Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 06

"Apaan sih, Tante. Tidak loh, kami cuma berteman," sahutku menjelaskan.

"Berteman tapi effort nya sampai kaya gitu," celoteh Tante Hana sambil menahan tawa.

Aku tersenyum, memang sejauh ini kami berteman. Pertemanan itu tidak mungkin ku rusak hanya untuk sebuah rasa.

"Halah kalau memang dia make, keterlaluan lah. Istrinya kaya istri ustadz masa iya suaminya pemakai." Ucapan Bu Lea terdengar jelas di telinga ku.

"Bu, make itu sebenarnya make apa sih?" Tanyaku pura-pura lugu.

"Dia itu pernah kepergok sama suami dan anakku waktu mereka mau mancing, mereka ngeliat Sudan itu ke arah kebun sawit Pak Rahman," timpal Bu Nuri pada Bu Lea.

"Kamu anak kecil, jangan ikut campur," tegas Bu Nelly sekilas memandang ku lalu dia mulai menghitung plastik yang baru saja di beri oleh ibuku, "Mbak, ini buat berapa?" Lanjutnya bertanya pada ibuku.

"Delapan puluh, maklumlah saudaranya banyak," sahut ibu.

"Van, menurut Tante, kamu cocok loh sama Kalea. Anaknya cantik, baik, menarik," ucapnya menggoda.

"Apaan sih, Tante," ucapku sambil tersenyum. Bibirku semakin lebar ketika mendengar kata itu, sama persis yang aku ucapkan tadi pada Kalea untuk Widya.

Hiruk pikuk di dapur bersama ibu-ibu membuatku sedikit pusing, entah kenapa mereka suka menceritakan masalah orang ketimbang masalah mereka sendiri. Apa hasilnya?

"Tante setuju kalau kamu sama Kalea," ucap Tante Hana sambil mencolek pinggangku.

"Apaan sih, Tante," sahutku sambil tertawa geli.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, para ibu-ibu di rumah berpamitan pulang satu persatu.

* * *

"Bu, hari ini terakhir bayar buku," ucapku pada ibu yang tengah menyapu halaman.

"Ya sudah tinggal di bayar," sahut ibu yang tengah sibuk menyapu halaman.

"Ya, uangnya mana, Bu?" Tanyaku.

"Pakai uang kamu," jawab ibu dengan entengnya.

Aku tidak bisa berkata lagi, diam lalu meninggalkan ibu begitu saja. Kalau seperti ini, sama saja aku membiayai diriku sendiri untuk sekolah. Percuma aku menabung, iya tidak sih?

Sesampainya di parkiran motor, aku baru sadar kalau aku lupa mengambil uangnya yang ada di tabunganku.

"Kal! Kalea!" Aku mengejar langkahnya yang hampir sampai di koridor sekolah. Tumben hari ini dia tidak memanggilku, "Kal, kamu kenapa?" Tanyaku.

"Eh, kamu, Van. Tidak kenapa-kenapa, aku tadi tidak lihat kamu," sahutnya sambil sekilas memandang ku.

"Kal, tolong bawakan tasku, ya," ujarku sambil melepaskan tas yang ada di pundakku.

"Kamu mau kemana?" Tanyanya menatapku.

"Aku mau pulang, ngambil uang untuk bayar buku. Lupa tadi," sahutku.

"Ini sudah mau masuk, Van. Nanti kalau kamu telat gimana?" Tanya Kalea khawatir.

"Yang penting tasku sudah di dalam, perkara aku, gampang." Aku cekikikan.

Kalea tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala, dia menerima tas dari tanganku. Begitu aku membalikkan badan, Kalea menarik lenganku.

"Van, berapa lagi uang bukunya?" Tanyanya.

"Sekitar seratus sepuluh," sahutku.

"Lah, masih utuh?" Tanyanya sambil tertawa lepas.

Aku tersenyum malu, tapi aku tidak merasakan sakit hati sedikit pun dengan tawanya.

"Sudah, pakai uangku dulu," ujarnya.

"Tidak usah, Kal, sepertinya masih ada waktu."

Secepatnya aku kembali ke parkiran motor untuk pulang ke rumah, banyak anak-anak yang bertanya padaku mau kemana. Tapi aku tidak menjawab.

Sesampainya di rumah aku mencoba mencongkel tabunganku namun begitu sulit. Akhirnya aku mengambil sebilah pisau lalu memotong bagian belakangnya.

'ya ampun, kapan aku bisa beli handphone?' batinku.

"Van, kenapa kamu pulang?" Tanya ibu yang tiba-tiba membuka gorden pintu kamarku. Aku terkejut.

"Tapi ambil uang untuk buku," sahutku sewot.

Yang tadinya aku ingin mengambil seratus ribu saja, kini terpaksa ku ambil semua daripada ibu tahu uangku lumayan. Takutnya nanti ibu drama lagi tidak ada uang.

Benar saja, tampak dari kejauhan pintu pagar sudah tertutup. Pak satpam tengah duduk santai di posnya.

Aku berhenti lalu berpikir, bagaimana cara aku masuk ke kelas? Mataku memandang ke sekeliling, aku terkejut melihat Kalea tengah duduk di sebuah warung yang ada di depan ujung pagar.

'bukannya itu Kalea?' tanyaku dalam hati.

Aku memandang ke bapak satpam yang tengah asik memandang handphonenya, perlahan aku menjalankan motor untuk menghampiri Kalea di sana.

Mataku tidak lepas dari pak satpam yang masih cengar-cengir itu, ada beberapa manusia di sana heran melihatku tapi aku tidak peduli.

"Kal, ngapain kamu di sini?" Tanyaku sambil berlari ke arahnya. Kalea menarik lenganku.

"Ayo kita pergi dari sini," ujarnya sambil berlari kecil. Aku mengikuti langkahnya.

"Astaga, Kalea, kita mau kemana?" Tanyaku pusing.

Aku dan Kalea buru-buru naik ke atas motor, tanpa sadar aku langsung menarik tali gas untuk lari dari pandangan pak satpam.

Setelah kami jauh dari sekolah, terdengar suara tawa Kalea.

"Ini semua gara-gara kamu, Van," ucapnya sambil menepuk pundakku sebelah kanan.

"Loh, kok aku loh," sahutku sambil tertawa lepas.

Aku dan Kalea terus saja di atas motor yang sedang berjalan entah menuju kemana. Yang pasti kami menjauh dari sekolah dan rumah.

Kalea menunjukkan sebuah tempat wisata yang tidak terlalu mewah, tempatnya biasa saja tapi terlihat nyaman.

"Hei! Kalian anak sekolah ngapain sampai sini?" Tanya seorang bapak-bapak dengan penampilan sangar.

"Ka-kami—"

"Kami telat, Pak. Daripada pulang terus di marahi ibu mending kami menghabiskan waktu di sini," aku memotong ucapan Kalea dengan jantung deg-degan.

"Apa kalian kabur dari sekolah?" Selidiknya.

"Tidak, Pak," sahutku meyakinkan.

"Awas kalau di sini kalian berbuat yang macam-macam," ancamnya.

"Tidaklah, Pak. Kami ini saudara masa iya kami berbuat yang tidak senonoh," sahutku. Kalea menepuk pundakku.

Akhirnya kami terbebas dari bapak-bapak seram itu, walaupun dia tampak percaya dengan ucapan ku namun sepertinya dia belum yakin.

Bapak berbaju kaos berkerah lengan panjang serta bertopi itu terus saja memandang kami walau motor kami sudah jauh darinya.

Sesampainya di pinggir sungai, Kalea tampak riang. Wajahnya ceria dengan senyum yang semringah. Memandang aliran sungai jernih yang bertaburan batu-batu besar di sana.

"Kal! Aku tidak habis fikir kenapa kamu keluar dari sekolah tadi," ucapku di iringi suara derasnya aliran sungai.

"Aku tidak mau di kelas sendiri, iya kalau kamu bisa masuk. Kalau tidak?" Sahutnya.

"Kamu tidak yakin denganku?" Tanyaku.

Kalea memandangku lalu tersenyum, dia menghampiriku yang sedang duduk di sebuah batu besar lalu duduk di sampingku.

Kalea merapikan hijabnya lalu melepaskan tas yang ada di pundaknya, meletakkan nya di pangkuan.

"Bukan tidak yakin, tapi aku tidak percaya kalau kamu bisa memanjat pagar setinggi itu," sahutnya.

"Sama saja kamu tidak yakin."

Kalea tertawa terbahak-bahak sambil menutupi mulut, aku tersenyum sambil memandangnya.

Aku mengeluarkan uang yang tadiku ambil dari tabungan lalu merapikannya satu persatu.

"Banyak uang kamu, Van," goda Kalea.

"Banyak, tapi belum cukup untuk handphone," sahutku sambil mulai menghitung jumlah uangku, "Lima ratus enam puluh, ya ampun."

"Banyak itu, Om Dede jual handphone nya mungkin cuma delapan atau sembilan ratus gitu, Van," ucap Kalea.

"Ya, ini saja masih kurang banyak, Kal. Belum lagi di kurangi untuk uang buku," ucapku kesal.

Kalea menopang dagunya menggunakan tangan kanan, memandangku sambil memikirkan sesuatu.

Aku melipat kembali uangku lalu memasukkannya ke dalam saku celanaku.

"Kalau kita kasih uang itu dulu terus sisanya besok-besok, mau tidak, ya, Om Dede?" Tanya Kalea.

"Aku tidak bisa menjanjikan, Kal. Karena aku tidak tahu lagi uang ini kapan bertambahnya," sahutku.

Mengumpulkan uang segini saja membutuhkan waktu lama untukku, gimana untuk lebih dari ini? Sampai kapan?

Kalea mengeluarkan dompet yang ada di dalam tasnya, mengulurkan uang dua ratus ribu rupiah padaku.

"Untuk apa?" Tanyaku.

"Ini untuk buku, jadi lebihnya kita coba nanti nego sama Om Dede. Siapa tahu dia mau di cicil," ujarnya. Aku menggeleng.

"Tidak, Kal. Aku takut seandainya aku tidak bisa bayar terus Om Dede datang ke rumah dan minta sama ibu, apa jadinya?"

Kalea menghela nafas panjang, "Ya, tidak segitunya juga kali Van, Om Dede itu. Dia itu orangnya baik," ucap Kalea.

"Iya, baik. Tapi kalau urusan soal uang semua orang bakal jadi tega, lagian kamu seperti tidak kenal sama ibuku," ucapku kesal.

Kalea menarik tanganku lalu meletakkan uang itu ke telapak tanganku. Aku memandangnya dengan dahi mengerut.

"Yang penting ini dipegang, terus selebihnya kita pikirkan nanti," ujarnya.

Telapak tanganku masih ada di genggaman tangannya, memaksa aku untuk menggenggam uang darinya.

Aku tidak bisa berkata, di sini lain aku malu dengannya dan di sisi lain aku sangat ingin memiliki handphone.

"Van, kenapa tidak kamu coba minta tambahan dari kakak kamu yang sudah bekerja?" Tanya Kalea.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel