Bab 05
Aku diam lalu menoleh ke arahnya, "Widya itu, baik, cantik, menarik," jawabku sambil tersenyum.
"Oohh," Kalea hanya menggumam sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Setelah pertanyaan dan jawaban itu terucap, kini suasana tak sama lagi, dunia seperti kosong tiada penghuni. Sepi.
Beberapa menit sudah berlalu namun Kalea masih tetap diam, aku berusaha menghiburnya dengan cerita sedemikian rupa supaya dia tertawa, hasilnya nihil.
"Kal, ada yang salah sama jawabanku?" Tanyaku dengan nada datar.
Kalea menggeleng, "Tidak. Tidak ada yang salah," sahutnya dengan wajah datar.
Aku menggaruk-garuk kepala melihat ekspresi wajahnya yang tidak enak di pandang. Aku ingin bicara tapi aku tidak tahu harus bicara apa. Takutnya salah lagi.
Akhirnya semua karung sudah terisi penuh, aku mengambil motor lalu ku langsir menggunakan keranjang rotan.
"Aku langsung pulang, ya, Van," ujar Kalea sambil meninggalkan ku lalu pergi begitu saja. Aku mengangguk.
* * *
"Bu, jadi bagaimana tadi Om Sudan?" Tanyaku pada ibu di sela-sela waktu kami sedang makan malam.
"Ya ganti rugilah dia. Di jualnya domba ibu itu dengan harga delapan ratus ribu, ibu suruh ganti satu juta enam ratus," ucap ibu sambil mengunyah.
"Astaghfirullah, ibu. Itu terlalu banyak, Bu," timpal ayah setelah menelan nasi yang ada di dalam mulutnya.
"Biarkan saja, biar kapok. Kalau tidak gitu, yah, besok bakal dia ulangi lagi kalau kepepet uang."
"Kata ibu, Om Sudan rajin kerja, kenapa dia mencuri?" Tanyaku.
"Memangnya ibu emaknya? Mana ibu tau itu uang untuk apa. Lagian istrinya penampilan nya begitu," ucap ibu sewot.
"Begitu bagaimana, Bu?" Tanya ayah penasaran.
"Ayah tidak sadar apa? Glamor kalau bahasa sekarang."
"Ayah tahunya apa, Bu, Bu. Pagi sampai sore di kebun, malam baru di rumah itu pun kalau tidak ada kerjaan sampingan atau apa,"
Makan malam saat ini sedikit wah, karena kami baru menerima bingkisan dari saudara yang ada di RT lain yang tengah membuat acara syukuran rumah.
Kalau kalian tanya kenapa ibuku tidak hadir di sana, aku akan jawab, ibu tidak hadir karena ibu dan beliau (adiknya ayah) itu musuhan. Maklumlah ipar, jarang-jarang ada yang akur.
"Apa hubungannya Om Sudan mencuri sama penampilan istrinya yang glamor, Bu?" Tanyaku.
"Revan, dengar ibu. Penampilan glamor itu butuh biaya banyak, kamu tahu baju-baju yang di pakai? Itu dua ratus ribu enggak kemana, belum hijab, belum aksesoris yang dia pakai," ucap ibu lalu menyuap nasi.
"Berarti cantik itu butuh modal, ya, Bu?" Tanyaku.
"Nah, iya. Itu maksud ibu, besok kalau cari calon istri yang biasa-biasa ajalah. Jangan yang sok kaya gitu," celoteh ibu.
"Seperti ibu maksudnya?" Tanyaku.
Ibu memandangku dengan tatapan mata yang tajam, pandanganku mengarah pada ayah yang tengah tersenyum.
Memang penampilan ibu biasa saja, dari daster ke daster saja yang dia kenakan. Tapi biarlah, mungkin ibu lebih nyaman.
Seperti biasanya, selesai makan malam aku membereskan bekas kami makan. Malam ini aku di bantu oleh ayahku, aku terkejut ketika ayah menyenggol siku kananku.
Aku menoleh lalu menaikkan kedua alis pertanda aku bertanya ada apa.
"Kapan kita mancing?" Bisik ayah.
Aku menggeleng, "Untuk sekarang jangan dulu, yah. Masih kacau gini."
Ayah menganggukkan kepala dan berlalu. Seandainya ayah nekat mancing, pasti bakal ada perang kedua di rumah ini.
"Bu, aku keluar sebentar, ya," ujarku sambil mengambil kunci motor yang menggantung di paku dinding.
"Mau ke mana? Itu jengkol rebus sudah menunggu. Di tokok supaya besok pagi ibu tinggal masaknya, sudah di rebus itu," ujar ibu yang tengah sibuk melipat kertas nasi untuk besok.
"Iya, Bu. Nanti aku kerjakan, aku sebentar saja," ucapku sambil meninggalkan ibu di sana.
"Revaaaan ...," panggilan itu sudah tidak lagi ku hiraukan, urusan nanti ya nanti lah.
Aku sudah tidak sabar untuk bertemu Sudan, semoga saja dia di rumah. Sesampainya di rumahnya, ada beberapa orang di teras rumah. Ternyata Sudan dan teman-temannya sedang berkumpul di sana.
Setelah aku mematikan mesin motor, aku berjalan menghampiri mereka. Seketika mereka diam tanpa kata setelah aku sampai hadapan mereka.
