Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Insiden

Malam yang sunyi dan dingin, bulu kuduk Kalina mulai berdiri menyaksikan wajah-wajah buas dan liar, ketiga orang itu mulai berjalan mendekat. 'Tetap tenang Kalina, jangan gegabah,' ucapnya dalam benak menguatkan diri. Dia berusaha fokus membaca situasi mencari celah untuk melarikan diri.

"Kalian mau apa?" pekik Kalina melihat mereka mendekat semakin mendekat. "Tolong!" teriaknya, tidak ada jawaban. Hanya suara tawa yang terdengar dari ketiga calon penjahat itu.

"Teriak terus Neng, gak ada yang bakalan dengar," cibir orang berkumis, disambut kikikan yang lain.

Salah satu di antara mereka mulai menyeret tangan Kalina agar menjauh dari mobil. Dengan susah payah dia menepis tangan kokoh itu. Tubuhnya terpelanting jatuh ke aspal.

Kalina mulai berjongkok hendak berdiri, berharap ia dapat berlari dengan kencang.

Namun, tampaknya ia hanya dipermainkan oleh ketiga bajingan itu.

"Dengan kaki kecilmu itu ke mana kamu bisa lari," ujar seorang berbadan kurus menarik lengan gadis lemah itu. Kalina kembali berteriak, ketika mendapati lengan bajunya robek.

Ketiga orang itu mulai berdiri mengelilingi Kalina seperti sedang bermain tikus kucing. Dan Kalina pastilah kini sedang jadi tikus yang siap dimangsa mereka kapan saja.

Kalina yang mulai panik menendang selangkangan seorang di antaranya.

"Argh brengsek tuh cewek," pekik kasar seorang bertubuh kurus.

Lelaki tersebut membuka penutup senjata tajam, lalu mengarahkan ke arah Kalina untuk menakuti. Kalina mengambil kesempatan untuk kabur, ia berlari menyusuri jalan raya berlorong yang seperti tak berujung. Adegan kejar-kejaran pun kembali terjadi, namun seperti usaha sia-sia, salah seorang berhasil menangkap gadis itu. Dengan kasar kepala Kalina dibenturkan di tembok lorong yang remang-remang karena kurang penerangan lampu. Kedua teman yang lain pun berlari mendekat.

"Kelinci kecil, rupanya kamu bandel juga!" desis si kumis meremas rambut Kalina dan menariknya.

"Gak bisa kabur lagi kan sekarang," timpal si kurus.

"Mending kamu diam jadi anak yang baik, nanti kita gak akan kasar kok. Kita bakalan main lembut," imbuh salah seorang lagi. Kelakar tawa ketiganya terdengar menggema.

"Jangan!" teriak Kalina ketika salah seorang di antara mereka mendekat lalu menggigit telinganya.

"Teriakan kamu itu membuat kami semakin bernafsu," ucap si kumis mencengkeram lengan Kalina.

"Jangan om saya mohon, saya masih seorang murid SMA," mohon Kalina.

Di tengah keputusasaan, tiba-tiba muncul cahaya yang menerangi lorong. Seorang pemuda tinggi memakai kemeja dan celana serba putih. Seperti aktor-aktor film Hollywood dengan cool dan keren, berjalan layaknya seorang model. Wajahnya nampak samar-samar karena membelakangi arah cahaya. Setelah dekat cahaya itu lenyap, entah ke mana perginya. Barulah sekarang wajah tampan terlihat dengan jelas. Matanya yang tajam, berhidung mancung, bibirnya yang seksi dengan gaya rambut rapi benar-benar seperti maha karya indah tak ada duanya.

"Kamu siapa?" tanya si kumis mendelik.

Pemuda itu tidak menjawab, dia langsung melayangkan tinju ke wajah orang itu.

"Bedebah!" pekik si cungkring yang hendak membalas pukulannya, mengayunkan tinjuan ke udara lantaran sang pemuda berhasil mengelak .

Giliran pemuda itu beraksi. Dia kemudian memutar badan, menendang. Debum! Tubuh si cungkring terpelanting ke aspal. Bak! Bugh! Debum! Brak! Seperti adegan-adegan dalam film aksi keempatnya terlihat bertarung dengan sengit. Tendang-menendang, saling meninju dan pukulan-pukulan maut yang lain berhasil membuat ketiga bajingan tersebut babak belur. Dan akhirnya, pertarungan dimenangkan oleh sang pahlawan kesiangan tanpa lecet. Sempoyongan ketiga orang itu berusaha saling menolong untuk berdiri. Saking menakutkan mereka pun kabur. Kalina mulai bernapas lega, dengan tubuh lemas pemuda itu memapahnya berjalan menuju ke mobil.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanya pemuda itu dengan senyuman manis, membuat hati Kalina hampir meleleh dibuatnya.

"Saya baik-baik saja," jawab Kalina.

"Syukurlah," jawabnya tersenyum.

"Nama saya Kalina, terima kasih atas pertolongannya." Kalina mengulurkan tangan. Pemuda itu membalas jabatan tangan Kalina.

"Masnya ini siapa dan dari mana kalau saya boleh tau?"

"Kalina lupa sama saya?" tanya pemuda itu kecewa.

"Em … apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Kalina balik bertanya.

"Kamu benar-benar melupakan aku?" tanya pemuda itu sekali lagi untuk memastikan.

"Maaf,” ucap Kalina yang mulai bingung.

"Masak iya pernah ketemu, di mana, kapan dan bagaimana?" pikir Kalina dalam hati.

"Sudah kuduga kamu pasti lupa. Kayaknya aku yang terlalu berharap sama kamu mengingatku," ucap pemuda itu kesal.

"Iq kamu itu jongkok ya," lanjutnya.

"Kamu bilang apa?" Mulut Kalina menganga.

"Itu kenyataannya, kamu itu masih muda tapi linglung kayak nenek-nenek,"

"Aku linglung kayak nenek-nenek." Kalina mengulang ucapan pemuda itu.

"Bukan cuma itu tapi kalau aku perhatikan tadi, gerakan kamu itu lambat mirip kura-kura yang lagi jalan." Pemuda itu menekankan kata lambat.

'Teganya, di mana cowok dengan senyuman manis baik hati dan tidak sombong tadi,' keluh Kalina dalam hati tak menduga. "Rasanya aku ingin berkata kasar," lanjut Kalina mengumpat.

"Udah bengongnya ayo masuk mobil bentar lagi hujan turun," ucap pemuda itu yang tanpa malu langsung masuk duduk manis di dalam mobil samping pengemudi.

"Hei kamu ngapain? Enggak sopan tau masuk mobil orang tanpa ijin," gerutu Kalina.

"Bawel, kan kamu tinggal masuk juga. Hujan bentar lagi turun, denger gak sih kamu."

"Mana ada, langit malamnya cerah kok banyak bintang-bintang." Kalina memandangi sekeliling langit.

"Gak percaya ya sudah, tapi asal kamu tau ya penglihatanku lebih baik dari kalian kaum manusia," terang pemuda itu.

"Kenapa kamu ngomong gitu, jangan bohong kamu sendiri kan juga manusia." Kalina mulai kesal. Ingin sekali rasanya ia menyeret pemuda itu keluar.

Di tengah kedongkolannya itu, dia pun terkejut. Tik … tik … tik. Bres! Hujan tiba-tiba turun membasahi badan. Dengan tergesa Kalina masuk ke dalam mobil. 'Beneran hujan,' gumamnya masih tak percaya pada ucapan pemuda asing itu. Kalina merunduk mengambil jaket pink yang ada di jok belakang, dikenakan jaket itu untuk menutupi lengan bajunya yang robek. Perlahan dikemudikan kembali mobilnya menelusuri jalanan malam.

"Baiklah pemuda asing, siapa kamu sebenarnya? Di mana kamu tinggal, biar aku antarkan kamu pulang." Kalina mencoba bersabar.

"Aku tidak punya rumah dan tempat tinggal," jelas pemuda itu.

"Apa?" Kalina terpekik. "Maksudnya kamu seorang pendatang?"

"Anggap saja demikian," jawabnya menoleh ke arah Kalina.

'Kenapa bisa aku bertemu pemuda asing yang gak tau asal usulnya ini? Jangan-jangan dia penipu lagi,' protesnya dalam hati. "Baiklah sekarang aku tanya siapa nama kamu?" lanjut Kalina mencoba sabar.

"Aku tidak punya nama, aku hanya menjelma menjadi seekor burung elang yang terbang ke sana kemari," jelasnya.

"Kamu pintar ngelawak, sayang itu gak lucu," cemooh Kalina dongkol, tidak bisa mencerna ucapan setiap kata yang pemuda itu lontarkan. "Ah, nama kamu Elang, kah?" Kalina mengambil kesimpulan.

"Terserah," jawab pemuda itu mengedikkan bahu.

"Apa kamu datang dari sebuah desa?" Kalina kembali menginterogasi.

"Setidaknya begitu," jawabnya konyol.

'Lama-lama ingin aku getok pakai palu nih orang,' gumam Kalina. "Kapan kamu datang?" lanjutnya bertanya.

"Aku datang bersama bis sekolah yang kamu naiki." Kalina terkejut mendengar jawaban pemuda itu. Sekeras apa pun gadis itu berpikir tetap tak mengerti isi dari percakapan unfaedah itu.

Bersambung….

@lovely_karra

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel