2
Langkah kaki mereka berpacu di jalan setapak yang gelap, diterangi hanya oleh sinar merah bulan purnama. Di belakang mereka, suara langkah-langkah berat terus mengikuti, disertai jeritan bayi yang melengking menusuk telinga. Suara itu tidak berkurang, meski mereka sudah jauh meninggalkan rumah Pak Surya.
“Bima, mereka semakin dekat!” Lila hampir tersandung, napasnya tersengal-sengal.
“Terus lari! Jangan lihat ke belakang!” Bima menggenggam tangan Lila erat, memaksanya untuk tetap bergerak. Tapi ia sendiri mulai merasakan dingin yang tidak wajar menjalar ke tulang-tulangnya.
Di tengah jalan, angin berembus kencang, membawa bisikan lirih yang semakin jelas:
“Janji... tak bisa dilanggar... darah harus dibayar...”
Mereka akhirnya tiba di tepi desa, di sebuah persimpangan yang bercabang ke hutan lebat. Lila terhenti, menatap jalan setapak yang kini hanya berupa bayangan hitam pekat di antara pepohonan tinggi.
“Kita harus ke mana?” tanyanya panik.
Bima mengeluarkan kertas tua yang diberikan oleh Pak Surya sebelum mereka pergi. Gambar lingkaran dengan simbol-simbol aneh tergores di sana, bersama sebuah kalimat: "Di tempat akar pertama tertanam, di sana perjanjian ditulis."
“Tempat akar pertama...” gumam Bima. “Mungkin pohon tua di ujung hutan ini. Kakek sering menyebutnya sebagai tempat asal keluarga kita.”
“Pohon itu? Pohon yang katanya tidak pernah mati, meski ditebang?” Lila teringat cerita lama tentang pohon raksasa yang disebut warga desa sebagai "Pohon Leluhur."
Belum sempat mereka memutuskan, suara langkah-langkah itu semakin mendekat. Dari balik kegelapan, bayangan-bayangan mulai muncul, satu demi satu. Mereka tidak berbentuk manusia sepenuhnya, terlihat seperti makhluk tinggi dengan tubuh yang menggeliat, seolah bayangan itu hidup sendiri. Mata mereka bersinar merah, seperti mata makhluk yang mereka lihat di gudang.
“Kita tidak punya waktu. Ke pohon itu sekarang!” Bima menarik Lila dan berlari ke dalam hutan.
Di Dalam Hutan
Hutan itu terasa seperti tempat lain, jauh dari dunia nyata. Udara dingin menusuk, dan setiap langkah mereka memecahkan ranting-ranting kering yang terdengar terlalu keras. Suara dari bayangan-bayangan itu terus mendekat, disertai suara tangisan bayi yang semakin menggema.
Lila mulai mendengar sesuatu yang lain, bisikan di telinganya, pelan tapi sangat jelas.
“Kembalikan dia pada kami... atau kalian akan kehilangan semuanya...”
Ia berhenti mendadak, membuat Bima menoleh dengan cemas. “Kenapa berhenti?”
“Aku... aku merasa mereka ada di mana-mana. Mereka tidak hanya mengejar kita... mereka ada di sini.”
Bima menatap sekeliling, dan baru menyadari bahwa hutan itu semakin gelap, meski bulan masih bersinar di atas. Pepohonan di sekitar mereka tampak bergerak, bayangannya membesar seolah ingin menangkap mereka.
Kemudian, mereka melihatnya, Pohon Leluhur. Pohon itu besar, lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan. Kulitnya hitam, penuh dengan goresan simbol-simbol aneh yang terlihat seperti luka. Di bawah akar-akar raksasanya, tanah tampak merah gelap, seolah berlumuran darah yang sudah mengering.
Di tengah lingkaran akar itu, mereka melihat sesuatu yang membuat darah mereka membeku. Bayi mereka, Arga, terbaring di sana. Matanya terbuka, tapi wajahnya kosong, tanpa ekspresi. Di sekelilingnya, bayangan-bayangan itu bergerak mendekat, membentuk lingkaran.
“Arga!” Lila berlari mendekat, tapi Bima menahannya.
“Jangan! Ini jebakan!”
Bayangan-bayangan itu mulai berbicara bersamaan, suara mereka seperti ribuan suara tumpang tindih.
“Janji harus ditepati. Satu tumbal... atau seluruh keluarga kalian akan jatuh.”
Bima menatap Lila dengan putus asa. Mereka harus membuat pilihan: menyerahkan Arga untuk menyelamatkan keluarga mereka, atau melawan sesuatu yang tidak mereka pahami.
Di saat itu, suara dari dalam kepala mereka terdengar lebih jelas:
“Ada cara untuk memutuskan ini... tapi kalian harus menyerahkan jiwa kalian sendiri.”
“Jiwa kami...?” Lila bertanya dengan suara bergetar, matanya terus tertuju pada tubuh kecil Arga yang terbaring di tengah lingkaran akar.
“Kehidupan untuk kehidupan. Jiwa untuk memutus rantai darah. Itu harga yang harus kalian bayar.” Suara itu menggema, datang dari bayangan-bayangan yang terus mendekat.
Bima memegang tangan Lila erat. “Tidak ada jaminan mereka akan berhenti, Lila. Jika kita menyerahkan Arga, mereka bisa saja terus menuntut lebih.”
“Tapi... kalau kita melawan mereka, bagaimana kalau kita kehilangan segalanya? Aku tidak sanggup, Bima.” Air mata Lila mengalir deras.
Di tengah kepanikan mereka, pohon besar itu mulai bergerak. Akar-akar di bawahnya bergeser, menciptakan suara seperti tulang patah. Dari dalam tanah, sesuatu mulai muncul sebuah peti kayu tua, terukir simbol-simbol serupa dengan yang ada di kulit pohon.
“Buka peti itu,” kata suara dari bayangan, tajam dan dingin. “Di dalamnya, kalian akan menemukan jawaban. Tapi ingat, setiap pilihan ada harganya.”
Bima mendekati peti dengan hati-hati, tangan gemetar saat ia menyentuh permukaannya yang kasar. Lila memegang lengannya. “Bima, jangan. Ini bisa jebakan.”
“Kita tidak punya pilihan, Lila.” Dengan satu tarikan napas panjang, Bima membuka peti itu.
Di dalamnya ada sebuah pisau ritual dengan gagang yang terbuat dari tulang, serta sebuah buku yang halaman-halamannya sudah usang. Di halaman pertama, tertulis dengan tinta merah tua: "Hanya darah keluarga yang bisa memutus perjanjian ini."
“Apa maksudnya?” Lila berbisik.
Bima membaca lebih jauh, suaranya serak saat menjelaskan. “Kita bisa memutus kutukan ini dengan satu pengorbanan terakhir darah dari garis keturunan langsung keluarga kita. Bukan Arga, tapi... aku, atau kamu.”
Kata-kata itu seperti pukulan keras di dada mereka. Lila mundur beberapa langkah, gemetar. “Tidak... ini tidak mungkin.”
“Pilihlah,” suara bayangan semakin mendesak. “Atau kalian semua akan kami ambil.”
Tiba-tiba, jeritan Arga terdengar. Tubuh kecilnya melengkung seperti sedang kesakitan, dan lingkaran akar di sekelilingnya mulai menyala dengan cahaya merah menyilaukan. Lila berlari mendekat, tapi sebuah akar besar muncul dari tanah, menghentikannya.
“Lila, aku akan melakukannya,” kata Bima dengan suara tegas. “Aku yang akan memutus ini. Aku yang akan menyerahkan diri.”
“Tidak!” Lila menjerit, mencengkeram lengannya. “Kamu tidak bisa meninggalkan kami. Aku tidak bisa hidup tanpamu!”
“Tapi aku tidak bisa membiarkan Arga mati, Lila. Dia tidak pantas menerima ini.” Bima mengangkat pisau ritual itu, matanya penuh tekad.
Sebelum ia sempat melakukan apa pun, bayangan-bayangan itu mulai menyerang. Suara tawa mengerikan memenuhi udara, dan akar-akar pohon mulai bergerak liar, mencoba meraih mereka.
“Bima, cepat!” Lila berteriak, menahan satu akar yang hampir menyambar Arga.
Bima berdiri di tengah lingkaran, pisau di tangannya berkilauan dalam cahaya merah. Tapi sebelum ia bisa menghunuskannya ke tubuhnya sendiri, suara lain terdengar—suara yang jauh lebih dalam dan berkuasa.
“Cukup.”
Bayangan-bayangan itu berhenti bergerak, dan akar-akar kembali ke tanah. Dari batang pohon besar itu, sosok seorang pria tua dengan jubah hitam muncul, wajahnya tidak sepenuhnya terlihat.
“Kalian punya keberanian besar, tetapi kebodohan kalian juga tak terukur. Aku adalah saksi pertama perjanjian ini, dan aku akan memberi kalian satu kesempatan terakhir.”
Sosok itu mengangkat tangannya, dan tiba-tiba lingkaran akar di bawah Arga terangkat, membawa bayi itu ke udara. “Pilih: serahkan jiwa kalian, atau jalani hidup selamanya dalam bayang-bayang ketakutan.”
Lila dan Bima saling menatap, ketakutan dan cinta bercampur dalam tatapan mereka. Apa yang harus mereka pilih?