"Mau ngapain kamu? Uangnya belum ada, besok baru ada," ucap Sudan dengan nada sedikit marah.
"Kan di kasih tempo seminggu, baru juga sehari belum ada," timpal Jamal.
"Enggak, aku ke sini main saja. Bukan bermaksud apa-apa," ucapku.
"Mau jadi mata-mata?" Tanya Sudan.
"Apaan sih, Om," ucapku lirih sambil nyengir.
Aku mendengarkan mereka bercerita dan bercanda, aku hanya memperhatikan Om Sudan yang tampak tidak bersemangat dengan cerita itu.
"Dan, aku pulang dulu, ya. Ngantuk," ujap Jamal. Di susul oleh temannya yang lain.
Sekarang hanya tersisa aku saja, ingin sekali aku bertanya namun lidahku terasa kaku. Jantungku berdebar, aku takut Sudan akan marah dengan pertanyaan ku. Namun kalau aku tidak bertanya, aku akan penasaran seumur hidup.
"Om," panggilku.
"Hm?" Tatapan matanya mendorong lidahku untuk bertanya.
"Kenapa om bisa kepikiran ambil domba ibu?" Tanyaku penasaran.
"Terus? Domba siapa lagi? Toh cuman punya ibu kamu yang banyak. Yang lain hanya empat, lima ekor."
"Terus om tidak takut kalau ketahuan ibu?"
"Ini kan sudah ketahuan, Van. Apalagi yang perlu di takutkan?" Tanya Sudan.
Aku tertawa, "Maksudnya sebelum ketahuan loh, Om."
"Om kepepet, Van. Ada bank keliling yang ke rumah hampir setiap hari, om bilang besok, besok dia datang lagi. Begitu seterusnya, apa tidak pusing?" Ucap om Sudan sambil menghela nafas panjang.
"Bank keliling? Om pinjam untuk apa coba? Apa kebutuhan om sama pendapatan itu kurang, ya?" Tanyaku. Aku sedikit memaksa om Sudan untuk menjawab karena aku sangat penasaran.
"Banyak. Banyak sekali. Om tidak tahu apa saja yang di perlukan di rumah ini, yang om tahu setiap hari om sudah kerja dan dapat uang tapi masih saja tetap kurang."
Aku mengangguk-anggukkan kepala seolah mengerti, om Sudan mengubah duduknya yang tadinya duduk tegap kini menyandar di dinding.
Aku memandang wajah om Sudan, tampak kusut dan sedikit keriput. Wajahnya hitam legam karena terbakar matahari, pekerjaannya serabutan tapi memang setiap hari ada saja. Tapi kenapa masih kurang? Entahlah.
"Om, ma'af, ya, kalau aku menyinggung perasaan om. Tante sudah hamil om?" Tanyaku penasaran. Om Sudan menggeleng.
'astaga, belum punya anak saja pengeluaran sudah sebanyak itu. Pekerjaan om Sudan di tambah lagi ini itu belum juga cukup. Apa benar kata ibu ini semua karena penampilan istrinya?' batinku.
Aku melihat jam yang melingkar di dinding tepat di pintu tengah om Sudan yang tampak dari teras, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
"Om, aku pamit, ya. Aku tidak bisa bantu om tapi aku yakin om pasti bisa," ucapku.
Om Sudan mengangguk, entah apa yang ada di kepalanya sampai-sampai dia tidak memandangku lagi.
Sesampainya di rumah, ibu dan para tetangga tengah sibuk di dapur. Ada yang sedang menggoreng rempeyek, kerupuk, dan ada juga yang tengah menggosip.
"Darimana, Revan?" Tanya Bu Hana sambil membolak-balikkan rempeyek yang ada di kuali.
"Main, Tante," sahutku.
"Revan itu kerjanya cuma maiiiinn saja," timpal ini yang tengah sibuk menokok jengkol rebus. Aku nyengir sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Ini lanjutkan! Ibu mau ambil plastik untuk wadah kerupuk," ujar ibu.
Aku mengambil alih pekerjaan itu, aku duduk di belakang Tante Hana. Wanginya semerbak, seperti pernah mencium aroma ini tapi di mana?
Bisik-bisik mulai terdengar, memang lah para wanita kalau sudah kumpul pasti isinya gosip.
"Iya, Sudan itu bisa jadi pemakai. Soalnya kalau di pikir-pikir tidak mungkin kekurangan, anak belum ada, rumah pribadi bukan kontrak. Apalagi coba kurangnya?" Celoteh Bu Lea.
"Hus! Jangan sembarangan kalau bicara, Bu. Soalnya nanti jadinya fitnah," timpal Tante Hana.
Entah apa yang mereka bicarakan aku pun tak mengerti, tapi sedikit banyaknya sudah ku rekam dalam otak untuk ku teliti. Bukan apa-apa, sebenarnya Om Sudan ini orang baik tapi kenapa dia jadi seperti ini?
"Revan! Kamu tadi cari rumput di temani Kalea, ya?" Tanya Tante Hana sambil mencolek pinggangku dengan suara berbisik.
Aku cekikikan sambil sedikit menggerakkan tubuh karena geli, "Ah Tante, kaya tau aja," ucapku malu.
"Eleh, Tante lihat tadi. Eh, kamu jadian sama Kalea?" Selidik Tante.
