10. Kafe Senja
Jika memang aku jatuh cinta padanya, biarkan cinta ini ada.
Candy memandang kafe Senja yang sangat Instagramable di depannya. Dia memandang Arka yang sama tidak tahunya dengan dirinya. Ada kafe bagus, tapi mereka tidak ada yang tahu. Ini gimana ceritanya mereka bisa terlewati.
"Kok loe bego sih, Ka? Kafenya bagus," ucap Candy yang malah mendapat jitakan dari Arka.
"Loe juga sama begonya keles," kelakar Arka. "Dah, gue cabut. Good luck."
Sepeninggal Arka, dia memasuki kafe. Terperangah dengan desain kafe yang sangat menarik perhatian dirinya. Candy berjalan menuju kasir. Menghela napas sejenak sebelum dia bertanya.
"Mbak, saya mau melamar pekerjaan," ucapnya.
"Langsung masuk saja ke kantor, Mbak."
Candy mengikuti arahan gadis itu menuju kantor yang berjarak.400 meter dari tempatnya berdiri tadi. Candy mengetuk pintunya dan teriakan untuk masuk membuatnya melangkahkan kakinya menuju ruangan itu. Lelaki berperawakan tidak terlalu tinggi itu, memandang Candy dari atas hingga bawah.
"Saya mau melamar pekerjaan," ucapnya kembali.
"Duduk, saya kira tadi mau melamar anak orang."
"Ya kali, Pak. Kan saya perempuan,. harusnya saya yang dilamar."
Candy memberikan surat lamaran itu, lelaki itu mengamati dengan seksama dan mengangguk sekilas. Dia mengajak Candy menuju meja barista kopi, mempersilahkan Candy menunjukkan bakatnya yang terpendam. Candy tanpa sungkan menunjukkan bakatnya, membuat cappucino dengan latte art berupa bunga mawar.
"Luar biasa. Saya terima kamu sebagai barista kopi di sini." Candy bersorak, "saya Aidan."
"Bapak sudah baca data diri saya, panggil saja Candy," ucapnya kembali.
***
Candy melangkahkan kakinya untuk berjalan menuju kos. Dia menghemat uang jajannya, selama dia belum merasakan gaji pertamanya. Berhenti sejenak di mini market yang berwarna biru, dia masuk menuju deretan es krim. Rasanya dulu sepulang sekolah, mereka akan jajan es krim dulu. Sekarang Meera ada di luar negeri, sedangkan Reya masih bergelut dengan dunia brownis, Arka melanjutkan menjadi penyiar radio, dan hanya si Celine yang masih betah jadi mahasiswi. Candy benar-benar merindukan masa putih abu-abu, saat hanya memikirkan perasaan kedua orang tua, dan sekarang dia harus benar-benar merasakan susahnya mencari nafkah.
"Hidup memang selalu berputar, kalau gak muter, gimana jadi?" ucapnya saat melihat teman seangkatannya dulu selalu berbuat sombong, kini dia bekerja sebagai SPG rokok.
Candy kembali melangkahkan kakinya untuk masuk ke teras kosan. Hawa panas sangat membuatnya lemah. Ibarat coklat, dia akan meleleh karena panas. Ibarat es batu, dirinya akan mencair jika ditengah gurun. Ya jelas kalau itu, mana ada es batu bertahan lama. DiaDia menyapa Celine yang wajahnya kurang bersahabat bersama seorang pria, tapi Candy tidak ingin mencampuri urusan masing-masing sahabatnya.
Merebahkan tubuhnya di kasur. Berandai-andai memiliki pacar. Rasanya sudah lama sekali dia tidak menjalin hubungan dengan seseorang. Dulu saat SMA saja, dia pernah menjalin kisah dengan si mantan, tapi memang si mantan ini laknat bin durjanah, baru beberapa hari jadian, sudah main sosor saja. Dikira Candy ini bebek apa? Bukan Candy kalau dia tidak bisa menyentil kening si mantan dengan sepatu.
"Kalau nanti gue punya pacar, maunya yang ganteng bin kaya," kelakarnya.
***
Candy memasuki area kafe yang masih sepi. Ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai barista kopi. Dia menyapa para karyawan yang juga bertugas pagi ini. Kedatangannya kali ini, bertepatan dengan partner kerja Aidan yang baru saja pulang dari luar negeri. Lelaki itu memasuki kafe dengan gagahnya. Candy benar-benar mengumpat kegantengannya yang tiada tara.
Lelaki tinggi dan kulit eksotis itu berdiri tepat di depan Candy. Memandang Candy dengan datarnya. Andaikan Candy tidak ingat banyak orang, mungkin dia akan memeluk lelaki itu. Ah itu hanya andaikan, dia bukan tipe wanita main sosor seperti bebek. Candy itu anggun? Enggak. Candy itu cantik? Enggak juga. Aih, lalu apa yang dibanggakan dari seorang Candy? Enggak ada.
"Saya Handaru Kamandaka," ucapnya datar, tapi mampu membuat Candy terpana.
Target cinta gue, mas Handaru Kamandaka. Batinnya.
***
“Surat yang indah, untuk gadis cantik,” ucap seseorang yang tidak dia duga.
Jonas, lelaki yang tiba-tiba datang dan memberikan sebuah surat cinta pada Savita. Dia diam tanpa ekspresi, tidak menerimanya sama sekali. Jonas menarik tangan Savita dan meletakkannya di telapak tangan Savita, setelah itu dia pergi. Savita memberikannya pada Avi.
“burem mata gue kalau baca surat ini,” jelas Savita.
“Yang jelas bagi lo apa?”
“Tulisan lo yang bisa gue baca dengan jelas.” Mengedipkan sebelah matanya ke Avi.
Gilak, dia udah berani goda gue.
Avi menarik napas sepelan mungkin, dia menetralkan degub jantung yang menggila, hanya karena satu kedipan dari Savita. Dia duduk dan membuka surat dari Jonas. Benar kata Savita, tulisannya buram. Membaca satu kata dari isi surat itu, bagaikan membaca barcode. Meletakkannya asal di meja, Avi diam dan memandang Savita yang membaca buku catatannya.
“Makasih banget lho, udah rela banget nulis di buku gue.” Avi mengangguk. “Lo sesayang itu ya sama gue?”
Avi berdehem sebentar. “Iya, gue sayang sama lo, Dhe.”
“Gue juga sayang sama lo, Vi,” diiringi senyuman manis yang mampu membuat jantung Avi tidak baik-baik saja.
Memasang stetoskop di telinga, dia mengarahkannya tepat di dada Avi. Memejamkan mata untuk mendengarkan irama jantung yang tidak beraturan. Wajah Avi memerah malu. Savita menempelkan telapak tangannya pada kening Avi tanpa rasa bersalah.
“Lo nggak demam, tapi kenapa wajah lo merah?” tanya Savita tanpa dosa.
“Gue ... kepanasan. Lagian buat apa bawa stetoskop?”
“ini hadiah dari kakek sebelum meninggal. Kakek pesan, gue disuruh dengerin irama jantung lo, kalau gue bilang sayang sama lo.”
Polos banget ya bun, calon masa depan gue.
“Betewe Vi, kok si pemetik gitar tua nggak kasih gue surat sih?” Avi pura-pura tidak mendengar. “Padahal gue rindu baca tulisannya.”
Dhea, lo buat jantung gue nggak karuan.
“Vi,” bisiknya tepat di telinga Avi. “Gue sayang sama lo.”
Wajah Avi semakin merona, dia menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Nyatanya terlambat, Savita, Rachmi dan Fabian sudah melihat perubahan ekspresinya. Mereka menahan tawa sekuat tenaga. Baru kali ini seorang Avi yang terlihat sempurna, mampu salah tingkah, hanya karena bisikan kalimat sayang oleh Savita.
“Muke lo kek tomat rebus, anjim,” ejek Fabian.
“Diem anying.”
***
Savita berhenti di ambang pintu kelasnya. Dia melihat Avi sedang menyelipkan sepucuk surat dan susu kotak rasa strawberry di meja. Dia berbalik dan menarik Rachmi untuk sembunyi di dekat mading. Meremas jemari Rachmi, Savita berbisik dengan pelan dan hanya Rachmi yang mendengarnya. Rachmi mengangguk setuju, dia menarik Savita untuk masuk kelas.
Savita berjalan menuju mejanya, dia membaca sepucuk surat yang telah disiapkan oleh Avi di sana.
Dear gadis di dekat jendela,
Apa kabarmu? Aku rindu.
Merindukan euforia mengirimimu surat cinta ini.
Pemetik gitar tua.
Savita diam tanpa suara, dia memasukkannya begitu saja kertas tadi dalam tas. Dia akan meneleitinya nanti. Savita memilih diam dan menunggu Avi kembali ke kelas dengan ekspresi berbeda.
“Mi, pokoknya lo nginap rumah gue.” Rachmi mengangguk.
Avi datang bersama Fabian, melirik ekspresi Savita yang sedikit aneh. Dia duduk dan memandang Savita.
“Lo kenapa Dhe? Sakit?” Savita menggelengkan kepalanya.
“Lo percaya nggak, kalau Narita nembak abang gue?” Avi mengedikkan bahunya.
“Setahu gue, dia pacaran sama abang gue.” Savita meremas pulpen di depannya dengan erat.
Dasar rubah.
***
“Dia menemui ayah di rumah, beberapa hari sebelum ayah meninggal.”
“Dia ngomong apa? Mas tahu dari mana?”
“Dia bilang cinta. Ayah sendiri yang cerita sama aku, malam itu. Kamu tahu Ki, wajah ayah bahagia sekali saat itu.” Abimanyu menghela napas sejenak. “Ayah merestuinya.”
“Dan aku juga akan merestuinya, Mas.”
“Ya, aku juga, Ki.”
***
