Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 04 : Human Sucks

Helios berdiri di depan jendela kaca besar ruangannya, dalam ketenangan ia menatap malam yang dingin namun sebenarnya hangat di Sisilia. Laki-laki itu lantas menundukkan kepalanya, menatap segelas anggur yang berada di tangannya.

Laki-laki itu menggoyangkan gelas anggurnya perlahan membuat isinya ikut terguncang. Hingga tiba-tiba ia mengeluarkan pistolnya dan berbalik, bersiap dalam posisi menembak.

Laki-laki berambut kuning yang berdiri tak jauh darinya pun mengangkat tangannya. "Oke, kamu menangkapku."

Helios menurunkan pistolnya setelah melihat wajah laki-laki itu. Laki-laki itu merupakan sahabat bodohnya bernama Kalid Hilker. Meskipun Helios menganggapnya bodoh, faktanya ia merupakan seorang dokter umum di sebuah rumah sakit yang tak terlalu jauh dari gedung casino miliknya.

"Bagaimana kunjunganmu ke Jepang?" tanya laki-laki bernama Kalid itu membuat Helios mendengus, ia lalu meletakkan gelas anggurnya di atas meja.

"Entahlah, mungkin lumayan menarik," ucap Helios dengan sudut bibirnya yang sedikit sekali terangkat namun karena Kalid tengah memperhatikannya, ia dapat melihatnya.

"Oh astaga, kamu tersenyum? Wah sepertinya benar-benar terjadi sesuatu yang menarik," ucap Kalid tak percaya sambil melipat tangannya di depan dada.

Helios mendengus geli setelah mendengar kalimat itu, ia mendongakkan kepalanya, menatap Kalid yang menatapnya. "Hitam pekat ternyata manis juga."

"Kenapa tiba-tiba mengatakan hal seperti? Kamu membuat jantungku berdebar," ucap Kalid bercanda.

Helios kemudian tak lagi bersuara, ia lantas mendudukkan dirinya. Sementara Kalid tersenyum kecil melihatnya.

"Omong-omong, kamu sudah mendapatkannya?" tanya Kalid tiba-tiba, baru teringat akan perihal penting yang membuat Helios harus pergi jauh-jauh ke Tokyo.

"Entahlah, sedikit rumit," sahut Helios berhasil membuat Kalid menghembuskan nafasnya kasar.

"Penyebaran narkoba mulai sedikit demi sedikit terasa. Ini benar-benar berbahaya," ucap Kalid sambil menatap Helios.

Helios menghembuskan nafasnya berat, mengalihkan pandangannya ke arah jendela besar di ruangannya. "Sebenarnya apa yang ia pikirkan dengan melakukan hal seperti ini?"

"Maaf Helios, harusnya aku bisa menahannya sehingga hal-hal seperti ini tak perlu terjadi. Aku yang terlalu lalai." Helios menolehkan kepalanya usai mendengar kalimat itu, menatap Kalid yang menundukkan kepalanya merasa bersalah.

"Berhentilah menyalakan dirimu sendiri," ucap Helios membuat Kalid mendongakkan kepalanya.

Sudut bibir laki-laki berambut kuning itu pun terangkat, menciptakan sebuah senyuman tipis. "Kamu benar."

Helios menganggukkan kepalanya usai mendengar kalimat itu. Setidaknya ia ingin Kalid tak merasa bersalah atas kejadian yang terjadi hampir 18 tahun yang lalu. Jika pun ada orang yang harus disalahkan mungkin ia adalah orang yang pantas untuk disalahkan.

"Ah ya aku lupa mengatakannya padamu, sebaiknya kamu menjemput kakekmu." Helios mengerutkan keningnya mendengar kalimat itu dari bibir Kalid.

"Kenapa?" tanya Helios.

"Entah apa yang kakekmu lakukan di kebun anggur jam segini," ucap Kalid membuat Helios yang mendengarnya memijat kepalanya, kelakuan kakeknya memang aneh-aneh saja.

Helios bahkan sempat ragu jika laki-laki paruh baya bernama lengkap Apollo Cornelius itu pernah menjadi bos mafia dengan kartel narkoba terbesar di Eropa. Sementara sekarang kelakuannya malah aneh-aneh, seperti kakek-kakek pada umumnya yang sering kali meracaukan hal-hal tak jelas.

Melihat ekspresi Helios yang nampak pusing Kalid pun mendengus geli. "Ayo, dia kakek kesayanganmu kan."

"Hn," sahut Helios pada akhirnya.

°°°

Sarah menghembuskan nafasnya panjang, menatap bangunan hotel di hadapannya. Perempuan itu tampak begitu berat rasanya untuk memasuki gedung itu hingga ia mencapai lift.

"Dokter Sarah Hamilton?" Suara panggilan itu membuat Sarah menolehkan kepalanya. Sarah pun melihat seseorang yang tak asing baginya, perempuan yang kala itu ia lihat bersama Bastien di hotel.

Perempuan itu menatapnya dengan senyuman polos membuat Sarah muak setengah mati melihatnya. Sarah memalingkan wajahnya tak percaya melihat perempuan itu masih berani menemuinya bahkan menyebutkan namanya dengan mulut kotor itu.

"Maaf." Kalimat itu membuat Sarah mendengus remeh. Sarah kembali menatapnya dengan tatapan hina.

"Saya dan Tuan Bastien pada malam itu tidak seperti yang Anda pikirkan. Meskipun begitu saya tak bisa menampik bahwasanya saya mencintainya."

Plakkk. Sarah menampar perempuan itu usai kalimat tak tahu malu yang ia dengar. Perempuan itu lantas menyentuh pipinya yang memerah. Sementara di sekitar sana orang-orang menatap mereka, semua orang tampak terkejut melihat aksi itu.

"Aku menamparmu bukan karena aku masih mencintai mantan kekasihku yang tidur denganmu. Tapi aku hanya menyadarkanmu atas ketidaktahuan malumu. Aku malu sebagai seorang perempuan yang melihatmu sampai mencintai orang dengan menurunkan harga dirimu." Kalimat tajam Sarah berhasil membuat orang-orang disekitar sana membicarakannya.

Sarah tersenyum miring, mendorong bahu perempuan itu dengan satu jari telunjuknya. Perempuan itu menundukkan kepalanya malu, meremas ujung bajunya.

"Menyedihkan," ucap Sarah yang kemudian berbalik meninggalkan perempuan itu, memasuki lift yang kebetulan terbuka.

Sarah seorang diri di dalam lift itu, masih merasa sedikit kesal dengan kalimat itu. Rasanya Sarah ingin pulang namun ia teringat sebelum ia pulang dari rumah sakit, Savi mengatakan bahwa kepala rumah sakit ingin menemuinya. Beliau mengajaknya untuk bertemu di hotel.

Sarah pun tiba di lantai delapan, berusaha mencari nomor kamar hingga ia menemukannya. Setelah menekan bel, pintu kamar itu pun terbuka membuat Sarah memasukinya.

"Bagaimana menurutmu?" Pertanyaan laki-laki yang mungkin usianya tak terlalu jauh dengan daddy-nya itu membuat Sarah bingung, melihat sebuah meja yang di susun rapih ditemani kelopak bunga mawar dan lilin yang cantik.

"Ya bagaimana Dokter Makoto?" ucap Sarah balik bertanya membuat laki-laki bernama lengkap Dan Makoto itu tertawa pelan.

"Ayo duduk," ajaknya membuat Sarah tersenyum canggung.

Keduanya lantas duduk di meja itu hingga Makoto tiba-tiba memberikan sebuket bunga. Sarah hanya terdiam, menatapnya dengan tatapan aneh.

"Mari berkencan," ajaknya membuat Sarah melebarkan mulutnya dengan tidak etis. Dunia pasti benar-benar sudah gila sekarang.

Sarah berdiri, membungkukkan sedikit badannya. "Maaf."

Satu kalimat itu tampak cukup membuat laki-laki paruh baya itu menatapnya dengan tatapan tak percaya.

"Kalau begitu saya permisi." Setelah kalimat itu Sarah pergi meninggalkan ruangan itu, memeluk dirinya sendiri sambil merinding.

°°°

Sarah melipat tangannya di depan dada seraya menggelengkan kepalanya, menatap pengumuman di papan pengumuman dengan tak percaya. "Bajingan."

"Kenapa tiba-tiba jadi begini? Aku ke Sisilia?" ucap Savi tak percaya, menunjuk dirinya sendiri.

"Benar-benar luar biasa, benar-benar bajingan," ucap Sarah masih tak percaya, menatap remeh kertas pengumuman yang rasanya ingin ia robek itu.

Savi menolehkan kepalanya, menatap Sarah dengan penuh tanya. "Kenapa kamu terus mengumpat?"

"Apalagi jika bukan karena si bajingan itu. Sulit dipercaya, ia memindah tugaskan aku ke Sisilia hanya karena aku menolaknya?" ucap Sarah remeh membuat Savi mengerutkan keningnya.

"Menolak? Siapa yang kamu tolak?" tanya Savi membuat Sarah menolehkan kepalanya, menatap perempuan itu dengan senyuman miringnya.

"Dan Makoto," ucap Sarah membuat Savi menutup mulutnya tak percaya.

"Kepala rumah sakit?" tanya Savi berusaha memastikan hingga Sarah menganggukkan kepalanya, membenarkan apa yang coba Savi pastikan.

"Dia pasti sudah gila," komentar Savi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel