4. Kopi
Hati bukan untuk bersandar dikala kau lelah.
Kopi, bukanlah rasa yang tepat untuk disesap dikala hati gundah. Duduk didekat jendela dengan meratapi kisah cinta yang tidak akan pernah mulus. Hanya mengharapkan kisah yang indah, tanpa ingin tersakiti dan disakiti, rasanya kurang adil untuk hal ini. Namun, itu adalah harapan setiap orang dalam melakoni kisah percintaan yang hadir. Setiap janji akan selalu diucapkan, kala memiliki rasa yang berbeda dari biasanya. Hati ini bukanlah tempat persinggahan janji manis yang selalu diucapkan untuk membuai cinta semu, hati ini suci dan seharusnya terjaga tanpa adanya luka yang ditoreh dari cinta.
“Ada yang bilang, kalau kopi nggak baik buat kesehatan, tapi rasanya gue kali ini lihat kopi di depannya. Oh, mata gue yang rabun,” ucap gadis di depannya.
“Gue lagi menyelami fakta tentang kopi, Dhe. Katanya kopi itu bisa manis, kalau kita menikmatinya dengan pasangan.”
“Kalau mau kopi manis, ya, tambahin gula. Tuh, ada gula di samping cangkir lo, Bapak Avilash,” tunjuknya pada sebungkus gula pasir.
Mereka berdua tertawa, hal kecil yang selalu membuat mereka mampu mengumbar senyuman. Persahabatan yang dibangun sejak kecil, entah sampai kapan akan selalu kekal. Bukan bermaksud menentang takdir Tuhan, selalu ada rasa cinta yang tiba-tiba hadir dalam suatu hubungan. Mungkin, perasaan itu belum tersadari dari mereka, lambat laun, rasa itu akan terungkap dan meminta jawaban.
“Avilash dan Savita, dua remaja yang sedang bercengkrama akrab, layaknya sepasang kekasih yang membohongi adanya rasa cinta.” Dua lelaki berpakaian doreng, kini duduk bersama keduanya.
“Masih mendingan kita ya, Vi, kalaupun ada rasa cinta, ya, wajar. Tapi, yang akan nggak wajar itu, antara Abang dan bang Vino yang punya rasa cinta,” balas Savita.
“Adek kampret, gue piting juga lo,” ancam Zaqi.
“Eh, bentar deh, lo berdua emangnya nggak ngerasain cinta? Vi?” tanya Vino.
“Abang ngerasa ada cinta nggak ke bang Zaqi?” balas Avi.
“Abaikan pertanyaan gue, Adek laknat lo. Dah lah, gue laper. Pesen makan deh, Zaq.”
Zaqi mengangguk setuju, mereka memesan makanan dari daftar menu yang ada. Memikirkan kedua remaja di depannya tidak akan mendapatkan jawaban yang pasti. Terlalu sulit untuk membuka fakta diantara mereka. Seakan rasa cinta tidak ada dalam hal ini.
***
“Kita ... putus.”
Lelaki di depannya merasa kaget dengan kalimat putus yang terlalu singkat dari gadis di depannya. Dia, menghela napas berat. Mengapa secepat ini dia diputuskan tanpa sebab dan terlalu cepat tentunya. Baru bulan kemarin, dia mengatakan cinta dan mengajak gadis di depannya itu untuk berpacaran. Tapi, sore ini, di kafe ini, dia menerima kata putus.
“Kenapa Ta?” tanyanya bingung.
“Tanya sama diri Kakak. Sejujurnya, saya nggak cinta sama Kakak. Maaf, kalau saya menjadikan Kakak pelarian,” ucap Savita tidak enak hati.
“Maksud kamu?”
“Ada seseorang yang saya sukai sejak dulu, tapi dia menerima gadis lain,” Savita berdehem sejenak, menghalau rasa sesak di tenggorokan. “Kebetulan juga, Kakak nyatain cinta, ya, saya coba.”
Aidan, lelaki itu tertawa miris, fakta yang terlalu menyakitkan untuk didengar di sore yang menyejukkan ini. Bahkan, mereka bertemu dalam keadaan tak terduga. Saat itu, Aidan tengah berjaga di perempatan jalan dekat kampus Savita. Dia mengecek segala surat-surat kendaraan para pengguna jalan. Savita yang saat itu dibonceng oleh Fabian harus turun dan marah-marah pada temannya. Aidan maju selangkah untuk menyapa keduanya dan menanyakan duduk perkaranya.
“Terus ini gimana Fab? Avi sendirian di rumah sakit, masa iya gue harus telepon bokap gue?”
“Ya, maafin gue, Ta, kalau lupa bawa stnk.”
“Selamat siang, ada masalah apa ini?” tanya Aidan.
“Begini Pak, temen saya ada yang kecelakaan, kami harus ke rumah sakit, tapi sayanya lupa bawa stnk.”
“Kalau begitu, mari saya antar saja. Ke rumah sakit mana?” tanya Aidan.
“Bhayangkara, Pak. Ta, lo aja gih yang berangkat, tolongin si Avi,” bujuk Fabian. Savita mengangguk, dia menerima tawaran Aidan untuk pergi ke rumah sakit Bhayangkara.
Tiga puluh menit perjalanan yang singkat, pandangan mata Aidan tak luput dari gadis manis yang dia bonceng untuk sampai ke rumah sakit. Baru kali ini dia melihat seorang gadis yang terlihat tenang. Aidan bertanya pada suster yang bertugas di depan meja informasi.
“Avilash Sandria, umurnya sekitar dua puluhan, Sus.”
“Ada, masih di ruang IGD, ditangani dokter.”
Savita langsung berlari meninggalkan Aidan sendirian. Dia tertawa, baru kali ini dia ditinggalkan oleh seorang perempuan, dia mengikuti ke mana Savita berlari. Ruang IGD yang tengah ramai oleh korban kecelakaan dan beberapa polisi yang menolong mereka berdua.
Avi tersenyum lemah, menahan rasa sakitnya, saat Savita datang dan duduk di samping dokter yang baru saja menyelesaikan tugasnya. Avi memegang tangan Savita dan mengaduh kesakitan, kala menggerakkan kakinya.
“Dokter, maaf, teman saya kenapa ya?”
“Pasien mengalami beberapa luka kecil dan kakinya keseleo, tidak terlalu serius. Tapi berbanding terbalik dengan yang menabraknya tadi, motornya menabrak tiang dan dia belum siuman,” jelas dokter di depannya itu.
“Lo nggak nabrakkan, Vi?” tanya Savita.
“Enggak Dhea, gue korban. Gue malah mau nyebrang, trus ditabrak gitu aja sama dia,” jawabnya.
“Lo lupa sesuatu, lo nggak bisa keluar dari sini kalau nggak ada wali yang datang.”
Avi mengacak rambutnya, kedua orang tuanya sedang kunjungan ke luar kota, abangnya belum selesai pendidikan. Dia memandang Savita penuh harap, hanya Savita harapan terakhirnya.
“Bunda aja ya, ayah gue lagi ke luar kota,” Avi mengangguk setuju. “Eh, lupa deh, bunda gue lagi di ruang operasi. Jadi, lo tunggu aja di sini.”
Aidan dan temannya meminta data diri Avi sebagai korban kecelakaan dan menunggu sampai walinya datang. Tatapan mata Aidan tak lepas dari Savita walau sedetikpun dan itu disadari oleh Avi. Dia tiba-tiba merasa gerah, seakan tak rela Savita dilirik lelaki lain. Avi menggenggam tangan Savita dengan sengaja. Bahkan tatapan permusuhan dia layangkan pada Aidan yang juga memandangnya.
Sejak saat itu, Aidan jatuh cinta pada Savita dan berani untuk mengungkapkan rasa cintanya itu pada Savita. Dia sengaja mengajak Savita ke kafe untuk mengungkapkan rasa cintanya. Tanpa dia duga, Savita menerimanya. Dalam hati Savita merrasa membohongi dirinya sendiri. Dia sengaja menerima pernyataan Aidan hanya untuk menjadikannya sebagai pelarian semata. Karena dia melihat Avi mengangguk di depan gadis lain yang mengungkapkan cinta.
“Saya harus pergi,” kalimat itu membuat Aidan tersadar.
Dia menahan tangan Savita, mengajaknya untuk duduk sejenak. Dia menghela napas berat, haruskah dia memecahkan rekornya? Mempunyai pacar dengan hitungan yang luar biasa singkat, tanpa adanya waktu bersama.
“Tapi kenapa harus putus?”
“Karena Kakak, pantas mendapatkan yang lebih baik dari saya. Mungkin gadis itu, yang selalu Kakak gandeng saat ke sini.”
Aidan melotot, dia bahkan kaget jika Savita mengetahui gadis itu. Yang selalu dia ajak ke kafe ini, hanya untuk melepas penat. Sejujurnya kisahnya dengan gadis itu hanyalah teman rasa selingkuhan. Gadis itu mempunyai pacar dan terabaikan. Sama dengan nasib Aidan.
“Dia teman,” jawab Aidan singkat.
“Teman tidak akan berciuman di lorong sepi, Kak. Saya harus pergi, permisi.”
***
