Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Bertemu Dia

?Melviano POV

Tiga bulan berlalu, cukup bagi diriku untuk dekat dengan Atikah. Hari ini aku berniat mengutarakan perasaanku ke Atikah. Perempuan yang pernah menabrakku di lorong rumah sakit, bahkan aku sering bertemu dengannya saat menjemput Mama di rumah sakit.

Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan membawa setangkai bunga mawar merah, niat hati ku, ingin memberikannya pada Atikah. Langkahku terhenti kala melihat Atikah sedang berciuman dengan seorang pria berbaju doreng. Jelas sekali ku mengenalnya, dia adalah juniorku di Koramil.

Aku memilih memutar langkah kembali, dan menuju ruangan Mama. Terlihat Mama sedang berbicara bersama tante Alexa sahabatnya. Ku menyalami Mama dan tante Alexa.

"Buat Mama" aku menyerahkan setangkai mawar ke Mama, sayang kalau dibuang.

"Ada apaan kasih Mama bunga? Tumbenan?" aku menggeleng dan berusaha tersenyum, meski hatiku terluka.

Apa yang ku lihat tadi membuat hati ku berdenyut nyeri. Aku tidak menyangka kalau Atikah akan berciuman di lorong rumah sakit. Sangat tidak terpuji pikir ku.

Mama mengajak ku untuk segera pulang, karena Mama akan menemani Papa ke luar kota sore besok.

Ku lihat dua orang yang berciuman tadi sedang berdiri di hadapanku. Lelaki itu memberi hormat padaku. Aku membalas hormatnya dan mengangguk, mencoba tersenyum walau jatuhnya kaku. Mama pasti tahu anaknya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Sedari tadi Mama memperhatikan wajah ku.

"Mohon datang ya bang" laki-laki itu memberikan sebuah undangan pernikahan yang tertulis nama Danang dan Atikah.

"Insha Allah. Ayo Ma, kita udah telat" Mama menggandeng lenganku tanpa banyak bicara.

Selama perjalanan ku hanya diam. Mama menyentuh lengan ku dan mengusapnya lembut. Aku menoleh sekilas ke arah Mama dengan wajah yang harap-harap cemas.

"Mama tahu, kalau abang sedang tidak baik sekarang. Tapi Mama cuma mau bilang, coba tanyakan kembali pada hati abang, apa betul abang jatuh cinta dengan dia atau hanya karena Mama yang sering bertanya tentang pasangan pada abang. Mama memang membebaskan abang memilih pasangan abang dengan bijak. Semoga abang bisa selalu bahagia"

Mobil sudah terparkirkan rapi di garasi rumah Papa. Aku memeluk Mama erat. Pelukan yang selanjutnya membuatku ingin menitikkan air mata. Mama memang selalu bisa membuat ku berpikir dua kali sebelum benar-benar bertindak lebih jauh.

"Terimakasih Ma. Abang sayang Mama" Mama mengangguk dan mengusap punggung ku.

???

Aku duduk bersama Billal di meja makan. Kami berdua tampak terlihat lesu. Ku perhatikan dia sedang ingin mengeluarkan emosinya sejak dia datang ke asrama tadi. Surat penugasan ku datang, bersamaan Billal yang datang menemui ku di sana.

"Suriah lho bang, Suriah. Kenapa sih abang harus daftar kesana?" Ucap Billal menggebu-gebu.

"Kenapa?" tanyaku.

"Tau ah" Billal mengusap wajahnya kasar. "Harusnya kalau patah hati tuh gak perlu pergi jauh-jauh, cukup liburan kemana gitu bang" ejeknya yang memang di tujukan pada ku.

"Lebih baik pergi menjauh daripada harus lihat dia dengan orang lain" aku meninggalkan Billal yang cemberut, menuju kamarku sendiri, menyiapkan keperluanku untuk ke Suriah minggu depan.

Aku mengingat bagaimana aku sendiri yang mencalonkan diriku untuk berangkat ke Suriah, jauh sebelum aku dan Atikah saling kenal.

“Bang!” teriakkan Atikah menghentikan langkah kaki ku, “mau makan siang bareng dulu? Dokter Lea sedang ada operasi.”

Tidak ada jawaban dari ku, dia langsung menarik tangan ku menuju kantin. Di sana cukup ramai, bahkan yang membuat ku risih adalah tatapan para wanita di sekitar ku.

“Siapa lagi Tik? baru ya?” salah seorang temannya bertanya pada Atikah.

Jadi dia sudah pernah memiliki kekasih.

Aku memilih berdiri, dan meninggalkan dirinya bersama teman-teman dia yang lain. Aku berpikir jika Atikah, mungkin bisa menjadi pasangan ku, jika Mama bertanya jodoh kembali.

???

Aku mendemgar suara mobil yang tertutup kasar, ku lihat dari jendela kamar ku, Papa tidak dapat mencegah Mama yang masuk kedalam rumah dengan wajah penuh emosi. Papa baru saja mendapatkan telepon dari Danyon, bahwa aku lolos menjadi pasukan Garuda ke Suriah.

"MELVIANO DIRGANTARA ALFARIZEL, KELUAR SEKARANG!" Mama menggedor pintu kamarku. Ngeri denger Mama yang seperti ini.

Aku keluar masih menggunakan seragam dorengku. Mama menatap ku tajam, diriku hanya mampu menunduk jika ditatap seperti itu oleh Mama. Aku memang yang bersalah di sini. Mendaftar tanpa sepengetahuan Papa dan Mama.

"Ikut Mama!" titahnya.

Mama menuju ruang tengah, di sana sudah berkumpul Opa yang memang mendengar keributan di rumah ini, langsung datang dan ikut duduk di ruang tengah. Papa dan Billal juga ikut duduk disana. Menyaksikan sidang yang di lakukan Mama untukku.

"Sudah tidak menganggap Mama dan Papa ada, eh?" Aku menggeleng.

"Siap salah" jawab ku tegas. Aku sangat tahu kemarahan Mama ditujukan padaku.

"EMANG SALAH! Jelaskan maksud kamu apa? Mendaftar jadi relawan dan akan berangkat minggu depan ke Suriah, tanpa bertanya pada Mama dan Papa? Mau kamu apa?"

"Siap salah"

"JAWAB"

Brakk

Semua mengurut dada kaget kala Mama menggebrak meja didepannya.

"Abang cuma ingin menjadi relawan Ma, dan itu hanya 1 tahun Ma" aku berjongkok di depan Mama, berharap Mama akan luluh.

"Please Ma, Abang mohon, ijinkan abang pergi kesana" ku genggam tangan Mama untuk meminta restu.

"Pergi kesana agar bisa move on kan dari Atikah? Menghindari pernikahan mereka?"

Skakmat

Aku hanya diam tidak menjawab. Ku hanya mampu mengangguk lemah. Memang tujuanku pergi ke Suriah hanya untuk itu saat ini. Tapi akhirnya aku menggeleng juga.

“Enggak Ma, Abang sudah daftar sebelum kenal sama Atikah.”

"Apa yang bisa kamu janjikan untuk Mama?"

"Abang gak bisa menjanjikan apapun Ma. Ini sudah tugas Abang" Mama memelukku erat, kurasakan Mama menangis sesenggukan di pelukanku.

"Setidaknya saat pulang, kamu bisa bawakan Mama calon menantu" ku tertawa mendengarnya, dan akhirnya mengangguk setuju. Apa boleh buat.

???

Hari keberangkatan ku pagi ini. Mama sudah heboh sendiri untuk menyiapkan keperluanku. Padahal aku sudah menyiapkan semuanya jauh-jauh hari. Yang namanya Mama tidak bisa di bantah.

"Ayo buruan, ntar telat" Papa menginterupsi.

"Jangan lupa kabari Mama tiap hari bang. Kalau sampai kamu tidak ada kabar, Mama yang akan jemput kamu kesana!" aku tertawa dan mengangguk, baru kali ini aku berjauhan dari Mama dan Papa. Benar-benar jauh.

"Siap komandan"

Aku memeluk mama erat dan memeluk Papa. Menyentil kening Billal sebelum aku pergi, lalu memeluknya erat. Billal hampir menangis dibuatnya. Ku lepas pelukannya dan memeluk kakakku yang datang bersama Bang Zidan untuk mengantarkan kepergian ku bertugas.

"Jaga diri kamu dek, kakak harap, kamu bisa pulang dengan utuh. Jangan lupa sholat dan makan yang teratur" aku mengangguk dipelukan kakak.

"Ya. Dan segera buat ponakan buat Aku" kakak menyentil kening ku yang terbahak bersama Bang Zidan.

Ku segera naik pesawat bersama para prajurit lainnya yang tergabung dalam pasukan Garuda.

"Selamat tinggal kenangan pahit" ku sobek undangan pernikahan Atikah dan Danang.

Ku memilih memejamkan mata untuk beristirahat. Aku masih ingat semalam Mama ingin tidur bersamaku dan Papa tentunya menemaniku bersama dengan Billal. Itu adalah tradisi kami, jika ada salah satu keluarga yang akan pergi tugas, atau benar-benar akan keluar dari rumah ini.

Kami sudah sampai di barak bersama dengan prajurit lainnya. Ku letakkan ranselku di lemari.Karena ku harus mengikuti pemeriksaan hari ini sebelum kami bertugas besok.

"Lettu Melvi?" Perempuan cantik itu menatap ku, saat dia membaca map yang berisikan data diri ku . Ada getaran yang aneh pada diriku kala melihat matanya yang berwarna hitam, sedang menatap ku serius.

Jantung ku berdegup kencang saat ini. Jika bersama Atikah, tidak pernah seperti ini. Bahkan perasaan gugup menyerangku.

Sial!

"Saya dokter" ucap ku setenang mungkin. Aku duduk dihadapan dokter cantik itu.

"Perkenalkan, saya Letda Arcinta Shahila Bagaskara

yang bertugas sekarang ini"

"Dokter Cinta?"

"Ya?"

"Saya belum butuh dokter cinta, yang saya butuhkan dokter untuk memeriksa saya" dia hanya menaikkan satu alisnya.

Cinta langsung menjentikkan pen tanpa aba-aba lebih dulu, lalu mengarahkan jari telunjuk ku ke kertas yang dia sediakan untuk tes golongan darah.

"Nama saya Cinta, Danton!"

"Saya juga Cinta kamu" dia hanya diam, menyelesaikan tugasnya untuk memeriksa diriku, “kamu bisa diem nggak?”

“Saya lagi periksa”

“Bukan, harusnya kamu diam aja di hati aku”

???

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel