Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3

Lila dan Bima berdiri di tengah lingkaran akar, dikelilingi bayangan-bayangan yang bergerak seperti makhluk hidup. Sosok pria berjubah hitam, saksi pertama perjanjian kutukan, berdiri diam di bawah pohon leluhur. Tubuh Arga melayang perlahan di udara, terkurung dalam lingkaran merah menyala.

“Keputusanmu akan mengubah segalanya,” kata pria berjubah itu, suaranya menggema seperti ribuan orang berbicara sekaligus. “Keluarga kalian telah melanggar perjanjian. Kini, darah harus dibayar.”

Lila menatap Bima, air matanya jatuh tanpa henti. “Bima, ini tidak adil. Kenapa kita harus memilih? Arga tidak bersalah. Kita juga tidak meminta semua ini.”

“Karena ini harga yang harus dibayar,” balas pria itu dingin. “Jika kalian ingin memutus rantai kutukan ini, salah satu dari kalian harus menyerahkan jiwa. Tapi jika kalian ingin menyelamatkan diri masing-masing, tinggalkan anak itu. Ia akan menjadi milik kami.”

Suasana semakin mencekam. Akar-akar pohon bergerak liar di sekeliling mereka, menciptakan suara yang mirip jeritan. Cahaya bulan purnama yang sebelumnya merah terang kini berubah menjadi hitam, menghapus semua cahaya di sekeliling hutan.

Bima menggenggam pisau ritual itu dengan tangan gemetar. Ia melangkah ke tengah lingkaran, tubuhnya berdiri tegak meskipun napasnya berat. “Aku akan melakukannya,” katanya tegas. “Aku akan menyerahkan jiwa agar kutukan ini berakhir. Tapi kalian harus berjanji, Arga dan Lila akan hidup bebas dari kutukan ini.”

“Bima, jangan!” Lila mencoba menghentikannya, tapi akar-akar pohon langsung mencengkeram kakinya, mengunci tubuhnya di tempat.

Pria berjubah itu tertawa kecil. “Keberanianmu mengagumkan, manusia. Tapi ini bukan hanya tentang pengorbanan. Apakah kau siap untuk hidup dalam kegelapan abadi, menjadi bagian dari kami?”

“Selama keluarga saya selamat, saya siap,” balas Bima. Ia mengangkat pisau ritual itu ke arah dadanya.

Namun, sebelum pisau itu menyentuh kulitnya, Lila berteriak. “Tunggu! Kalau kalian ingin darah, ambil darahku!”

Pria berjubah itu menoleh ke arahnya. “Kau bersedia menyerahkan segalanya untuk menyelamatkan anak dan suamimu?”

Lila mengangguk tegas, meskipun air matanya tidak berhenti mengalir. “Bima adalah ayah yang baik, dan Arga membutuhkan dia. Kalau ada yang harus berkorban, itu aku.”

Suasana menjadi hening. Bayangan-bayangan di sekeliling mereka tampak membeku, seolah menunggu keputusan terakhir.

Pria berjubah itu mendekat ke Lila, mengulurkan tangannya. “Kalau begitu, datanglah. Serahkan dirimu sepenuhnya, dan kutukan ini akan berhenti malam ini.”

Bima berteriak, mencoba melawan akar-akar yang menahannya. “Lila, jangan! Jangan lakukan ini!”

Tapi Lila sudah mengambil keputusan. Ia berjalan perlahan ke tengah lingkaran, tangannya menyentuh udara di sekitar Arga. Tubuh bayinya yang melayang itu tampak semakin lemah, seperti sedang terkuras energinya.

“Aku melakukan ini untukmu, sayang,” bisiknya pelan pada Arga, sebelum ia berbalik menatap pria berjubah itu. “Ambil aku. Tapi pastikan anakku dan suamiku bebas dari kutukan ini selamanya.”

Pria itu tersenyum samar, lalu mengulurkan tangannya. “Begitu darahmu menyentuh tanah, semuanya akan selesai.”

Dengan pisau ritual di tangannya, Lila bersiap mengorbankan dirinya. Tapi sebelum ia sempat melakukannya, bayangan besar lain muncul dari pohon sosok wanita tua dengan rambut panjang kusut. Wajahnya penuh luka, dan matanya hitam tanpa bola mata.

“Hentikan!” teriak wanita itu.

Pria berjubah itu tampak terkejut. “Apa yang kau lakukan di sini, Roh Tua? Ini urusan mereka.”

Wanita tua itu menatap Lila dan Bima dengan tatapan tajam. “Kalian telah memilih dengan hati yang murni. Itu sudah cukup. Kutukan ini tidak lagi layak diteruskan.”

Dengan gerakan tangannya, wanita itu mengusir semua bayangan yang mengelilingi mereka. Jeritan-jeritan mengerikan menggema di udara sebelum semuanya hening. Tubuh Arga turun perlahan ke tangan Lila, yang menangis tersedu-sedu.

“Apa maksudnya?” tanya Bima bingung.

Wanita tua itu mendekat, suaranya lebih lembut. “Kalian telah membuktikan bahwa cinta bisa melampaui ketakutan. Kutukan ini hanya bisa dihentikan oleh ketulusan yang sesungguhnya. Kalian sudah melakukan bagian kalian.”

Dengan itu, wanita tua dan pria berjubah menghilang, bersamaan dengan bayangan-bayangan dan akar-akar pohon yang kembali ke tanah. Pohon leluhur berdiri diam, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Angin malam kembali berembus pelan, membawa keheningan yang terasa ganjil. Lila memeluk tubuh kecil Arga erat-erat, memastikan bayinya bernapas dengan normal. Napasnya sendiri tersengal, bercampur dengan isak tangis lega.

Bima mendekat, lututnya lemas saat ia jatuh berlutut di samping Lila. Ia menyentuh kepala Arga dengan tangan gemetar, memastikan anaknya benar-benar kembali. “Dia hidup... Arga hidup...”

Lila mengangguk, tapi matanya tetap terpaku pada pohon leluhur. Pohon itu kini tampak diam, akar-akarnya tak lagi bergerak. Namun, di balik kulit hitam pohon, sesuatu seperti darah perlahan meresap ke dalam tanah, meninggalkan bau logam yang menyengat.

“Kita harus pergi dari sini,” Bima berkata dengan suara pelan, hampir berbisik. Ia membantu Lila berdiri, lalu memeluknya erat. “Semua ini sudah berakhir. Kita bebas.”

Namun, saat mereka melangkah meninggalkan pohon itu, sebuah suara samar terdengar dari kejauhan. Suara itu rendah, hampir seperti bisikan, tapi cukup jelas untuk membuat mereka berdua berhenti:

“Kebebasanmu adalah ilusi... perjanjian tidak pernah benar-benar berakhir...”

Lila menoleh cepat, tapi hanya melihat pohon itu berdiri diam. Tidak ada bayangan, tidak ada sosok berjubah, tidak ada wanita tua. Namun, hawa dingin yang menjalar di punggungnya membuatnya tahu sesuatu belum selesai.

“Lila, ayo cepat.” Bima menarik tangannya lembut, membawa mereka menjauh dari tempat itu.

Saat mereka akhirnya mencapai jalan keluar dari hutan, bulan purnama mulai tertutup awan tebal, menyelimuti dunia dalam kegelapan total. Tidak ada bintang, tidak ada suara binatang malam—hanya keheningan yang menekan.

Mereka tidak menyadari, di balik pepohonan, sepasang mata merah menyala kembali muncul, mengawasi mereka dengan senyum samar.

Lila duduk di lantai kamar, memeluk erat tubuh kecil Arga yang menggeliat gelisah di dalam pelukannya. Udara di dalam rumah terasa semakin dingin, meskipun jendela dan pintu telah tertutup rapat. Cahaya bulan purnama yang sempurna menerobos celah-celah tirai, menyinari ruangan dengan kilauan perak yang aneh.

Bima berdiri di depan pintu kamar, memegang sebilah parang yang ia temukan di dapur. Suara-suara aneh bergema di luar rumah—bisikan dan tawa yang tidak seharusnya terdengar di malam hari.

"Lila," bisik Bima tanpa menoleh, matanya terus memandang pintu. "Jika mereka berhasil masuk, kau lari ke hutan. Jangan pedulikan aku. Selamatkan Arga."

Lila menatap suaminya dengan mata penuh ketakutan dan kepedihan. "Aku tidak akan meninggalkanmu, Bima. Kita bertiga akan keluar dari mimpi buruk ini bersama-sama."

Tiba-tiba, ketukan keras menggema di pintu depan. Suaranya berat dan bergema, seperti seseorang—atau sesuatu—dengan kekuatan yang tidak wajar sedang mencoba masuk. Ketukan itu diikuti oleh suara erangan pelan, seperti suara napas makhluk yang kelelahan tetapi tidak menyerah.

"Siapa di sana?!" Bima berteriak, suaranya bercampur dengan ketegangan dan kemarahan.

Ketukan berhenti. Sunyi. Hanya suara napas mereka yang terdengar di tengah kegelapan.

Namun, hanya beberapa detik kemudian, jendela di ruang tamu bergetar keras, seperti ada sesuatu yang berusaha menerobos masuk. Cahaya bulan purnama dari luar semakin terang, hampir menyilaukan. Lila merasa jantungnya hampir berhenti saat suara bisikan mulai terdengar di telinganya, meskipun tidak ada siapa pun di dekatnya.

"Kau tidak bisa melarikan diri. Tumbal harus diberikan. Pohon Leluhur memanggil."

Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan keras, membuat Lila dan Bima tersentak. Sebuah bayangan tinggi, lebih hitam dari malam, berdiri di ambang pintu. Sosok itu tidak memiliki bentuk yang jelas, hanya mata merah menyala yang menatap langsung ke arah Arga.

Lila menjerit, memeluk Arga lebih erat, sementara Bima mengangkat parang dan maju dengan langkah gemetar. "Jangan sentuh anakku!" teriaknya.

Sosok itu tertawa, suara tawanya terdengar seperti retakan kayu yang terbakar. "Ini bukan pilihanmu," gumamnya.

Saat Bima mengayunkan parang ke arah bayangan itu, sosok tersebut menghilang begitu saja, meninggalkan tawa bergema di udara. Namun, di belakang mereka, suara lain terdengar dari sudut kamar, suara napas kecil yang tidak wajar.

Lila dan Bima berbalik serentak, dan mereka melihat Arga, yang kini tidak menangis lagi, tetapi menatap mereka dengan mata yang bukan miliknya. Mata bayi itu berkilau seperti cahaya bulan, penuh dengan keanehan.

"Arga?" Lila berbisik dengan suara patah.

Bayi itu tersenyum tipis, lalu dengan suara serak yang tidak mungkin berasal dari anak sekecil itu, ia berkata, "Purnama baru saja dimulai."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel