Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Kehilangan Kakek

Kenangan itu akan selalu disimpan dalam hati.

Dua buah surat kini dia temukan di atas mejanya, dengan tulisan yang sangat rapi. Savita membacanya dengan seksama.

Dear gadis dekat jendela,

Haiy.

Aku merindukanmu.

Salam

Pemetik gitar tua.

Teruntuk gadis cantik di dekat jendela.

Aku adalah penggemarmu, lelaki muda yang hobi memetik gitar tua. Aku selalu mengamatimu dalam diamku. Aku yang selalu menunggu kesempatan untuk dekat denganmu. Aku adalah orang yang akan dengan setia menjadi pelipur laramu dengan berbagai keadaan. Karena aku mencintaimu gadis di dekat jendela.

Salam

Pemetik gitar tua.

Savita tersenyum membacanya. Si pemetik gitar tua, siapa lelaki ini. Avi masuk dan duduk begitu saja di samping Savita. Dia mengamati wajah Savita yang selalu saja cantik.

Kapan dia jeleknya sih? Atau gue yang terlalu bucin

“Vi, gue dapat surat ancaman,” ucapnya berbisik di telinga Avi.

“Siapa yang berani kirimin lo surat ancaman? Coba gue lihat.” Savita memberikan empat lembar memo kecil yang dia dapat seperti biasa beserta hadiahnya.

“Pemetik gitar tua, gitar tua itu ... ukulele bukan sih Vi?” tanya Savita.

“Ini bukan surat ancaman woiy, ini surat cinta. Ah elah, jadi ngegas dong gue.”

Savita hanya tertawa. Dia merebut kembali keempat surat itu beserta hadiahnya yang masih menempel di suratnya.

“Itu susunya gak diminum?” tanya Avi, Savita menggeleng. “Sayang banget deh, aus gue.”

“Nanti kalau ada racun atau guna-gunanya gimana hayo?”

Avi berdecak sebal. Dia merebut susu kotak dan memberikan suratnya pada Savita. Meminumnya di depan Savita. Dia berpikir untuk mengerjainya sejenak, mungkin mengasyikkan.

“Rasanya enak ...,” Avi diam sejenak. “Pemetik gitar tua, di mana ya? Aku ingin bertemu Dhe.”

“Fix, lo kena guna-guna si pemetik gitar tua. Tunggu ya, gue punya solusinya.” Savita melambaikan tangannya saat melihat kedua sahabatnya memasuki kelas.

“Ape?” tanya Fabian.

“Avi kena guna-guna, coba ambilin palu gih, gue kudu getok palanya Avi.”

“Woiy, enak aja. Kasih peluk kek, disayang gitu. Malah mau digetok. Kasar banget sih Dhe.”

***

Savita bercerita tentang Avi di depan kakeknya. Dia menceritakan segalanya tentang Avi dari sudut pandang yang berbeda. Bahkan menceritakan tentang surat kaleng dari pemetik gitar tua.

“Kamu suka Avi, nggak?” pertanyaan itu membuat Savita diam.

“Iya, Kek. Aku cinta sama Avi dari dulu,” ucapnya malu-malu.

“Saran kakek, coba kamu datangnya lebih awal, kamu bisa amati si pemetik gitar tua itu mengirim surat.”

Ide yang sangat bagus sekali. Savita mengangguk setuju. Dia kembali mendengarkan cerita kakek tentang ayahnya.

“Kakek, rindu sama ayah kamu. Kakek juga yang membuatnya sibuk dan waktu berkumpul dengan keluarganya harus sedikit.”

“Ayah juga merindukan Kakek. Buktinya, ayah ngajakin nginap sini. Nanti abang juga datang.”

Suhendra membelai kepala Savita lembut. Cucu paling dekat dengannya hanya Savita. Gadis manja dengan sejuta mood yang mampu membuatnya terhibur. Suhendra tinggal seorang diri, dia menolak ajakan Abimanyu dan Kirana, untuk tinggal bersama mereka. Dia hanya ingin menghabiskan masa pensiunnya seorang diri di rumah yang membawa kebahagiaan.

Savita mengusap air mata yang jatuh di pipi Suhendra. Dia mengerti bagaimana rasanya merindukan seseorang yang susah untuk ditemui. Karena waktu dan ego sesama pria, yang membuat mereka harus berjarak. Hanya kelembutan seorang wanita yang mampu menyatukan mereka kembali. Dia salut kepada ibunya, telah berhasil menyatukan waktu ayahnya yang super sibuk untuk mengunjungi kakeknya, walau satu minggu sekali.

“Ayah,” sapaan berat yang dikenali Suhendra.

“Abi,” lirihnya.

Abimanyu memeluk Suhendra erat, entah mengapa hatinya merasa sedih dan ingin sekali bertemu dengan Suhendra secepatnya. Beruntung istrinya mengerti betul bagaimana keadaannya, mereka bergantian untuk berkunjung dan merawat Suhendra.

“Terima kasih telah meluangkan waktumu untuk ayah, Nak.”

“Aku, rindu Ayah.”

***

Abimanyu mengantarkan obat untuk Suhendra pagi ini. Karena setelah sarapan, ayahnya ingin tidur sejenak di kamar. Kirana menyiapkannya dan menyuruh suaminya itu untuk mengantarkan obat wajib yang harus diminum mertuanya.

Abimanyu membuka pintu pelan, dia melihat wajah damai ayahnya saat terbaring di tempat tidur. Menyentuh telapak tangan ayahnya yang dingin, membuat Abimanyu khawatir. Dia memberanikan diri untuk menyentuh leher ayahnya. Tidak merasakan denyut apapun, membuat Abimanyu khawatir luar biasa.

“Kirana,” panggilnya.

Dengan sigap, istrinya itu berlari bersama Savita. Wajahnya pias, saat melihat Abimanyu menangis tergugu dan duduk di lantai. Kirana memeriksa keadaan mertuanya itu dengan teliti.

“Innalilahi wa innailaihi rojiun. Ayah, meninggal, Mas,” ucapnya diiringi tangisan.

“Kakekkkk,” isak tangis Savita memenuhi ruangan.

***

Pertemuan dan perpisahan benar adanya, siklus kehidupan yang akan selalu berputar. Kematian adalah perpisahan yang kekal. Savita menangis tanpa henti di pelukan Kirana. Dia benar-benar kehilangan sosok kakek yang selalu mendengarkan dirinya saat bercerita tentang berbagai hal.

Sore hari yang cerah, mengiringi kepergian Suhendra. Banyak sanak saudara yang datang untuk melepas kepergian Suhendra untuk terakhir kalinya. Abimanyu hanya diam tanpa ekspresi, berbeda dengan Savita yang masih menangis.

Zaqi memeluk Savita, mengajaknya untuk pulang. Tidak ada kata yang keluar dari bibir Savita. Kirana membelai kepala Savita lembut, menyalurkan kekuatan untuk tetap tegar.

“Dhe,” sapaan Avi tidak didengar Savita. Dia masuk ke kamar begitu saja, tanpa bicara.

“Maafin anak tante ya, Vi,” ucap Kirana.

“Nggak kok Tan, Dhea butuh waktu sendiri. Saya turut berbela sungkawa ya Tan.” Kirana mengangguk.

***

Rumah sunyi tanpa adanya canda tawa yang mnghiasi. Kirana menghela napas lelah. Membujuk Savita untuk menemaninya makan pun sia-sia, begitu juga Abimanyu yang hanya diam di kamar tanpa ekspresi. Hanya dia dan Zaqi yang menikmati makan siang. Hari ketiga kepergian Suhendra, yang masih menyisakan luka. Kirana dan Zaqi mampu bangkit dari rasa kehilangan yang ada.

“Siang Tante, Bang,” sapa Avi.

“Siang. Sini Vi, ikut makan siang bareng,” ajak Kirana. “Mau kasih tugasnya Vita ya?”

“Iya Tan. Dhea ... masih belum keluar kamar ya, Tan?” Kirana mengangguk.

“Coba bujuk Vita makan deh, Vi. Anak itu belum makan dari pagi tadi.”

Avi mengangguk, dia berjalan menuju kamar Savita. Mengetuk pintunya beberapa kali, tapi tidak ada jawaban dari Savita. Kembali mengetuknya juga sama sekali tidak ada jawaban. Avi mencoba membuka pintu kamar Savita, tidak dikunci. Dia masuk dan melihat Savita tengah duduk menhadap jendela dengan tatapan kosong. Pantas saja panggilannya tidak didengar.

“Woiy Dhe,” tidak ada jawaban, tapi dia tidak menyerah. “Dhe, lo kenapa sih, diem aja?”

Savita berbalik badan dan menubruk Avi, meluapkan tangisannya di pelukan Avi. Memeluknya erat, bahkan membelai kepala Savita lembut. Dia tidak tahu harus berbuat apa jika Savita menangis seperti ini, kepalanya bisa berdenyut hebat hanya mendengarkan tangisan Savita.

“Gue rindu kakek,” isaknya kembali terdengar. Avi mengangguk.

“Gue tahu, tapi seenggaknya lo bisa makan. Nggak kasihan sama bunda lo? Udah capek-capek masak, tapi lo nggak mau makan.” Tidak ada jawaban dari Savita.

“Gue kehilangan Kakek.”

“Hmm, gue tahu itu, ada yang lebih kehilangan dari lo,”

“Siapa?”

“Ayah lo. Om Abi bahkan nggak keluar kamar sama sekali. Terakhir gue ketemu, beliau tanpa ekspresi.” Savita menghapus air matanya. “Coba deh, lo ngobrol sama ayah lo, dengarkan beberapa menit aja masalah beliau.”

Benar.

Dia benar-benar lupa akan hal ini. Avi mengajaknya keluar kamar untuk menemui Kirana dan Zaqi. Kirana memeluk Savita, seharusnya dari kemarin dia menyuruh Avi membujuk anak manjanya ini.

***

“Mas,” sapa Kirana memasuki kamar mereka.

Abimanyu hanya diam dan menatap buku catatan di tangannya. Kirana menghampiri Abimanyu, mengambil buku catatan kecil itu dan meletakkannya di nakas. Memeluk suaminya erat, Abimanyu menangis tergugu dipelukan Kirana.

“Lepaskan semuanya yang mengganjal di hati Mas, ada aku yang siap jadi penyandarmu.”

Suara pintu terbuka membuat Abimanyu menghapus air matanya. Savita berlari dan memeluk ayahnya dengan erat, diikuti oleh Zaqi di belakangnya.

“Mau ikutan nangis juga,” suara sengau Savita terdengar. “Ayah, maafin aku yang hanya merasa kehilangan sendiri. Ayah ... yang paling kehilangan di antara kami.”

Abimanyu memeluk anak bungsunya itu. “Iya, Dek.”

“Aku sayang Ayah. Mari kita bangkit bersama, Yah. Ada bunda dan abang yang siap memeluk kita berdua.” Abimanyu mengangguk setuju.

***

“Saya mencintai Dhea, Kek. Suatu saat nanti, saya ingin menikahinya.” Ucapnya sungguh-sungguh.

”Ya. Nikahi cucu kakek. Karena kakek hanya percaya padamu, Vi.”

“Tapi ... saya takut merusak persahabatan kami,” ucapnya meragu.

“Jika seseorang telah mengatakn cinta, mereka harus siap dengan konsekuensi yang ada, Vi. Itu semua tergantung dari kamu, bagaimana kamu menhargai cinta yang hadir di antara kalian.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel