Bab 02
"Ma-mau ke rumah Vito, Bu. Ada tugas jadi aku mau pinjam bukunya," jawabku berbohong.
"Jangan kemalaman pulangnya, oh, ya, ini beli tepung terigu satu karung," ucap ibu sambil memberi ku uang seratus ribu rupiah.
"Ini harganya memang segini, Bu? Yang berapa kilo? Kalau kurang gimana?"
"Kamu yang nombok kalau kurang! Untuk apa punya anak laki-laki enggak berguna?"
"Aku uang dari mana, Bu?" Tanyaku lirih.
Melihat ibu melipat kedua tangannya di dada, jantungku berdegup. "Kamu kira ibu tidak tahu tabunganmu? Hah? Mau hitung-hitungan sama ibu?"
Aku menggaruk-garuk kepala, tanpa pikir panjang aku meninggalkan ibu begitu saja, kalau di jawab nanti akan semakin panjang ceritanya.
"Jangan pulang sebelum kamu membawa tepung terigu satu karung," teriak ibu.
Aku naik ke sepeda motor lalu menyalakan mesinnya tanpa memedulikan ibu. Dengan rasa kecewa, tak terasa motorku melaju dengan kecepatan tinggi untuk menghilangkan rasa kesal yang ada pada diriku.
Aku teringat dengan uang yang di janjikan oleh Sudan, malam ini aku akan ke rumahnya dan akan menagih janjinya tadi siang.
Aku tidak memikirkan kerugian ibuku, yang ku pikirkan saat ini hanya mencari uang untuk sekolah besok dan di tambah lagi beban dari ibu.
Sreett...
Tidak menunggu waktu lama aku sampai di rumah Sudan, rumahnya tampak gelap dengan pintu tertutup. Kepalaku celingukan namun tak ku temukan kehidupan sedikitpun di sana.
"Aaarrgggh! Kemana ini orang?" Gerutuku sambil mengacak-acak rambut ku yang sudah kusut.
Dari kejauhan tampak sebuah motor matic mengarah ke rumah Sudan ini, tak lain dan tak bukan dialah Sudan bersama sang istri.
"Eh, Revan, ada apa, Van?" Tanya Tante Murniati dengan ramah.
"Enggak, Tante, main aja," sahutku.
"Eh, jadi bapak pinjam gancu nya?" Tanya Sudan.
"Hah?" Aku ngeleg, tak bisa berpikir.
Tante Murni turun dari motor, banyak pertanyaan yang ada di kepalanya karena dia memandangku dengan saksama, namun dia memilih untuk masuk ke dalam rumah sambil menenteng plastik berwarna putih berisi sayuran sedangkan Sudan menghampiri ku.
"Astaga, Revan, kenapa enggak di jawab pertanyaan, Om?" Bisik Sudan ketika sudah dekat denganku sambil sekilas memandang istrinya yang sudah sampai di depan pintu.
"Kapan ayah pinjam gancu, Om?" Tanyaku polos.
"Oalah, tinggal di jawab, iya, kenapa? Terus kalau di tanya kamu ke sini ngapain coba? Memangnya kamu pernah main ke sini?"
Deretan pertanyaan itu mulai membuat ku sadar. Astaga, iya, nanti kalau Tante curiga bagaimana?
Ya, aneh saja, Sudan yang sudah berumah tangga masih mau bermain denganku yang masih duduk di kelas sebelas. Huuff!
"Mana, Om, bagianku?" Tanyaku tanpa basa-basi.
"Nih."
Aku terkejut melihat Sudan mengeluarkan dua lembar uang kertas berwarna merah, tak kusangka bisa sebanyak ini bagiannya.
"Banyak amat, Om? Jadi yang lain dapat berapa?" Tanyaku bengong.
"Mau enggak? Ya, ini bagi rata."
"Memangnya dapat berapa tadi? Asli bagi empat?" Tanyaku penasaran.
"Enggak banyak, kok, dua keranjang saja," ucapnya.
"Astaga. Kok sebanyak itu, Om? Pasti ibu curiga dengan turun drastis nya buahnya besok waktu manen," ucapku sambil memandang Sudan yang masih tersenyum.
"Tenang, aman itu. Bilang saja buahnya trek, beres."
Aku tak bisa berkata, yang tadinya aku ingin sekali marah tapi setelah aku teringat kembali soal tepung, biarlah buah berkurang itu menjadi urusan ibu.
Aku pergi meninggalkan Sudan yang masih berdiri di sana, tak kusangka orang yang selalu di puji-puji ibu ternyata memiliki prilaku yang bisa merugikan orang lain bahkan ibuku sendiri.
* * *
Samar-samar aku mendengar suara kluntingan dari arah dapur, pasti ibu sudah bangun. Ku lirik jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul 04:48 wib.
Sesekali ku pejamkan mata sambil menggeliat, rasanya seperti lepas semua kawat yang tengah melilit tubuhku pagi ini.
"Revaaaan," teriak ibu dari arah dapur.
"Iya, Bu," sahutku lirih.
"Revaaaan," teriaknya lagi.
Orang tua itu tidak akan berhenti memanggil kalau aku belum nampak wujudku di depan matanya. Perlahan aku berjalan ke arah dapur dengan tubuh yang masih sempoyongan.
"Iya, Bu. Ngapain sih pagi-pagi sudah teriak-teriak," ucapku kesal.
"Masih pagi kamu bilang? Lihat sudah jam berapa. Sudah sebesar ini kalau belum di bangunkan belum juga bangun. Dasar."
"Bu, aku dengar tapi memang ibunya saja yang tidak dengar," ucapku.
"Terus membantah!"
Seketika aku terdiam, aku mengusap mata sambil menghela nafas panjang. Ku buka lebar daun pintu yang tadinya sudah terbuka setengah.
Kepalaku celingukan mencari ayah, namun ayah tidak ku temukan.
"Ayah, mana, Bu?" Tanyaku.
"Di belakang, masih motong kayu untuk besok."
"Memangnya kayu kita sudah habis?" Tanyaku mengernyitkan dahi. Tumben, biasanya kalau sudah tinggal sedikit ibu akan merepet dan belum berhenti kalau belum nampak tumpukan kayu.
"Belum. Besok mau ada acara di rumah ini jadi untuk masak-masak butuh kayu banyak," sahut ibu, "Nanti sepulang sekolah bantu ayah manen biar tidak kesorean," lanjut ibu.
Degh!
Jantungku tak bisa di bohongi, debaran jantungku sampai menggetarkan baju kaos yang ku kenakan.
Aku melangkah ke belakang untuk mencari ayah, setelahku temukan aku melangkah ke arahnya.
"Ayah! Ayah!" Panggilku dengan nada berbisik.
Ayah memandangku lalu menaikkan kedua alisnya, "Ada apa?" Tanyanya sambil menghentikan ayunan kapak.
"Yah, besok ada acara apa di rumah?" Tanyaku.
"Entah. Sudah kamu coba tanya ibumu?" Tanya ayah sambil memandangku.
Aku menggelengkan kepala, jangankan aku, ayah saja tak ada kuasa di rumah ini. Bukan kami takut tapi kami lebih menghormati ibu walaupun ibu lebih sering nyakitin perasaan kami.
Aku menjalankan aktivitas di sekolah sangat tidak nyaman karena otakku berada di tandan buah sawit saja, bagaimana jika merosot jauh pendapatan ibu?
Entahlah. Sepanjang waktu sekolah tidak ada yang spesial bagiku, padahal ada beberapa kejadian lucu bahkan ada kejadian menarik. Tapi aku tidak tertarik.
* * *
Aku sangat penasaran dengan acara yang akan di buat oleh ibu besok di rumah, memang biasanya ada acara pengajian bergantian di setiap rumah. Tapi besok kan bukan hari Jum'at.
Sesampainya di rumah dengan tergesa-gesa aku menyalin pakaian lalu berlari ke arah kandang domba. Mengeluarkan semua domba tanpa menyapa mereka terlebih dahulu seperti biasanya.
Para domba yang biasanya teriak-teriak dengan suara khas mereka, kali ini hening. Seekor domba ada yang memiliki firasat tidak baik untukku sampai dia tak mau berjalan ke arah kebun itu. Hanya diam dengan pandangan arah ke depan.
"Eh, kenapa sih?" Tanyaku bingung sambil sesekali menepuk bagian bokongnya.
Aku terus berusaha menariknya walaupun sedikit kesusahan. Setelah beberapa lama merayu dan menariknya akhirnya satu domba linglung ini bisa menggerakkan kakinya lalu berjalan mengikuti yang lain.
Dari kejauhan tampak ayah sedang duduk di pinggir parit sambil mengibaskan topinya ke arah tubuhnya.
"Ayah!" Panggilku. Ayah memandangku sambil nyengir.
Secepatnya aku mengikat domba itu, lalu berlari ke arah ayah. Keringat yang sudah membanjiri tubuhnya membuat bajunya basah kuyup.
"Sudah tidak banyak lagi buah kita, Van," ucap ayah dengan nada datar. Aku hanya diam, lidahku kaku, tenggorokan ku terasa pahit. Aku tidak tahu harus berkata apa. " Kalau begini, pasti pendapatan akan kurang."
"Ayah, masih ada lagi kebun yang lain 'kan? Siapa tahu memang rezeki dari kebun ini memang segini," ucapku untuk menenangkan ayah.
"Iya. Tapi merosotnya jauh, Van. Itu ayah sudah mau selesai. Masa iya hanya empat jam sudah mau selesai yang tadinya hampir delapan jam ayah di sini," ucap ayah.
"Jangan di pikirkan, yah, namanya juga rezekinya segini doang."
"Nanti apa yang akan ayah katakan pada ibumu?"
"Buahnya trek lah, apalagi?"
Hening ...
Jantungku tidak berhenti berdegup.
Tawa ayah terdengar seperti petir yang menyambar tubuhku, secara tiba-tiba ayah tertawa terpingkal-pingkal membuat aku bingung.
"Ayah. Buat kaget saja," gerutuku.
"Ayah yakin ibumu akan merepet ini," ucapnya sambil terus tertawa.
"Biarlah, dengarkan saja. Apalagi?" Tanyaku sambil tersenyum.
Aku dan ayah seperti dua anak laki-laki di mata ibu, kalau ibu memarahi ayah persis seperti sedang memarahi ku. Entah terbuat dari apa hati ayah sampai bisa sesabar ini.
Ayah melanjutkan tugasnya dan aku mengambil motor untuk mengantar buah ke toke penjualan buah sawit.
Setelah beberapa saat, selesai sudah tugasku dan ayah. Kami kembali ke rumah sambil membawa nota penjualan untuk di serahkan pada ibu.
"Apa ini?" Tanya ibu dengan mata membulat.
"Ya, nota buah, Bu," sahutku sambil meninggalkan ibu di teras rumah.
"Revan, yang benar saja memang cuma segini?" Tanya ibu meyakinkan.
"Ya, jadi mau seberapa, Bu? Tanya Om Farhan itu," ujarku pada ibu.
Ibu yang masih bingung membolak-balikkan nota yang ada di tangannya, benar saja ibu syok, berkurang nya hampir setengah sendiri.
"Yah! Ayah!" Ibu masuk ke dalam memanggil-manggil ayah.
"Ada apa to, Bu?" Tanya ayah dengan nada santai.
"Sekarang giliran ayah," gumamku sambil cekikikan dengan langkah kaki ke arah belakang rumah.
"Ini memang hasilnya segini?" Tanya ibu mendekati ayah.
"Iya. Kalau memang sudah segitu terus harus apa, Bu?" Tanya ayah balik.
Ibu menghela nafas, pikirannya bekerja keras. Ibu menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu, tampak lesu dan lunglai sampai aku tak tega memandangnya.
"Revan! Revan!"
