuatan di tengah kelemahan, dan yang terus berjuang untuk kebaikan, meski nyawa menjadi taruhannya.

Malam itu, saat ia berbaring, mencoba tidur di tengah suara tembakan yang sayup-sayup, Rafi teringat ucapan Muna, gadis kecil dengan luka pecahan peluru. "Allah." Kata sederhana yang mengandung makna begitu besar. Di Gaza, nama Allah bukan hanya sekadar kata. Itu adalah napas. Itu adalah hidup. Itu adalah satu-satunya jalan pulang. Rafi tahu, perjalanan penebusan dosanya masih panjang. Tapi ia juga tahu, ia berada di jalan yang benar.

Di jalan di mana ia bisa menemukan Allah, bahkan di tengah dentuman bom yang tak henti-hentinya. Ia akan terus bersujud. Ia akan terus berdoa. Sampai ia menemukan kedamaian yang sejati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel