Bab 01
"Revan!" Suara itu sudah terdengar sebelum aku memasuki rumah ini. Aku membuka sepatu sambil sesekali memandang ke arah dalam, pasti ibuku mendengar suara motorku berhenti.
'apa ibu sudah mendengar kejadian tadi di sekolah?' batinku.
Aku masuk ke dalam rumah dengan jantung yang berdegup kencang, memandang wajah ibu yang membuatku takut. Wanita paruh baya itu menghampiri ku, tepat berada di hadapanku langsung aku menundukkan kepala.
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku sebelah kanan. Aku mengelus pipi yang terasa panas ini dengan wajah yang masih menunduk.
"Revan! Apa yang kamu perbuat di sekolah? Mau jadi jagoan? Mau buat malu ibu?" Bentakan demi bentakan itu menggema di ruangan ini. Aku tak mampu memandang ibuku sekilas pun, apalagi untuk menjawab. "Ibunya Galuh tadi ke sini, ibu enggak mau tahu, untuk lima hari ke depan tidak ada uang jajan untukmu." Suaranya keras dan bengis serta kedua tangan mengepal wanita paruh baya itu membuatku tak berdaya.
Sosok itu sudah pergi meninggalkanku, perlahan aku mengangkat kepala. Memang kasus dengan Galuh, sepenuhnya salahku. Tapi di situ aku tidak rela ayahku menjadi bahan olok-olok mereka. Pesan ibu, jangan mukul duluan sebelum mereka yang mulai. Tapi aku tadi terlanjur sakit hati.
Seperti biasa, aku mengganti pakaianku dengan pakaian biasa untuk menggembala domba yang di miliki ibuku. Di mana kaos oblong berwarna putih ini, sekarang tidak lagi putih tapi kusam dan kumal menjadi saksi bisu. Yang tadinya hanya ada tiga ekor domba sekarang sudah menjadi belasan ekor.
"Bang, antarkan les, yuk," ujar Laura, adik ke enam.
"Abang mau gembala domba, coba minta ibu untuk antarkan," ujarku dengan nada lirih.
"Aku takut, bang, nanti kalau ibu enggak mau gimana?" Tanyanya dengan nada merengek.
"Apasih yang enggak untuk kalian?" Tanyaku balik dengan rasa sedikit emosi.
Laura seperti mengerti dengan maksudku, tanpa bicara apapun ia meninggalkan ku. Aku berjalan ke arah kandang domba yang berada di belakang rumah, aku sedikit bahagia dengan di sambut teriakan-teriakan domba itu menandakan bahwa mereka sangat lapar dan berharap kedatangan ku.
"Hei, lapar, ya? Skuy kita cari makan," ujarku kepada domba sambil membuka pintu kandangnya.
Aku sedikit terhibur dengan adanya mereka, walaupun mereka tidak bisa membalas ucapan ku, setidaknya mereka bisa mendengar keluh kesah ku. Bibirku mulai senyum merekah setelah melihat satu demi satu dari mereka turun lalu berlarian ke arah belakang.
Belasan domba yang baru keluar dari kandang terlihat sangat kelaparan, hanya tiga ekor yang berkalung tali tambang untuk ku pegang dan yang lainnya mengikuti kami dari belakang.
Sesampainya di perkebunan kelapa sawit milik ayah yang berjarak lima ratus meter dari rumah, mereka menyebar tapi tak berjauhan. Dengan lahap para domba menikmati rumput-rumput liar. Sesaat aku mengikat tali domba ke batang sawit, aku mendengar beberapa orang tengah berbicara.
Setelah selesai ku ikat, perlahan aku berjalan ke arah sumber suara, ternyata ada tiga orang asing di sana. Entah apa maksudnya dengan membawa senjata tajam jenis besi pipih nan panjang.
"Astaga, mereka?" Ucapku lirih setelah tahu apa yang mereka lakukan.
Ternyata mereka lah yang di namakan ninja sawit. Ya, mereka mengambil paksa buah sawit kami menggunakan parang panjang, beberapa buah sawit sudah tergeletak di bawah dan ada pula yang masih bergelantung di atas tapi sudah nyaris jatuh.
Aku mengintai dari kejauhan, mereka semua tidak asing di mataku. Satu orang masih sibuk berusaha menurunkan tandan yang masih nyangkut, dan dua lagi masih sibuk menaikkan ke atas motor yang ready dengan sebuah keranjang yang terbuat dari rotan.
Tidak menunggu lama, aku menampakkan diri, berdiri di belakang mereka. "Ngapain, Om?" Tanyaku dengan kedua tangan melipat di dada.
"Eh, anu, anu-"
"Om khilaf," sahut sebelahnya.
Keduanya berdiri memandangku, sedangkan yang di atas masih berusaha turun. Wajah mereka tampak biasa saja, tidak takut sama sekali karena tubuh mereka lebih besar dariku.
"Aku tau, kalian enggak takut sama aku," ucapku.
Hening ...
Mereka saling pandang lalu cekikikan.
"Jangan bilang ibumu, ya," ucap salah satu dari mereka, Sudan~Orang yang di kenal ibu sebagai orang yang ramah dan rajin bekerja.
Aku mengangguk sambil terus memandang mereka, "Tapi bagi dua," ucapku.
"Enak sekali kamu, kami yang susah-susah nurun ini buah-"
Ucapan itu terhenti ketika Jamal menarik lengannya. Entah apa yang di bicarakan mereka setelah membelakangi ku, aku tidak berpindah posisi sedikit pun. Walaupun aku tak berani tapi aku tidak memasang wajah takut sedikitpun pada mereka.
"Oke, kita bagi dua. Nanti malam kau ambil uangnya di rumahku," ujar Sudan.
"Oke," sahutku tanpa pikir panjang.
Aku membalikkan badan lalu berlari ke arah dombaku. Yang penting untuk uang jajan di sekolah besok sudah kelar.
Aku berlari pulang dengan meninggalkan para domba yang masih makan, dengan langkah panjang aku terus berlari.
Sesampainya di rumah, nafasku sedikit sesak. Aku mengambil air kemasan gelas yang ada di dalam kulkas di warung ibuku.
"Revan! Berani bayar berapa kamu?" Bentak ibu.
Seketika tegukan ku berhenti, tanganku masih menggenggam minuman gelas yang masih terasa dingin.
"Ini satu seribu 'kan, Bu?" Tanyaku lirih.
"Iya. Ibu enggak mau tahu pokoknya kamu bayar!" Lanjutnya dengan lantang.
Aku menganggukkan kepala, lalu berlari ke arah kamar. Aku mengambil celengan berbentuk bebek yang sudah lama ku miliki, di situ aku berusaha mengambil uang dua ribu rupiah untuk membayar minuman yang aku minum tadi.
Lega rasanya aku berhasil mengambilnya, tidak menunggu lama aku memberikan uang itu kepada ibu. Benar saja, uang itu di ambil dan di masukkan ke dalam kaleng berisi uang yang lainnya.
'astagfirullah, ibu,' batinku sambil menghela nafas.
* * *
Tidak terasa malam pun tiba, kami sekeluarga akan makan malam setelah menunggu beberapa waktu untuk ibu masak.
"Bu, apa lauk kita malam ini?" Tanya Shela, adik bungsuku.
"Ikan," sahut ibu sambil meletakkan sebuah piring yang berisi beberapa potong ikan es jenis serai.
Aku beranjak, lalu membantu ibu melengkapi perlengkapan makan malam kami seperti piring, sendok, air mineral dan lain-lain.
"Ya, ampun, ibu," ucapku sambil memegang sepotong ikan goreng.
"Kenapa?" Tanya ibu dengan nada sinis dan tangannya masih menyendok kan nasi untuk Shela.
"Sekecil ini," ucapku sambil membolak-balik kan ikan yang tak seberapa ini.
"Kamu kira ikan itu enggak mahal? Sana kamu cari ikan, biar ibu yang masak. Jangan asal aja kamu protes sekecil ini, sekecil ini," ucapannya dengan nada tinggi.
Yang benar saja, ikan berukuran dua jari untuk makan bareng nasi satu piring. Astaga.
Biasanya memang hanya sayur bening kalau tidak santan, lebih banyak kuah daripada isinya tapi mendingan masih ada asin-asinnya. Sepertinya ini memang hanya dua ekor ikan yang di potong menjadi lima, potongan yang terlihat besar hanya punya ayah dan adik bungsu, biarlah.
Aku menumpuk piring kotor lalu mengangsur nya ke dapur, di susul oleh ibu yang membawa Magicom yang masih terisi nasi setengahnya. Setelah selesai aku mengelap bekas tempat kami makan, aku berjalan ke arah luar rumah dengan langkah perlahan.
"Revan!"
Langkahku terhenti, lalu menoleh ke belakang.
