Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 04

Mendengar kata itu, aku jadi lebih semangat untuk nulis. Ternyata karanganku bisa membuat orang trenyuh dan bisa seheboh itu mereka. Astaga.

Hening ...

"Sepertinya ini karyaku deh," ucapnya di sertai tawa. Sorak sorai menertawakan Sofyan, mereka semua memang sudah faham dengan sifat Sofyan yang ngeselin namun ngangenin.

Aku berjalan ke arah kelas meninggalkan Kalea yang masih tertawa bersama mereka. Takku sangka Kalea mengejar langkahku dari belakang.

"Van, ceritanya melow, ya. Kira-kira siapa yang buat, ya?" Tanya Kalea. Aku hanya mengangkat bahu. "Van, Om Dede jual handphone nya loh," lanjutnya.

"Oh, ya?" Tanyaku.

"Huum," sahut Kalea sambil menganggukkan kepala, "Katanya sih pengen untuk modal usaha, mau jualan cilok keliling," lanjutnya.

"Mau seken atau murah sekalipun, kalau tidak ada uangnya akan tetap mahal, Kal," ucapku.

Kalea tertawa tipis, dari dulu dialah yang mengerti siapa aku. Jangankan untuk beli ini itu, jajan sekolah pun masih sering di tambah olehnya.

Aku tidak pernah malu dengan pemberian Kalea, karena menurut ku pemberian dari sahabat itu adalah sesuatu yang uuhh.

"Lagian Om Dede aneh."

"Aneh kenapa?" Kalea memandangku.

"Waktu dia dapat uang dari sumbangan itu kenapa bukan untuk modal dulu? Malah handphone,"

"Sekarang kan zamannya memang handphone, Van. Jangankan orang dewasa, anak-anak juga handphone 'kan?"

"Iya. Tapi kan kalau orang dewasa itu lebih memikirkan ke depannya daripada hari sekarang. Tapi biarlah, itu urusan dia," ucapku dengan nada datar.

"Padahal kalau kamu punya handphone, kamu bisa nulis di sana, Van. Di sebuah aplikasi yang nantinya mendapatkan cuan," ucap Kalea.

Aku memandangnya, benar juga ucapannya. Seandainya aku bisa punya handphone, pasti aku bakal lebih leluasa nulisnya.

Sesampainya di dalam kelas, aku memeriksa kertas coretan milikku kemarin. Ternyata memang benar, kertas itu sudah tidak ada. Tapi siapa yang nyalin ke kertas HVS terus di tempel ke mading?

* * *

Sepulang sekolah aku terkejut melihat keramaian di depan rumah. Dengan jantung deg-degan, aku menambahkan kecepatan motor.

Sreett ...

Beberapa warga berkerumun di sana seperti sedang melihat sesuatu, aku semakin penasaran ketika mereka bersorak-sorai sedangkan di sana ada ibuku.

"Bu, ada apa?" Tanyaku memandang ibu yang masih memasang wajah marah.

"Domba. Kamu tahu domba yang hilang? Dialah pencurinya," ucap ibu dengan suara melengking.

'astaga, Om Sudan?' batinku.

Om Sudan duduk meringkuk sedangkan ibu berdiri tepat di depannya. Beberapa orang juga berdiri di sekelilingnya.

"Bu, bawa ke rumah Pak RT saja, supaya tidak lebih ramai lagi. Di selesaikan dengan kepala dingin nanti di sana," ujar salah satu tetangga kami.

"Oke, tapi aku tidak mau tahu, ganti domba kami dengan dua kali lipat," tegas ibu.

'alamak,' batinku.

Di situ aku benar-benar seperti orang bego yang tak tahu apa-apa, memandang ke sekeliling dengan mulut terbuka. Untung mereka tidak main hakim sendiri, kasihan Om Sudan.

Banyak yang ingin aku tanyakan pada Om Sudan kenapa dan kok bisa, tapi apalah daya, tidak mungkin ku interogasi di sini.

Ibu di temani beberapa warga untuk ke rumah Pak RT, sedangkan yang lain membubarkan diri untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Aku masuk ke dalam rumah sambil sesekali menoleh ke belakang seolah tak percaya.

"Yah, ayah tahu ceritanya gimana?" Tanyaku ketika melihat ayah sedang membuka sepatu bot di belakang rumah.

"Cerita apa?" Tanya ayah penasaran.

"Itu loh, Om Sudan," sahutku.

"Maksud kamu apasih, Van? Ayah baru pulang kerja kamu nanya yang aneh-aneh. Sepatu juga baru dibuka," ucap ayah sedikit kesal.

Aku menghela nafas, "Ayah tau? Ternyata yang ambil domba kita itu Om Sudan, yah."

"Apa? Masa iya?" Ayah terkejut, celana panjang yang akan baru di cantol kan ke paku, kembali di pegang. "Terus sekarang mana?"

"Masih di bawa ke rumah Pak RT," jawabku.

Entah bagaimana cara ibu menemukan pelaku, aku tidak tahu. Yang pasti Om Sudan sudah salah target.

Sore ini aku mencari rumput di kebun milikku karena domba tidak boleh lagi keluar dari kandang sambil membawa sebuah benda pipih berbentuk bulan sabit dan juga beberapa karung berukuran besar.

Sesampainya di sana aku langsung mulai membabat rumput supaya tidak kesorean selesainya.

"Van! Revan!"

Aku menoleh.

"Kalea. Ngapain kamu ke sini?" Tanyaku.

"Memangnya enggak boleh?" Ucapnya sambil merengut.

"Ya, boleh sih. Tapi ...,"

"Tapi apa?"

"Tapi nanti kamu di cari sama ibu kamu."

"Enggak lah, Van. Kalau aku masih kecil iya, sekarang kan aku sudah dewasa," ucapnya.

Aku tersenyum, memang sih Kalea sudah besar. Tapi dia masih tetap kecil di mataku karena kerewelan nya dan manjanya padaku.

"Van, baru pulang sekolah kamu cari rumput, enggak cape apa?" Tanyanya. "Sudah biar aku saja." Kalea menepis tangan ku yang akan memasukkan rumput ke dalam karung.

"Ya, capek sih, tapi mau bagaimana lagi," sahutku.

Aku di bantu oleh Kalea sore itu jadi tidak terlalu lama kami sudah mendapatkan satu karung rumput.

"Akhirnya selesai ...," ucapnya riang.

"Kok selesai sih? Lah itu apa?"

"Hah? Masih ada karung lagi?" Ucapnya merengek.

Aku tertawa cekikikan melihat ekspresi nya yang menggemaskan itu.

"Van, kira-kira siapa ya yang nulis cerpen di mading? Apa itu kamu?" Selidik Kalea.

"Apa sih? Sejak kapan aku nulis pake kertas HVS? Lagian banyak kok yang hobi nulis di sekolah kita, bukan cuma aku," ucapku.

Kalea mengangguk-anggukkan kepala sambil berpikir. Jangankan dia, aku juga masih berpikir. Seperti tulisanku tapi kenapa pake HVS?

"Eh, ngomong-ngomong kamu tahu darimana kalau aku di sini?" Tanyaku penasaran.

"Dari ayah."

"Ayah?"

"Iya, ayah kamu maksudnya," ucap Kalea sambil tersenyum.

"Oohhh ...,"

"Van, aku punya tabungan," ucap Kalea dengan nada lirih.

"Terus?" Aku menghentikan ayunan sabit.

"Bisa kamu pakai dulu, Van."

Aku menghela nafas panjang lalu melanjutkan ayunan sabit ku, "Enggak semudah itu, Kal. Kamu tahu sendiri bagaimana susahnya aku mencari uang—"

"Jangan kamu pikirkan soal bayar, Van."

Aku diam, lalu berjalan ke arah pohon sawit di mana tempat kami istirahat. Kalea mengikuti ku dari belakang.

Aku duduk lalu meneguk air mineral yang tadi ku bawa, pandanganku jauh ke depan. Di sisi lain aku ingin sekali menjadi seorang penulis, tapi di sisi lain aku tidak tahu bagaimana caranya nanti aku membayar pinjaman dari Kalea.

"Aku tidak enak sama kamu, Kal."

Kalea tertawa terbahak-bahak dengan kepala mendongak ke atas, rambut panjang yang terurai dan poni yang hampir menutupi alis membuat dia terlihat cantik.

Kalea mengusap keningnya yang penuh dengan buliran keringat menggunakan punggung tangan, matanya kini memandang mataku sehingga aku bingung harus kemana pandangan ku saat ini.

"Van. Kamu masih tidak kenal sama aku?" Tanyanya sambil memandangku lalu pandangannya mengarah ke depan, "Andai aku anak orang kaya, aku tidak berharap bayaran itu, Van. Tapi karena sebenarnya kamu yang lebih kaya, pasti aku tagih suatu saat nanti kalau kamu sudah sukses," lanjutnya.

Kami tertawa bersamaan, rasa lelah kini berubah menjadi tawa dan canda. Setelah sedikit hilang rasa lelah itu aku kembali menyabit rumput.

"Van, menurut kamu, Widya itu gimana?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel