4
Pagi itu, Lila bangun dengan tubuh yang terasa berat, seolah-olah semalam ia telah menempuh perjalanan panjang yang tidak nyata. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah-celah tirai, tetapi tidak mampu mengusir dingin yang merayap di dalam rumah. Di sebelahnya, Arga tidur dengan tenang, wajahnya polos seperti bayi biasa. Namun, Lila tahu ada sesuatu yang salah.
Ingatan tentang malam sebelumnya menghantui pikirannya. Suara bisikan, tawa, dan kata-kata yang keluar dari mulut Arga yang seharusnya tidak mungkin ia ucapkan. Lila mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua itu hanyalah mimpi buruk akibat kelelahan. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu itu adalah kenyataan.
Bima masuk ke kamar membawa secangkir teh hangat. Wajahnya pucat, matanya menunjukkan kurang tidur. "Aku tidak bisa tidur semalaman," katanya sambil menyerahkan cangkir itu kepada Lila. "Aku merasa ada yang mengawasi kita."
Lila menggenggam cangkir itu dengan tangan gemetar. "Bima, aku rasa kita harus mencari tahu lebih banyak tentang kutukan ini. Aku tidak bisa diam saja, menunggu sesuatu yang buruk terjadi lagi."
Bima mengangguk pelan. "Aku setuju. Semalam aku bertemu dengan Pak Arsam, dia bilang ada seseorang yang mungkin bisa membantu kita."
"Siapa?" tanya Lila, menatap suaminya dengan penuh harap.
"Namanya Pak Gana. Dia seorang dukun tua yang tinggal di ujung desa. Katanya, dia tahu banyak tentang Pohon Leluhur dan kutukan keluarga kita."
Lila dan Bima bergegas pergi ke rumah Pak Gana, meninggalkan Arga di bawah pengawasan tetangga mereka, Bu Ratmi. Rumah Pak Gana terletak di pinggir desa, dikelilingi hutan lebat. Bangunannya kecil dan terlihat tua, dengan dinding kayu yang mulai lapuk.
Saat mereka mengetuk pintu, suara berat dari dalam mempersilakan mereka masuk. Pak Gana duduk di sudut ruangan, dikelilingi oleh dupa yang menyala dan tumpukan buku tua. Matanya tajam, menatap langsung ke arah Lila dan Bima seolah-olah bisa membaca pikiran mereka.
"Aku sudah menunggu kalian," kata Pak Gana tanpa basa-basi.
Lila menelan ludah. "Tunggu kami? Maksudnya?"
Pak Gana tersenyum tipis. "Kutukan keluarga kalian bukan hal baru. Setiap generasi, aku selalu mendengar cerita tentang bayi-bayi yang diambil saat bulan purnama sempurna. Tapi generasi kalian berbeda. Kalian mencoba melawan, dan itu menarik perhatian mereka."
"Siapa mereka?" tanya Bima, suaranya tegang.
Pak Gana tidak langsung menjawab. Ia berdiri, mengambil sebuah buku tua dari rak, dan meletakkannya di depan mereka. Halamannya penuh dengan tulisan tangan dan gambar-gambar menyeramkan. Salah satu gambar menunjukkan Pohon Leluhur, dengan makhluk-makhluk menyerupai bayangan hitam mengelilinginya.
"Mereka adalah penjaga perjanjian," jawab Pak Gana akhirnya. "Makhluk gaib yang terikat dengan Pohon Leluhur untuk memastikan perjanjian itu terpenuhi. Jika kalian ingin menghentikan kutukan ini, kalian harus menghancurkan pohon itu."
Pak Gana memberi tahu mereka bahwa Pohon Leluhur bukan hanya simbol kutukan, tetapi juga portal antara dunia manusia dan dunia makhluk gaib. Menghancurkannya memerlukan ritual kuno yang hanya bisa dilakukan di malam purnama sempurna berikutnya. Namun, ritual itu memerlukan pengorbanan besar, darah dari keturunan langsung Wiratama.
"Kalian harus memilih," kata Pak Gana. "Hancurkan pohon itu dan hentikan kutukan selamanya, atau terus bersembunyi dan kehilangan semua yang kalian miliki."
Lila dan Bima saling menatap, pikiran mereka dipenuhi pertanyaan dan ketakutan. Sebelum mereka bisa menjawab, suara ketukan keras terdengar di pintu rumah Pak Gana.
Pak Gana mengernyit. "Tidak ada yang tahu kalian ada di sini."
Bima melangkah ke arah pintu, tetapi Pak Gana menahannya. "Tunggu," bisiknya. "Mereka sudah tahu."
Ketukan berubah menjadi hentakan, seolah-olah sesuatu sedang berusaha menerobos masuk. Udara di dalam ruangan tiba-tiba menjadi dingin, dan bau busuk seperti daging busuk memenuhi udara.
Lila memegang lengan Bima erat-erat. "Apa yang terjadi?" bisiknya, suara gemetar.
Pak Gana mengambil segenggam garam dari meja, lalu menyebarkannya di pintu. "Mereka datang untuk memperingatkan kalian. Pilihan ada di tangan kalian sekarang."
Pintu bergetar semakin keras, tetapi tidak terbuka. Dari celah-celah dinding, suara tawa menyeramkan mulai terdengar, bercampur dengan bisikan yang hanya bisa didengar oleh Lila dan Bima.
"Kalian tidak akan bisa melarikan diri. Tumbal harus diberikan. Pohon Leluhur memanggil."
Malam itu, Lila dan Bima pulang dengan hati yang berat. Di dalam kamar, mereka menemukan Arga tertidur, tetapi sesuatu terasa aneh. Di dinding kamar, sebuah bayangan gelap terlihat samar, berdiri diam, meskipun tidak ada apa pun di sana yang bisa menciptakan bayangan tersebut.
Lila menggenggam tangan Bima. "Waktunya hampir habis, Bima. Kita harus melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat."
Malam itu, suara-suara aneh kembali bergema di rumah mereka. Angin dingin menyelinap melalui celah pintu dan jendela, meski semuanya sudah tertutup rapat. Lila duduk di ranjang, memeluk Arga erat di pelukannya. Bima berjaga di depan pintu kamar dengan parang di tangannya, matanya tidak lepas dari bayangan yang terus bergerak di sudut ruangan.
"Ini semakin parah, Bima," bisik Lila dengan suara bergetar.
Bima mengangguk pelan. "Kita harus cepat. Kalau tidak, mereka akan mengambil Arga."
Tiba-tiba, lampu di kamar padam. Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya menyisakan sedikit cahaya bulan yang masuk melalui tirai. Lila menahan napas, mendengar suara langkah pelan di luar pintu kamar.
"Siapa di sana?" teriak Bima, mengangkat parang dengan tangan gemetar.
Langkah itu berhenti, digantikan oleh suara tawa pelan yang menyeramkan. Suara itu terdengar seperti berasal dari makhluk yang sedang menikmati penderitaan mereka.
Lalu, pintu kamar terbuka perlahan, meski Bima yakin sudah menguncinya. Di ambang pintu, bayangan tinggi dengan mata merah menyala muncul, tubuhnya seperti kabut yang berputar-putar.
"Kalian tidak bisa melawan," suara makhluk itu berbisik, tajam dan dingin. "Purnama berikutnya, dia akan menjadi milik kami."
Lila berteriak, memeluk Arga lebih erat, sementara Bima mengayunkan parangnya ke arah bayangan itu. Tapi parang itu hanya menembus udara kosong. Bayangan itu lenyap, meninggalkan suara tawa yang menggema di seluruh ruangan.
Saat mereka mengira segalanya telah tenang, Arga tiba-tiba membuka matanya. Tatapannya kosong, dan ia mulai tertawa pelan. Tawa bayi itu berubah menjadi suara yang dalam dan mengerikan, jauh dari suara bayi biasa.
"Kalian sudah terlambat," kata suara itu melalui mulut Arga, membuat Lila dan Bima membeku di tempat mereka. "Pohon Leluhur tidak bisa dihancurkan tanpa harga yang lebih besar."
Arga tiba-tiba terdiam, matanya kembali normal, dan ia tertidur seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi di dada kecilnya, Lila melihat tanda hitam samar berbentuk lingkaran, seperti bekas luka bakar, yang tidak ada sebelumnya.
Di tengah keheningan yang mencekam, Lila memandang Bima dengan mata penuh ketakutan. "Apa maksud mereka? Harga yang lebih besar?"
Bima tidak menjawab. Ia hanya menatap tanda hitam di dada Arga, wajahnya memucat. Saat ia membuka mulut untuk berbicara, suara langkah pelan kembali terdengar di luar kamar.
Namun kali ini, langkah itu tidak berhenti di depan pintu. Mereka mendengar suara itu bergerak ke kamar lain, diikuti suara pintu terbuka perlahan.
Lila menahan napas, mencoba mendengar lebih jelas. Dari kamar sebelah, mereka mendengar suara yang membuat darah mereka membeku.
Itu suara Bu Ratmi, tetangga mereka yang sebelumnya menjaga Arga. Suaranya lirih, seperti sedang berbicara dengan seseorang, tetapi intonasinya penuh ketakutan. "Tidak... jangan ambil aku. Aku tidak tahu apa-apa. Tolong!"
Kemudian, terdengar jeritan panjang yang mendadak terputus, diikuti oleh keheningan yang menyesakkan.
"Lila," kata Bima dengan suara serak. "Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus ke Pohon Leluhur sekarang."
Apa yang sebenarnya terjadi di rumah Bu Ratmi dan mengapa kutukan semakin kuat?
