2. Terjatuh dari Tebing
Tempat berbeda, di hutan yang sama. Pelan tapi pasti matanya mulai terbuka, tapi kegelapan masih menyelimuti. Dengan susah payah ia membetulkan letak kacamatanya.
"Kenapa perut aku mual dan pusing kepala ya," ujar Kalina yang memang fobia dengan gelap. Dia pun mencoba membaca situasi dengan cermat, setelah akhirnya tersadar bahwa dirinya nyangkut di pohon dengan keadaan sungsang (kaki di atas kepala di bawah).
"Ini namanya untung atau buntung ya." Susah ia menghela napas. Beruntung ia tidak langsung jatuh ke bawah. Namun, malang gadis tersebut nyangkut di atas pohon dengan keadaan sungsang.
"Halo, apa ada orang di atas!" teriaknya dengan sisa-sisa tenaga.
"Kalau ngak ada orang gimana nanti aku turunnya," pikir Kalina dalam hati.
Di sela-sela kegalauan ia masih mengamati ke bawah sana. Terdengar aliran deras sungai mengalir. Berkat pantulan cahaya rembulan, samar-samar ia seperti melihat ukiran batu, berbentuk burung terkapar menghadap ke atas. Seolah batu itu siap kapan saja, menerima dengan senang hati jika Kalina terjatuh ke arahnya. Kalina mulai merasa ngeri mendengar binatang-binatang malam bersuara dengan keras, mengusik pendengaran. Sangat menggema di setiap celah pepohonan di bawah sana, bak menyambut sesuatu kejadian spesial yang akan terjadi.
Lolongan serigala memekik, membuat telinga Kalina sakit, burung-burung hantu seolah berteriak di segala arah membuatnya semakin ngeri. Jantung Kalina berdetak semakin kencang, dia berteriak ketakutan. Dalam remang malam, dalam suasana mencekam. Angin berhembus kencang, membuat tubuhnya terombang-ambing mengikuti ranting pohon yang menopangnya, bergerak. Teriakannya seperti tak terdengar, hilang tersamarkan gemerisik dedaunan terseok angin.
Rintik-rintik hujan mulai turun membasahi. Angin semakin lama semakin kencang berhembus, tanpa mengenal ampun.
Kalina pasrah dengan nasib, saat kilatan dan petir sekonyong-konyong menyambar ranting pohon penopang tubuhnya. Gadis itu tersentak, berteriak, memejamkan mata, tubuhnya mulai terjun bebas ke bawah.
"Beginikah akhir hidupku?" ratap Kalina dalam hati. Hatinya kalut, seolah sesuatu lepas dalam dirinya, dadanya nyeri, melayang jatuh ke bawah dengan kecepatan yang sangat cepat. Ketika ia telah merasa di ambang ketidakberdayaan. Sebuah cahaya terang menyilaukan muncul di hadapan gadis itu.
"Apakah malaikat maut tampan datang menjemputku?"
Samar-samar ia melihat sesosok pemuda tampan. Tanpa sadar ia sudah berada dalam dekapannya, dirasakannya otot-otot lengan tangan si tampan yang mendekapnya. Tanpa ragu Kalina menyandarkan kepala pada dada bidang yang terasa sixpack saat tak sengaja tersentuh tangannya. Kalina mendongakkan kepalanya, pemuda itu tersenyum. Sungguh pemandangan indah tak ayal Kalina langsung dibuat terlena menatap wajah indah itu. Gadis itu akhirnya mengerti perasaan teman-teman perempuannya. Bukan karena tak paham akan ketertarikan lawan jenis tapi dia sadar akan penampilannya.
"Oh, aku akan mati dengan bahagia berkat ketampanannya."
Pemuda itu membelai pipi Kalina dengan lembut membuatnya tersadar dari lamunan sesaat. Tatapan mereka semakin dalam dan dekat dirasakan nafas mereka yang saling menyapu wajah masing-masing. Kalina sempat terkejut ketika bibir mereka saling bertemu.
"My first kiss," bisiknya dalam hati. Kalina memalingkan wajahnya karena malu. 'Andai kata ini sebuah mimpi maka aku akan bangun dengan perasaan malu,' ucap dalam hati merasakan detak jantungnya berparade.
Melayang dalam dekapan seorang pemuda asing, tidak dikenal, berlatarkan cahaya terang yang entah dari mana berasal.
Gerimis yang turun seolah-olah ikut menambah suasana menjadi semakin romantis. Sungguh mimpi indah. Kesadaran Kalina mulai menghilang, mata mulai meredup dalam alunan musik alami malam. Cahaya terang bersama kepulan asap putih melebur, hilang ketika menyentuh tanah. Lolongan serigala perlahan menjauh. Begitu pula dengan teriakan para burung hantu yang kembali tenang dan berbunyi seperti biasa. Seolah tidak terjadi apa pun, semua kembali tenang.
***
Tempat berbeda.
Reza dan yang lain mulai putus asa mencari keberadaan Kalian. Semak belukar dan jalanan yang licin, belum lagi hujan mulai turun membasahi badan mereka.
"Linsi, lebih baik kita balik ke tenda dulu saja. Malam semakin larut, hujan juga mulai turun," ujar salah seorang di antaranya.
"Kita lanjut pencarian besok aja ya Lin, angin semakin bertiup kencang belum lagi ada kilat dan petir juga." Reza menjelaskan.
"Tapi kalau kita gak segera menemukan Kalina, nyawanya bisa dalam bahaya," jawab Linsi.
"Alinsi ini tengah malam, kita berada di hutan. Dalam cuaca buruk seperti ini bisa membahayakan nyawa kita semua." Rando lanjut menjelaskan.
Alinsia mengerutkan dahinya berpikir keras, dengan berat hati ia mengikuti nasehat yang lain untuk kembali ke tenda. Tak mungkin ia membahayakan nyawa banyak orang meski ia sangat ingin mencari sang sahabat. Mereka berjalan kembali menaiki tebing. Rando mengantarnya hingga sampai di depan tenda.
"Udah sana masuk, ganti pakaian dan hangatkan badan di dalam. Doakan Kalina agar dia baik-baik saja, berpikir positif selalu," ucap Rando dibelainya rambut Alinsia dengan tangan kanannya. Gadis itu mengangguk dan masuk ke dalam tenda. Dengan segera ia mengganti pakaian basahnya dengan yang kering. Kemudian meringkuk di balik selimut, menangis
***
Sang surya mulai menyapa dunia, burung-burung berkicauan dengan merdu. Tetesan air bekas hujan semalam berjatuhan dari daun-daun yang tertiup angin. Gemercik air terjun terdengar nyaring ditambah kokokan ayam milik penduduk setempat bersahut-sahutan. Sungguh alunan musik alami khas pedesaan di pagi hari. Reza, Alinsia dan yang lainnya dibantu warga setempat mulai kembali menyusuri tebing semak belukar mencari Kalina. Di tempat yang berbeda Natalie dan kedua dayangnya malah asyik perawatan wajah dalam tenda sekretariat. Udara yang masih terasa dingin tak menyurutkan niat tiga gadis yang terkenal dengan julukan nenek sihir tersebut.
"Kalina!" teriak mereka bersahut-sahutan memanggil satu nama orang yang dari dulu mereka anggap penting gak penting.
"Kalina, kamu di mana?" teriak Rando. Alinsia yang berjalan beriringan dengan Rando tiba-tiba berhenti melangkah. Membuat semua yang berjalan di belakangnya ikut berhenti. Terdengar suara teriakan dari warga sekitar dari arah berlainan. Mereka pun bergegas ke arah suara tersebut.
"Ada apa pak?" tanya Reza.
"Lihat Mas, ada orang tiduran di atas batu sana." Seorang lelaki paruh baya menunjuk mulut sebuah gua besar. Mereka berlari melompati bebatuan, sesaat tempat tersebut padat. Kalina tergeletak tak sadarkan diri.
"Kalina bangun Kalin," berderai kembali tangisan Alinsia
"Kenapa Kalina bisa tiduran di tempat ini, apa jangan-jangan ada yang menolong dia sebelum kita sampai di tempat ini tadi?" tanya Reza. Mendengar suara gaduh perlahan-lahan Kalina membuka matanya. "Alinsi." Suara Kalina terdengar lirih.
"Kalina kamu gak apa-apa ‘kan, atau ada yang terasa sakit?" tanya Alinsi.
"Aku cuma merasa lemas dan perut aku sedikit sakit," jelas Kalina.
"Ya sudah nanti habis ini kita langsung ke rumah sakit ya," ujar Reza.
"Aku gak apa-apa kok beneran kita langsung pulang aja."
"Tadi katanya sakit perut," ujar Rando.
"Itu karena aku lapar belum sarapan."
"Oalah," teriak yang lain kompak.
Kalina berdiri dan dipapah oleh kedua pangeran tampan Reza dan Rando. Dengan pelan dan hati-hati mereka melangkah menjauhi air terjun tersebut. Namun, tanpa disadari sepasang tatapan mata dengan tajam memperhatikan mereka dari kejauhan sejak tadi. Kalina berhenti melangkah dan menoleh ke arah belakang, dia tak mendapati siapa-siapa. Semua orang telah berjalan di depannya.
"Cuma perasaanku saja kali ya," ucapnya dalam hati.
"Kenapa Kalin?" tanya Reza.
"Gak apa-apa kok." Kalina tersenyum meyakinkan.
"Atau kamu gak kuat jalan, mau aku gendong aja gimana?" usul Reza.
"Gak, gak usah enggak apa-apa beneran, deh."
Di perjalanan, mereka melihat seekor burung elang berbulu putih terbang mendekat seolah-olah menggoda untuk dipegang.
"Burung yang cantik," ucap Kalina melihat burung itu terbang mendekat ke arahnya.
Belum sempat Kalina membelainya, burung itu sudah melesat terbang ke atas menembus cakrawala. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan terjal. Wajah lelah mereka berubah lega ketika sampai di tepi jalan raya. Bus sekolah menanti, teriak sorak-sorai bahagia ketika mereka berhamburan masuk ke dalam. Jarak yang lumayan jauh hampir setengah hari baru sampai ke kota tujuan. Kembali ke sekolah sebelum pulang.
***
Seorang satpam bertubuh gempal berlari kecil membukakan pintu gerbang. Dengan sigap ditentengnya barang bawaan milik sang anak majikan. Sesampainya di kamar Kalina segera menghempaskan tubuh ke atas kasurnya yang empuk. Sejenak merilekskan tubuhnya yang penat. Diamati langit-langit, pandangannya lalu menjurus ke jendela kamar yang terbuka. Di sana bertengger seekor burung Elang putih. Kalina bangkit bergegas menuju ke arah jendela tersebut, ditangkapnya burung yang jinak itu.
"Kenapa ada burung Elang di sini, punya siapa ya," pikir Kalina dengan memicingkan sebelah alisnya.
"Mirip kayak burung yang aku lihat di hutan itu," pikirnya lagi. "Gak mungkin burung dari hutan itu, kan, pasti burung ini milik seseorang yang terlepas dari sangkar."
Kalina berjalan keluar kamar menuruni tangga menuju ke taman belakang rumahnya. Dihempaskan burung itu agar terbang ke atas, tetapi baru sebentar terbang sang burung malah kembali terbang ke arahnya dan mendarat di atas pohon dekan Kalina main ayunan.
"Kamu ngapain masih di situ burung, gak balik ke tempat pemilik kamu," ucap Kalina yang terkekeh menyadari dirinya bicara pada seekor burung.
***
Beberapa hari kemudian, kejadian jatuhnya Kalina dari tebing seolah terlupakan. Dia mulai beraktivitas seperti biasa. Malam itu, Kalina baru usai mengantarkan Alinsia pulang ke rumah usai nonton bioskop. Melihat jalanan sepi dan lengang dia menambah sedikit kecepatan laju mobilnya. Namun, malang tidak dapat dihindari, di sebuah tikungan tajam dari arah berlawanan muncul sebuah sepeda motor yang melaju dengan cepat .
Brak!
Mobil Kalina menabrak motor tersebut. Melihat sepeda motor itu terjatuh, spontan gadis itu turun dari mobil. Dilihatnya tiga orang laki-laki tersungkur tergeletak di tengah jalan.
"Maafkan saya om, saya gak sengaja," ucap Kalina panik takut ketiga orang itu terluka parah.
"Eh Mbak, yang bener dong kalau nyetir," kata seorang di antara mereka yang paling kurus.
"Iya Om, maaf saya akan tanggung jawab ganti rugi sama kerusakan motornya."
"Em, Mbaknya manis juga ya," ucap seorang lagi sembari berusaha meraih tangan Kalina namun dia berhasil menepis.
"Mbak manis gak usah ganti rugi gak apa-apa. Yang penting nemenin kita main aja yuk," timpal lelaki berkumis tebal tadi.
"Ya ampun pak, kalian gak ingat umur sama gak ingat anak istri di rumah apa," celetuk Kalina tanpa sadar membuat mereka bertiga semakin marah.
'Gimana nasib aku sekarang,' cemas Kalina dalam hati, dia hendak berlari masuk ke dalam mobil tapi orang bertubuh kurus berhasil menghalangi. Tubuh Kalina mulai gemetaran, otaknya tak mampu lagi berpikir, mulai menangis.
Bersambung…
@lovely_karra
