Bab 03
Aku terus berjalan tanpa memedulikan panggilan dari ibu, pura-pura tak dengar adalah pilihan terbaik untukku saat ini. Masalah nanti biarlah nanti.
Setelah aku duduk di bawah pohon sawit sambil memandang para domba, aku mengeluarkan sebuah pena dan selembar kertas. Biasanya aku menulis puisi namun hari ini aku lebih memilih menulis cerita pendek dengan cerita yang bisa menggelitik diriku sendiri.
Goresan pena terusku ayunkan di atas kertas putih, semua kata yang ada di kepala ku goreskan di dalamnya dengan titik, koma, dan spasi yang tepat.
Betapa bahagianya saat ini hatiku, bisa menumpahkan imajinasi hari ini. Sesekali ku baca ulang dari awal laluku lanjutkan kembali.
Tidak terasa, matahari sudah mulai tenggelam. Aku melipat kertas putih itu lalu memasukkan ke dalam saku.
Betapa terkejutnya aku setelah melihat domba yang tadi linglung sudah tidak ada di tempatnya. Aku mencari di sekeliling dengan kepala celingukan ke sana dan sini namun tiada hasil.
"Astaghfirullah, perasaan tadi di sini," gumamku.
Dengan tangan gemetar aku membuka ikatan tali domba lain yang mengait di pohon sawit. Biasanya mudah ini terlihat susah.
Ku hitung ulang domba, memang kurang satu. Ku hitung kembali memang kurang satu. Yang anehnya kenapa yang di ikat yang hilang? Astaga.
Dengan tubuh lemas aku jalan arah pulang bersama para domba. Aku tidak tahu apa yang akanku katakan pada ibu nanti?
Dari kejauhan ayah dan ibu tampak sibuk di belakang rumah, ada juga tetangga dekat di sana sedang membantu ibu mengupas bawang sedangkan ayah menyusun kayu di teras belakang rumah.
"Rajinnya, anak Lanang satu ini," puji tetanggaku itu sambil memandangku dari kejauhan.
Aku tak bisa berkata, hanya senyum pahit yangku lemparkan. Aku berharap ibu tidak memperhatikan dombanya, tapi harapan itu gagal.
"Revan, kenapa yang di ikat cuma dua? Satu lagi mana?" Tanya ibu.
Aku menoleh ke belakang seolah tak mengerti padahal aku tak tahu apa yang harus aku perbuat. Ibu berjalan mendekat sambil menghitung dombanya.
Aku berjalan ke arah kandang untuk mengintruksikan supaya mereka semua masuk ke dalamnya.
"Revan! Tunggu!" Ujar ibu. Ibu kembali menghitung. "Iya. Ini kurang satu. Kemana yang satu?" Bentak ibu.
"A-aku tidak tahu, Bu," sahutku dengan kepala menunduk.
Ayah meletakkan kayu terakhir lalu ikut berjalan ke arahku. Pandangan ayah sama, ke arah para domba.
"Tidak tahu gimana? Kan kamu yang jaga, Revan." Teriak ibu.
"Ta-tadi-" aku terdiam saat ibu meraih serpihan kayu yang agak besar di sampingnya lalu berjalan ke arahku.
Plak! Plak! Plak!
Pukulan itu tepat mengenai paha kananku, ayah meraih tali domba yang masih kupegang lalu memasukkannya ke dalam kandang.
"Kamu di suruh jaga domba saja tidak becus."
Plak! Plak! Pukulan itu masih saja di paha sebelah kanan. Ibu tidak peduli betapa sakit dan pedihnya yang ku rasa.
"Sudah rugi berapa ibu gara-gara kamu? Hah?" Ibu kembali memukul dengan kayu itu, namun aku masih tetap berdiri di sana.
"Bu, sudah, Bu," ujar ayah setelah menutup kandang domba.
"Sudah apanya? Ini anak kalau di biarin semakin tidak tahu diri. Entah apa yang dia pikirkan sampai-sampai kehilangan satu domba pun tidak sadar," teriakan ibu menggelegar sampai tetangga kami itu tidak tega melihatku maka dia memilih pulang. "Apa kamu sibuk nulis? Hah?"
Ibu memaksa memeriksa saku calana, tetanggaku itu menghentikan langkahnya sejenak lalu memandang ke arah kami. Benar saja, ibu menemukan kertas putih beserta pena yang ada di saku celanaku.
Ibu mengambil paksa lalu membuka kertas itu, "Hanya karena ini ibu kehilangan domba? Kamu bangun Revan! Bangun! Jangan harap kamu bisa menjadi penulis terkenal. Kamu itu siapa? Sadar!"
Tanpa pikir panjang ibu merobek-robek kertas itu lalu membuangnya tepat di wajahku.
"Jangan mimpi kamu jadi seorang penulis," ucap ibu sambil menunjuk wajahku. "Mulai besok, jangan pernah di bawa kemanapun itu domba. Kamu yang harus cari rumput untuk makan mereka!"
Ibu meninggalkan ku dengan rasa kesal. Kesalnya ibu memuncak sore ini setelah kurangnya hasil panenan di tambah lagi kehilangan domba. Aku berjalan ke arah dalam untuk menuju kamar mandi berniat membersihkan diri.
"Bang, aku ada PR, nanti bantu aku, ya," ujar Shela. Sekilas aku menoleh ke arahnya.
* * *
Entah kenapa ibu tidak pernah memberi aku waktu, setiap hari dan setiap malam ada saja pekerjaan yang dia berikan padaku.
"Revan! Itu di lipat pakaiannya," ujar ibu sambil berjalan ke arah teras sambil membawa beberapa jenis sayuran untuk di potong-potong bersama para tetangga yang datang.
Aku hanya diam, lalu mengambil sekeranjang pakaian yang semrawut di dalamnya. Menariknya sampai ke depan televisi.
"Bang, ini gimana?" Tanya Shela.
"Astaga, Shela, coba deh kamu belajar sendiri," ucapku kesal.
Tanpa berkata, Shela berjalan ke arah ibu. Entah apa yang dia katakan sampai-sampai ibu berteriak.
"Revaaaan! Coba kamu bantu adik kamu ini," ujar ibu.
"Astagaaaaa," gerutuku sambil menyungsep kan kepala ke pakaikan itu.
"Sinilah!" Bentakku.
Dengan polos Shela menghampiri ku sambil membawa sebuah buku tulis, sambil mengajarinya sesekali aku sambil melipat kain. Sudah jadi ibu rumah tangga ini mah.
Malam semakin larut, karena aku sambil dan sambil sampai sekarang pakaian ini belum kelar. Beberapa tetangga sudah pulang sampai hanya tersisa satu.
"Iya, besok bakal ku cari itu dombaku, Mbak. Kalau tau aku yang ngambil, biar kenal dia samaku," ucap ibu.
"Iya, Bu, kasih pelajaran saja biar enggak kebiasaan," timpalnya.
* * *
"Kalea!" Teriakku setelah mematikan mesin motor. Aku berlari kecil untuk mengejar langkahnya.
Kalea~teman masa kecilku, dari sekolah dasar sampai sekarang sekolah menengah atas, kami tetap bersama.
"Hei!" Senyum itu melebar seperti biasanya di sertai lambaian tangan. "Tumben telat?" Tanyanya.
"Biasalah," sahutku.
"Apa pekerjaan pagi ini?"
"Hmm,, kamu ini, masa iya aku jelaskan satu persatu."
Kalea tertawa terbahak-bahak sambil menutup mulut, aku menepuk pundaknya lalu kami berjalan beriringan sampai ke sekolah.
Di koridor sekolah tampak ramai, semua sibuk berdesakan melihat mading yang menempel di dinding.
"Kal, ada apa?" Tanyaku. Kalea mengangkat kedua pundaknya.
"Ayo kita lihat, siapa tahu ada cerita lucu," ujarnya.
Beberapa teman masih berdiri berdesakan untuk membaca sesuatu, perlahan aku memegang pundak mereka satu persatu sambil melangkah ke depan.
"Apa yang kalian baca?" Tanyaku.
"Ini loh, Van, ada cerita pendek yang benar-benar bikin haru," sahut Widya. Aku terkejut, lalu menoleh ke arah Widya.
Entah kenapa setiap aku dekat ataupun bicara dengannya bibirku terasa kaku. Gerakan ku gugup, pandangan ku bingung entah kemana.
'astaga, ini kan ceritaku yang ku buat semalam. Perasaan aku letak dalam laci,' batinku. Aku mundur teratur di ikuti Kalea di belakang ku.
"Tunggu-tunggu," ucap Sofyan terlihat fokus. Kami semua diam ingin mendengar ucapannya. "Sepertinya aku kenal dengan tulisan ini," lanjutnya.
"Hah? Yang bener? Siapa sih di sekolah kita yang tulisannya sebagus ini dan berbakat seperti ini?" Tanya Widya dengan semringah.
