Bab 4 Namaku Raffi Dari Indonesia
Kehidupan di rumah sakit darurat Gaza adalah pusaran tanpa henti antara harapan dan keputusasaan, tawa dan tangis, hidup dan mati. Setiap hari adalah perjuangan, namun juga pelajaran. Rafi, sang dokter relawan dari Indonesia, merasa dirinya berubah setiap detik.
Lapisan-lapisan kepalsuan dan ambisi duniawi yang dulu melingkupinya mulai terkikis oleh kenyataan pahit di sekitarnya. Di sini, di tanah yang dibasahi darah dan doa, ia mulai menemukan arti sebenarnya dari eksistensi.
Lail adalah salah satu dari sedikit titik terang di tengah kegelapan itu. Kehadirannya selalu membawa ketenangan, seolah aura imannya mampu meredakan sedikit beban di hati setiap orang. Rafi semakin sering bekerja berdampingan dengannya, terutama dalam merawat anak-anak.
Lail memiliki cara tersendiri untuk mendekati mereka, seringkali hanya dengan senyuman lembut dari balik niqabnya atau lantunan ayat Al-Qur'an yang meneduhkan.
Suatu siang yang terik, saat jeda shalat Dzuhur, Rafi melihat Lail sedang membersihkan sisa-sisa reruntuhan di halaman belakang rumah sakit, tempat yang dulu mungkin adalah taman kecil.
Ia mengangkat batu-batu dan serpihan beton dengan tangan kosong, gerakannya cekatan dan tidak mengeluh. Rafi menghampirinya.
"Lail, biar saya bantu. Ini terlalu berat untukmu," kata Rafi, mengambil sebuah balok beton yang cukup besar.
Lail menoleh, matanya memancarkan sedikit kelelahan, tapi juga rasa terima kasih. "Tidak apa-apa, Akhi Rafi. Ini sudah menjadi bagian dari hidup kami."
"Bagian dari hidup yang seharusnya tidak ada," sahut Rafi, suaranya mengandung nada getir. Ia ikut membantu, tangannya sigap menyingkirkan puing-puing.
Keheningan menyelimuti mereka, hanya diselingi suara Rafi yang sesekali menggeser puing berat dan Lail yang menyingkirkan serpihan kecil.
"Maafkan saya, Lail," Rafi memecah keheningan. "Saya sering bertanya-tanya, bagaimana kalian bisa bertahan di sini? Bagaimana kalian bisa tetap berharap?"
Lail berhenti sejenak, menatap ke langit yang biru tanpa awan, namun di bawahnya terhampar kehancuran. "Kami tidak punya pilihan lain selain bertahan, Akhi. Ini adalah tanah kami. Dan harapan? Harapan kami ada pada Allah. Kami percaya, tidak ada musibah yang datang tanpa hikmah. Tidak ada perjuangan yang sia-sia di mata-Nya."
Rafi menghela napas. "Di tempat saya, di Indonesia, kami hidup damai. Sangat jauh dari ini semua. Kadang saya merasa... bersalah."
Lail menoleh padanya. "Tidak perlu merasa bersalah, Akhi. Justru kehadiranmu di sini adalah rahmat. Kami bersyukur Allah mengirimkanmu ke sini."
Kata-kata Lail begitu tulus, begitu menenangkan. Rafi merasakan desiran hangat di hatinya. "Nama saya Rafi, dari Indonesia," kata Rafi, seolah memperkenalkan dirinya lagi, kali ini bukan hanya sebagai dokter relawan, tetapi sebagai individu yang mencoba mencari penebusan. "Saya dulu... bukan orang baik, Lail. Saya banyak melakukan kesalahan. Saya datang ke sini untuk mencari pengampunan."
Lail menatapnya. Mata itu tidak menghakimi, tidak ada rasa terkejut, hanya ada pengertian. "Setiap manusia punya masa lalu, Akhi Rafi. Yang terpenting adalah bagaimana kita memilih jalan di masa kini. Niatmu datang ke sini sudah menunjukkan banyak hal."
Mendengar itu, Rafi merasa sedikit lega. Ia melanjutkan ceritanya, lebih terbuka dari yang pernah ia lakukan kepada siapa pun di Gaza. Ia bercerita tentang kehidupannya yang gemerlap di Jakarta, tentang ambisi materialistiknya, tentang gaya hidupnya yang jauh dari nilai-nilai agama. Ia berbicara tentang kecelakaan mobil yang menjadi titik baliknya, tentang rasa bersalah yang menghantuinya setiap malam.
"Saya melarikan diri, Lail. Melarikan diri dari diri saya yang dulu. Saya berharap, di tempat seperti ini, saya bisa membersihkan jiwa saya. Bisa menemukan kembali iman yang dulu saya abaikan," Rafi mengakui, suaranya rendah.
Lail mendengarkan dengan sabar, tanpa memotong.
Ketika Rafi selesai, Lail mengangguk. "Subhanallah. Allah Maha Pengampun, Akhi Rafi. Sesungguhnya, Allah mencintai hamba-Nya yang bertaubat. Dan tempat ini, dengan segala ujiannya, adalah ladang untuk bertaubat, untuk kembali kepada-Nya. Kami semua adalah hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya, dengan cara kami masing-masing."
Lail kemudian bercerita sedikit tentang dirinya. Bukan dengan nada mengeluh atau meminta simpati, melainkan dengan ketenangan yang mengharukan. Ia bercerita tentang ayah dan adiknya yang syahid. Tentang bagaimana ia menyaksikan rumah mereka hancur berkeping-keping di depan matanya. Tentang rasa sakit yang tak terhingga, namun bagaimana ia memilih untuk tidak tenggelam dalam kesedihan.
"Ayahku selalu bilang, 'Lail, kita adalah penjaga tanah ini. Jika kita menyerah, siapa lagi yang akan menjaga amanah ini?'" Lail berucap, suaranya sedikit bergetar, namun segera kembali stabil. "Adikku, dia masih sangat kecil. Dia selalu ingin menjadi hafiz Quran. Aku percaya, mereka sudah bahagia di surga, insya Allah. Dan aku di sini, harus melanjutkan apa yang mereka perjuangkan."
Rafi mendengarkan. Hatinya perih mendengar kisah Lail, namun juga dipenuhi kekaguman yang tak terbatas. Lail adalah perwujudan dari ketabahan iman. Ia tidak menangis, bukan karena tidak merasakan sakit, tetapi karena ia telah menransformasikannya menjadi kekuatan dan pengabdian kepada Allah. Air matanya mungkin telah kering, bukan karena ia dingin, melainkan karena ia menyalurkan seluruh emosinya ke dalam doa dan perjuangan.
Melihat Lail, Rafi merasa semakin termotivasi. Jika Lail, yang telah kehilangan begitu banyak, masih bisa setegar ini, mengapa ia harus mengeluh? Ia harus belajar dari Lail. Belajar untuk berserah diri sepenuhnya, untuk ikhlas, dan untuk menjadikan setiap kesulitan sebagai jembatan menuju Allah.
"Kamu adalah inspirasi, Lail," kata Rafi, jujur dari lubuk hatinya.
Lail tersenyum tipis, sorot matanya yang indah terpancar. "Kita semua saling menginspirasi, Akhi Rafi. Kita adalah satu tubuh di sini. Ketika satu sakit, yang lain merasakan sakitnya."
Pertemuan dan percakapan itu mengubah dinamika antara Rafi dan Lail. Mereka tidak lagi hanya sekadar rekan kerja, tetapi ada jembatan empati dan pengertian yang terbangun. Rafi semakin merasa bahwa Lail adalah cerminan dari kemurnian yang ia cari. Setiap tatapan mata, setiap senyuman tipis Lail, setiap gerakannya saat beribadah atau membantu, semakin memancarkan cahaya di hati Rafi. Ia tidak lagi bisa menolak fakta bahwa ia merasakan sesuatu yang dalam untuk gadis itu.
Namun, ia terus mengingatkan dirinya. Ini Gaza. Ini bukan tempat untuk kisah cinta duniawi. Ini tempat perjuangan, pengorbanan, dan penyerahan diri. Jika ada perasaan, biarkan itu murni karena Allah. Biarkan itu menjadi dorongan untuk berbuat kebaikan, untuk melindungi, dan untuk berjuang bersama di jalan-Nya. Ia tidak akan mengotori kemurnian Lail dengan nafsu duniawi. Ia hanya akan menyebut nama Lail dalam setiap sujudnya, meminta kepada Allah agar hati mereka berdua selalu lurus di jalan-Nya.
Malam harinya, Rafi merenung di sudut ruang perawat yang sepi. Ia membuka buku catatan kecilnya yang selalu ia bawa. Di dalamnya, ia mulai menulis. Bukan catatan medis, melainkan catatan perjalanannya. Ia menulis tentang Gaza, tentang penderitaannya, tentang ketabahannya. Dan ia menulis tentang Lail.
"Dia adalah Lail. Gadis dengan mata yang menyimpan lautan luka, namun memancarkan iman yang tak tergoyahkan. Dia tidak menangis, bukan karena ia tak merasakan sakit, melainkan karena air matanya telah berubah menjadi kekuatan. Dia adalah cerminan dari arti ikhlas yang sesungguhnya. Aku belum pernah bertemu seseorang seperti dia. Seseorang yang begitu dekat dengan Allah, bahkan di tengah neraka ini. Semoga Allah melindunginya."
Rafi menutup buku catatannya. Ada kedamaian yang aneh dalam dirinya. Kedamaian yang ia rasakan setiap kali ia berpikir tentang Lail. Ia tahu, perasaannya ini bukan lagi tentang nafsu atau keinginan memiliki. Ini adalah rasa hormat, rasa ingin melindungi, dan keinginan untuk melihat Lail selalu dalam kebaikan.
Di tengah kesibukan yang tak berkesudahan, sesekali Rafi dan Lail bertemu di luar lingkup pekerjaan. Mereka berdua sering membantu anak-anak yatim di sebuah penampungan sementara tak jauh dari rumah sakit. Lail, dengan kesabarannya, mengajari anak-anak membaca Al-Qur'an dan melantunkan shalawat. Rafi membantu dengan urusan medis dan sesekali bermain bola dengan anak-anak itu, mencoba menghadirkan sedikit tawa di tengah kehidupan mereka yang suram.
Melihat Lail berinteraksi dengan anak-anak, Rafi melihat sisi lain dari gadis itu. Ia adalah seorang ibu, seorang kakak, seorang pelindung bagi mereka yang lebih lemah. Hatinya begitu luas, cintanya begitu besar, dan itu semua ia dedikasikan untuk Allah dan sesama. Rafi tahu, ini adalah wanita yang layak dihormati, yang layak dilindungi.
Ketika Rafi kembali ke rumah sakit setelah seharian penuh membantu di penampungan, ia merasa lelah secara fisik, namun hatinya terasa ringan.
Ia melihat Lail sedang shalat Isya di pojok ruangan. Rafi mengambil wudu, dan bergabung bersamanya. Dalam setiap rakaat, ia merasakan kehadiran Allah yang begitu kuat. Dan di setiap sujud, ia memanjatkan doa untuk Lail.
"Ya Allah, lindungilah Lail. Jagalah hatinya, kuatkan imannya. Dan jika Engkau menakdirkan sesuatu bagiku dan Lail, maka mudahkanlah jalannya dan jadikanlah itu sebuah kebaikan di jalan-Mu."
Ia bangkit dari sujud, hatinya penuh harapan. Ia tahu, di tempat ini, cinta bukan lagi tentang gemerlap dunia. Cinta adalah tentang keikhlasan, pengorbanan, dan penyerahan diri. Cinta adalah "Uhibbuka Fillah." Dan Rafi, dari Indonesia, di tengah Gaza yang bergejolak, mulai belajar makna sesungguhnya dari kalimat suci itu.
