Bab 1 Seruan Dari Langit Gazza
Debu. Itu adalah hal pertama yang Rafi rasakan. Bukan debu jalanan Jakarta yang akrab dengan knalpot kendaraan atau remah-remah kotoran dari kantin rumah sakit tempat ia biasa bekerja. Ini adalah debu yang berbau mesiu, anyir darah kering, dan sisa-sisa kehidupan yang hancur. Debu Gaza. Mengendap di paru-paru, menempel di kulit, seolah mencoba merasuk ke dalam jiwanya, mengingatkan setiap detik bahwa ia berada di tempat yang berbeda, tempat di mana hidup adalah perjuangan, bukan lagi sekadar rutinitas.
Ketika kakinya menjejak tanah berpasir, sesaat setelah turun dari ambulans yang baru saja mengantarnya dari perbatasan Rafah, telinganya langsung disambut oleh simfoni mengerikan. Bukan alunan melodi, melainkan jeritan mesin perang di kejauhan, kadang diselingi ledakan berat yang mengguncang dada. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam. Udara panas, menyesakkan. Ini bukan simulasi, bukan tayangan berita di televisi. Ini nyata. Gaza.
Rafi, dengan ransel medis yang terasa berat di pundaknya dan hati yang jauh lebih berat di dadanya, melangkah menuju bangunan yang disebut sebagai "rumah sakit darurat." Bangunan itu dulunya mungkin adalah sebuah sekolah atau pusat komunitas, kini disulap menjadi tempat penampungan luka dan harapan.
Dinding-dindingnya berlubang, ditambal seadanya dengan terpal dan triplek. Bendera bulan sabit merah yang compang-camping berkibar lemas di atas atap. Aroma antiseptik bercampur bau keringat, darah, dan entah apa lagi, menusuk hidung. Ini adalah medan perangnya.
"Assalamu'alaikum, Akhi Rafi?" Suara seorang pria paruh baya dengan sorot mata lelah menyambutnya di ambang pintu. Namanya Dokter Khalid, salah satu koordinator medis lokal yang sudah dihubungi oleh tim relawan dari Indonesia. Rafi mengangguk, menjabat tangannya erat.
"Wa'alaikumussalam, Dok. Saya Rafi."
"Alhamdulillah, Anda akhirnya sampai. Kami sangat membutuhkan tangan Anda." Suara Dokter Khalid serak, bibirnya membentuk senyuman tipis yang tidak sampai ke matanya. Mata itu telah melihat terlalu banyak penderitaan.
Rafi mengangguk, melirik sekeliling. Pemandangan di dalam jauh lebih mengerikan dari apa yang ia bayangkan. Lorong-lorong sempit dipenuhi brankar. Di setiap brankar, ada manusia. Anak-anak dengan mata kosong, wanita tua yang terbaring lemah dengan perban melilit kepala, pria-pria muda dengan luka tembak di kaki. Suara rintihan samar, isak tangis tertahan, dan bisikan doa yang tak henti-hentinya. Ini bukan rumah sakit pada umumnya. Ini adalah ruang darurat yang tak berujung, di mana setiap napas adalah sebuah kemenangan.
"Bagaimana kondisinya, Dok?" tanya Rafi, mencoba menekan gejolak di perutnya. Ia adalah seorang dokter, terlatih untuk menghadapi trauma. Tapi ini berbeda. Ini adalah trauma kolektif, trauma perang.
"Tidak pernah baik, Akhi," jawab Dokter Khalid, menghela napas. "Serangan semalam cukup parah. Kami kekurangan segalanya. Obat-obatan, perban, bahkan air bersih. Dan tentu saja, tenaga medis."
Rafi mengeluarkan buku catatan kecil dari saku jaketnya. "Saya siap, Dok. Dimana saya bisa mulai?"
Dokter Khalid menunjuk ke arah sudut ruangan yang lebih sepi. "Anda bisa mulai dengan membantu Muna di sana. Dia butuh penggantian perban di kakinya. Luka pecahan peluru."
Tanpa banyak bicara, Rafi melangkah. Setiap langkahnya terasa berat, bukan hanya karena beban ransel, tetapi juga karena beratnya penderitaan yang terpampang di hadapannya. Ia melihat wajah-wajah yang lelah, mata-mata yang menyimpan kisah pilu. Namun, di antara semua itu, ia juga melihat keteguhan. Sebuah cahaya redup dari mata yang menolak padam.
Muna adalah seorang gadis kecil berusia sekitar enam tahun. Rambutnya pirang kemerahan, matanya biru jernih, kontras dengan kulitnya yang kotor dan pipinya yang tirus. Ia meringkuk di atas kasur tipis, kakinya yang kecil dan bengkak tertutup perban kotor. Saat Rafi mendekat, Muna menatapnya dengan pandangan curiga, namun tanpa rasa takut. Ia tidak menangis.
"Assalamu'alaikum, Nak," sapa Rafi lembut, berjongkok di sampingnya. "Nama Paman Rafi, dari Indonesia. Paman mau obati kakimu, ya?"
Muna hanya menatapnya. Tak ada tanggapan. Rafi perlahan membuka perban, bau amis darah langsung menyeruak. Luka itu dalam, dan sudah mulai terinfeksi. Ia membersihkan luka itu dengan hati-hati, berusaha tidak menyakiti Muna. Selama proses itu, Muna tetap diam, hanya sesekali mengernyitkan dahi. Anak sekecil itu sudah mengenal rasa sakit yang begitu mendalam.
"Sakit, ya?" bisik Rafi, suaranya tercekat.
Muna menggelengkan kepala, lalu menunjuk ke arah langit-langit dengan jari telunjuknya yang kotor. "Allah," katanya, pelan.
Rafi tertegun. Allah. Bahkan anak sekecil ini, di tengah penderitaan yang begitu hebat, menyebut nama-Nya. Ada getaran aneh menjalari tubuh Rafi. Sebuah teguran, mungkin. Atau pengingat.
"Ya, Allah," ulang Rafi, menarik napas. Ia melanjutkan mengobati luka Muna, kini dengan perasaan yang sedikit berbeda. Di sini, di Gaza, di tengah kehancuran, iman adalah satu-satunya pelindung, satu-satunya harapan.
Malam pertama Rafi di Gaza adalah malam yang panjang dan penuh kegelisahan. Ia tidur di sudut ruangan yang dingin, beralaskan tikar tipis. Setiap kali ada ledakan di kejauhan, atau suara tembakan, ia terbangun. Memorinya melayang.
Ia ingat dulu, di Indonesia, hidupnya dipenuhi hingar-bingar dunia. Ia seorang dokter muda yang sukses, punya karier cemerlang, dikelilingi teman-teman, dan punya gaya hidup yang bebas. Kesenangan duniawi menjadi prioritasnya. Clubbing, pesta, bahkan hubungan yang tidak halal, semuanya ia lakukan seolah tak ada hari esok. Orang tuanya, yang religius, sudah berulang kali menasihatinya. Tapi ia selalu punya dalih. "Saya masih muda, Bu. Ini hanya fase."
Hingga suatu hari, sebuah peristiwa mengubah segalanya. Bukan di Gaza, tapi di Jakarta. Sebuah kecelakaan mobil yang mengerikan, di mana ia menjadi penyebabnya. Seorang anak kecil menjadi korban. Bukan meninggal, tapi cacat seumur hidup. Hati Rafi hancur. Rasa bersalah itu menggerogoti jiwanya setiap malam. Ia mencoba menutupinya dengan lebih banyak kesenangan, tapi rasa kosong itu kian membesar. Ia tahu, ia harus berubah. Ia harus menebus.
Keputusannya untuk menjadi relawan medis di Gaza bukanlah sebuah kebetulan. Itu adalah upaya untuk melarikan diri dari masa lalu, sekaligus sebuah pencarian. Pencarian kedamaian, pencarian makna, dan pencarian pengampunan. Ia tahu ini tidak akan mudah, tetapi ia berharap di tempat di mana penderitaan begitu nyata, hatinya yang keras bisa dilembutkan, dan jiwanya yang berkarat bisa dibersihkan. Ia ingin menjadi hamba yang lebih baik, ingin kembali ke jalan-Nya.
Pagi menyingsing, membawa cahaya oranye keemasan yang indah di atas reruntuhan. Kontras yang menyakitkan. Di satu sisi, keindahan ciptaan Tuhan. Di sisi lain, kehancuran ulah manusia. Rafi sudah bangun lebih dulu, melipat tikarnya, dan mencari tempat wudu. Ia melihat Dokter Khalid sedang shalat subuh di pojok ruangan. Rafi bergabung.
Dalam sujud panjangnya, Rafi merasakan tetesan air mata jatuh ke sajadah. Ia tidak tahu apakah itu air mata penyesalan, air mata kelelahan, atau air mata kelegaan. Mungkin ketiganya. Ia berdoa, memohon ampunan, memohon kekuatan, dan memohon agar ia bisa menjadi perantara kebaikan di tempat ini. Ia berdoa untuk Muna, untuk Dokter Khalid, dan untuk semua jiwa yang terluka di Gaza. Dan ia berdoa untuk dirinya sendiri, agar ia bisa menemukan jalan pulang, jalan kembali kepada Allah.
Setelah shalat, ia melihat Dokter Khalid menyapanya.
"Selamat pagi, Akhi. Bagaimana tidur Anda?"
"Alhamdulillah, Dok. Saya siap untuk hari ini," jawab Rafi, berusaha tersenyum.
"Syukurlah. Mari, ada beberapa pasien baru yang datang." Dokter Khalid menunjuk ke arah pintu.
Hari-hari pertama Rafi di Gaza berlalu dengan cepat, namun terasa panjang. Ia merawat luka-luka yang mengerikan. Melihat anak-anak yang kehilangan orang tua, menyaksikan orang tua yang kehilangan anak-anak mereka. Setiap hari adalah perjuangan. Ia belajar membalut luka, bukan hanya di tubuh, tetapi juga di hati. Ia belajar mendengar kisah-kisah pilu tanpa menghakimi, hanya menawarkan kehadiran.
Ia melihat keteguhan hati para penduduk Gaza. Meskipun rumah mereka hancur, meskipun nyawa mereka terancam setiap saat, mereka tidak kehilangan harapan. Mereka shalat, mereka berdoa, mereka membaca Al-Qur'an. Iman mereka adalah benteng terkuat. Rafi merasa kecil di hadapan iman mereka. Ia, yang datang dari dunia yang serba ada, justru merasa lebih miskin iman dibandingkan mereka yang tidak memiliki apa-apa.
Suatu sore, saat ia sedang beristirahat, ia melihat seorang gadis muda berjalan di antara kerumunan pasien. Usianya mungkin awal dua puluhan. Wajahnya tertutup niqab hitam, hanya menyisakan sorot mata yang indah namun menyimpan kesedihan mendalam. Di tangannya, ia tak pernah lepas menggenggam tasbih. Ia bergerak dengan tenang, membantu perawat, berbicara lembut kepada anak-anak.
Rafi sempat bertanya kepada Dokter Khalid tentang gadis itu. "Siapa dia, Dok?"
Dokter Khalid menoleh, mengikuti arah pandangan Rafi. "Oh, dia Lail. Dia adalah salah satu sukarelawan lokal. Ayah dan adiknya syahid beberapa bulan lalu. Dia menolak untuk pergi dari Gaza. Dia sangat kuat."
Rafi mengangguk, matanya kembali ke arah Lail. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Keteguhan dalam kesendirian, kekuatan dalam keikhlasan. Sorot matanya yang indah itu menyimpan lautan luka, tapi juga memancarkan cahaya iman yang begitu kuat. Ia seolah adalah personifikasi dari Gaza itu sendiri: hancur, namun tak pernah menyerah pada takdir.
Beberapa hari kemudian, Rafi berkesempatan berinteraksi langsung dengan Lail. Saat itu, ia sedang membantu salah satu anak yang terluka, seorang balita bernama Hamza. Hamza terus menangis, menolak diobati. Lail datang, berjongkok di samping Hamza, dan mulai melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan suara merdu. Ajaib, Hamza perlahan-lahan tenang. Matanya memandang Lail, isak tangisnya mereda.
"Dia selalu begitu," kata Lail, tersenyum tipis kepada Rafi, menunjuk ke arah Hamza. "Ayat-ayat Allah adalah obat terbaik untuk hati yang terluka."
Rafi menatapnya. Senyumnya itu, meskipun tipis, memancarkan kehangatan. "Terima kasih, Lail. Saya tidak tahu harus bagaimana tanpamu."
Lail hanya mengangguk, lalu kembali membantu Hamza meminum air. Rafi merasakan sesuatu yang aneh. Bukan ketertarikan fisik seperti yang biasa ia rasakan dulu. Ini lebih dalam. Sebuah kekaguman. Kekaguman pada kekuatan iman, pada kesabaran, pada ketulusan. Ini adalah pertemuan pertama mereka yang sesungguhnya. Dan di detik itu, Rafi tahu, ada sesuatu yang telah bergeser dalam hatinya. Sesuatu yang akan mengubah segalanya.
