Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Bikin Iri

Aku baru saja di telpon Mama untuk minta dijemput di rumah sakit, katanya kangen.

Sejak beberapa bulan lalu, aku pindah ke asrama, jarang pulang ke rumah juga, kalau gak hari Sabtu atau Minggu aja. Kalau gak ada tugas negara juga.

Lama ku menunggu Mama di mobil, aku paling malas kalau harus masuk ke rumah sakit dan memakai baju doreng seperti ini. Apalagi sekarang musimnya para doreng naik pamor, di kalangan para wanita.

Aku berjalan di lorong rumah sakit untuk menjemput Mama ku tercinta.

Seorang berjas dokter menabrakku, hingga membuatnya terjatuh ke lantai.

Yang nabrak sapa yang jatuh sapa. Batin ku kesal.

Aku mengulurkan tanganku untuk membantu perempuan di depanku ini berdiri. Perempuan itu berdiri dan membungkukkan badannya meminta maaf pada ku.

"Maaf, saya gak lihat ada anda tadi" aku mengangguk. Perempuan itu mengulurkan tangannya untuk berkenalan.

"Saya Atikah, anda?" Tanyanya. Aku sebenarnya malas untuk berkenalan dengan perempuan didepanku ini.

"Melvi. Permisi" aku undur diri menuju ruangan Mama.

"Ah anak Mama yang gantengnya kayak Papa" aku berdecak sebal kala mama menggodaku seperti itu.

"Ayo pulang sekarang Ma, abang gak nyaman sama tatapan mereka" Mama ikutan melirik sekitar yang tentu saja para kaum hawa menatap kagum padaku.

"Oke anak ganteng Mama. Kita pulang yuk" Mama menggandeng lengan ku erat.

Aku memperhatikan sekitar ku dan melihat Atikah sedang bersama orang yang ku kenal sebagai atasanku di Yon.

"Ayo bang pulang, mana mobilnya?" Ku tunjuk mobil sedan ku yang berwarna hitam di dekat Atikah.

Aku berjalan beriringan, Mama menggandeng lengan ku. Aku sangat senang sekali jika berjalan dengan Mama seperti ini, sampai-sampai Papa cemburu dibuatnya.

"Lea" sapa Komandan. Mama tersenyum saat sapaan itu ditujukan padanya. "Apa kabar?"

Mama mengangguk kecil. "Alhamdulillah baik"

Ya. Aku merasa cemburu jika ada laki-laki lain yang menyapa Mamaku kecuali para sahabat Mama yang beliau kenal. Bagaimana jika Papa ku tahu hal ini? Pastinya cemburu.

"Lettu Melvi? Anak kamu dan Arsa?" Mama mengangguk, masih menggandeng lengan ku, tanpa berniat melepaskan.

"Ya. Atikah anak kamu?" Komandan mengangguk.

Oh anaknya.

"Ijin mendahului Ndan. Ayo Ma, kita udah ditunggu Papa" Mama mengangguk dan berpamitan pada keduanya.

Mama sangat tahu kalau aku sangat tidak suka Mama dekat dengan orang lain selain Papa dan kedua anaknya, para sepupu dan sahabatnya.

Sampainya dirumah pribadi Papa, Mama turun bersama dengan Papa yang baru saja tiba dengan Billal disampingnya. Papa menjemput Billal di sekolah, eh bukan sih, lebih tepatnya Papa mendapat surat dari kepala sekolah Billal.

Billal segera memeluk Mama dan menggandeng lengan Mama untuk masuk ke rumah. Tentu saja Billal sengaja berbuat seperti itu. Dia malas kalau harus menyaksikan adegan romantis dari keduanya, bahkan aku sendiri juga begitu.

"Dek, main nyelonong aja kamu" Papa mendengus sebal, aku menahan tawa saat melihat wajah cemberut Papa.

Mau ketawa, tapi takut dosa.

"Ngapain kamu? Mau ngejek Papa, hm?" Papa menatapku tajam.

"Siap salah" aku memilih pergi menyusul Billal dan Mama didalam, mengabaikan tatapan tajam Papa pada ku.

"Udah, Mama tuh istirahat aja, biar Billal yang masak" Mama menatap horor Billal. Pasalnya, Billal sangat sering membuat dapur kesayangan Mama berantakan seperti terkena bom molotov.

"Jangan buat dapur kesayangan Mama seperti medan perang ya" Billal terbahak mendengar perkataan Mama.

"Ada abang yang bantuin Ma" Billal bersorak senang.

Adek Terkampret.

Mama membuatkan Papa teh hangat lemon, dan duduk di meja makan bersama. Ah bikin iri deh. Semoga aku bisa menjaga ke romantisan ku nanti bersama pasangan ku nantinya.

"Pa, tadi komandan abang nyapa Mama" Papa menaruh kembali gelas berisi teh lemon itu di meja yang belum di sesapnya. "Tanya kabar juga Pa"

Mama menatapku tajam yang nyengir tanpa dosa, seakan mengatakan itu-mulut-di jaga. Papa menatap Mama seakan meminta penjelasan.

"Farhan cuma tanya kabar aja Pa" Mama tersenyum manis ke Papa.

"Kemarin juga ada dokter yang nyapa Mama lho Pa, dokternya ganteng Pa, kayak artis Korea" Mama makin melotot kearah Billal yang mengalihkan pandangannya kearah lain.

Emang dasar!

"Ikut aku" Papa menggenggam tangan Mama yang ada di meja, menariknya lembut menuju kamar mereka. Mulai deh sifat posesifnya.

"Billal request adik perempuan satu ya" teriaknya saat Papa dan Mama menuju kamar mereka.

Papa dengan cepat mengunci pintu kamarnya. Aku dan Billal tertawa terbahak-bahak karena melihat tingkah Papa yang masih saja cemburu di usianya yang sudah tidak muda lagi.

???

Kisah cinta memang tidaklah akan sempurna. Akan ada cacat disetiap hubungan seseorang. Tuhan tahu apa yang terbaik untuk umatnya. Kisah cinta yang dialami setiap insan berbeda. Tertawa karena cinta, maupun menangis karenanya, semuanya adalah hal yang wajar dalam kisah percintaan.

Zaqi duduk menunggu adik manjanya yang sedang memilih beberapa cemilan rasa coklat. Seorang wanita menyapanya yang hanya menatapnya dengan datar. Wanita itu tersenyum dan kembali menyapa.

“Bang Zaqi, lupa sama aku?” tanyanya. Zaqi hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Apa kabar Zaq? Masih ingat dengan Narita?” tanya lelaki paruh baya. Zaqi hanya mengangguk. “Padahal dulu temen main bareng sama Vino.”

Zaqi hanya mengangguk sekilas, dia memilih menunggu adiknya selesai dan menghampiri dirinya. Narita mencuri pandang pada Zaqi yang hanya diam dan asyik mengobrol dengan Savita tanpa peduli apa yang para orang tua bicarakan.

“Boleh minta nomor hape Abang?” Narita dengan berani meminta nomor ponsel Zaqi. Zaqi mengangguk dan mengangsurkan ponselnya pada Narita.

Dear gadis dekat jendela,

Salam kenal dari aku, si pemetik gitar tua.

Sebait kalimat sapaan tersemat dibalutan susu kotak coklat di meja Savita. Dia celingukan untuk mencari pelakunya. Rachmi datang membawa tugas yang harus mereka kerjakan nanti sepulang kuliah. Dia ikut membaca dan berpikir siapa pelakunya.

“Simpan dulu deh, daripada runyam entar.”

Savita menyimpan sepucuk surat itu saat Avi datang bersama Fabian. Mereka mengobrol tentang tugas yang harus membawa hewan untuk bahan percobaan.

“Kata abang gue, pas koas itu, dia disuruh bawa kepala ayam satu kilo,” ungkap Fabian.

“Buat apa?” tanya mereka serempak.

“Buat belajar sunat, sebelum praktek langsung.”

“Besok, lo aja Fab, yang jadi kelinci percobaan gue buat khitan, sebelum gue praktek langsung.” Celetuk Avi.

“Masa depan gue bisa abis di tangan lo yang nggak propesional. Gila lo!” sungut Fabian. Avi hanya tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

"Kan lo belum ngerasain dipotong dua kali, Fab. Ayolah coba!" bujuk Savita.

"OGAH! Gue masih waras dari pada lo!" teriaknya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel