Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Berharap Aira Mengalami Keguguran

"Tuan, Bapak Tua akan bekerja lebih berhati-hati lagi. Tolong beri satu kesempatan pada Bapak Tua ini." Pak Tua tetap mencoba peruntungan nasibnya. Dia memiliki 3 anak remaja yang harus diberi makan. Jika hilang pekerjaan kemana lagi dia harus mencari pekerjaan diusia yang tidak lagi muda.

Saking perlunya pekerjaan ini, Pak Tua rela merendahkan harga dirinya. Air mata menggenang di bola mata hitamnya. Kerutan di keningnya sangat nampak karena dimakan usia. Dia mencoba menahan diri agar tidak menaggis. Sebagai pria dia tidak boleh lemah menghadapi sulitnya kehidupan.

Selama ini, dia berhasil mengarungi segala macam rintangan. Namun sayang, sepertinya hari ini nasib buruk sedang melandanya, dan dia harus mengikhlaskan semua itu.

Apa yang dihadapi oleh Pak Tua membuat Aira iba. Kesulitan macam apa yang belum dia lewati selama hidup di pantai asuhan; caci maki, direndahkan orang lain sudah menjadi bagian kehidupannya sampai saat ini.

Hati nurani Aira tidak tega melihat penderitaan itu. "Kau jangan memecatnya, dia tidak bersalah." Aira mencoba menengahi dan membantu Pak Tua berbicara pada Mark.

"Uang punyaku sendiri tidak perlu kamu menasehatiku. Aku tidak suka orang bekerja sembarangan."

"Mark..." Aira berkata sedikit lirih tidak lagi meledak seperti sebelum-sebelumnya.

"Kalau kau tidak mau orang lain dipecat seperti ini, kau cukup diam di dalam kamar saja." Mark tetap dengan pendiriannya.

"Untukmu, Pak Tua, ambil uangmu lalu pergi. Aku tidak pernah memberikan kesempatan kedua kepada orang lain, dan aku tidak mau merubah prinsipku karena siapa pun."

Air mata yang susah payah dia tahan akhirnya pecah juga. Pak Tua menagis karena tidak punya alasan untuk dikatakan kepada anak dan istrinya; bahwa dia tidak lagi memiliki pekerjaan.

Dia berdiri, langkahnya tertatih-tatih memgambil amplop berwarna putih di atas meja. Sebelum pergi, dia berpamitan pada Mark. "Terima kasih, Tuan." Meskipun hati terasa sakit, dia tidak pernah membenci orang yang menyakitinya.

Selama ini, Mark sudah memberinya kesempatan untuk bekerja, dan dia memang harus selesai dengan pekerjaan ini. Lagipula semua orang akan berhenti bekerja pada waktunya; entah itu mengundurkan diri, diberhentikan atau memang waktunya pensiun.

"Mark! Kau keterlaluan!" Aira marah, dia pergi menyusul Pak Tua. Rasa sakit di kakinya sama sekali tidak dia rasakan. Dia yang jatuh sendiri, tidak ada hubungannya dengan Pak Tua. Hanya karena satu batu kakinya terkilir.

Apa bekerja dengannya itu harus sesempurna

itu? Jika ada orang yang terluka yang disalahkan adalah pelayan yang bertanggungjawab atas tugas itu?

Sungguh diktator!

"Pak Tua, tunggu..." Aira sambil berlari kecil memanggil Pak Tua.

Pak Tua menoleh, "Nona..." Tangisan sebelumnya telah berganti senyuman hambar.

"Maaf, karena aku, Pak Tua kehilangan pekerjaan ini." Aira meraih kedua tangan Pak Tua meminta maaf dari dasar hatinya.

"Tidak apa-apa, Nona tidak perlu khawatir. Pak Tua pasti menemukan pekerjaan lain yang lebih bagus." Pak Tua mengucapkan kata-kata penghiburan untuk dirinya sendiri sekaligus menenangkan Aira agar tidak merasa bersalah padanya.

"Maaf, Nona, Pak Tua harus pergi." Aira melepaskan tangannya dengan perasaan berat hati. Ini semua gara-gara dia sendiri mengapa begitu ceroboh. Sudah tahu dia tinggal di kandang harimau lalu mengapa dia masih bersikap santai seperti berada di kandang kucing.

Sebelum pergi, Pak Tua melihat ke arah kebun dan rerumputan yang telah dia rawat sepenuh hati; terlihat begitu hijau dan tertata rapih. Ada rasa kepuasan tersendiri saat memandang hasil pekerjaannya itu.

Pak Tua hampir 10 tahun bekerja di rumah Mark. Pastinya dia akan merindukan tempat ini. Tidak mudah melupakan sesuatu yang sudah lama dilakukan, terlebih pekerjaan ini sudah merubah kehidupan dia dari tidak memiliki apa-apa menjadi terpenuhi segala kebutuhan keluarganya.

Aira terdiam di depan pintu. Semua rasa sedih nampak jelas di wajah cantiknya. Rasa bersalah kian menerpanya saat Pak Tua sudah menghilang dibalik tembok raksasa rumah itu.

Tiba-tiba Mark datang membuyarkan semua lamunannya.

"Jangan pernah menentang keputusanku!" Mark menatap jengkel pada Aira. Dia tidak suka orang lain ikut campur dalam urusannya.

Di depan sudah ada mobil menunggu Mark. Pria itu berlalu begitu saja meninggalkan Aira sendirian.

Aira menatap mobil melaju meninggalkannya.

Kepala pelayan menghampiri Aira. "Nona, Tuan memberitahuku agar Nona segera masuk ke kamar. Tuan berpesan padaku agar Nona tidak meninggalkan kamar. Dia berkata akan memecat semua pelayan jika Nona tidak menuruti perkataannya."

Dia mau menjadikannya tahanan rumah sampai mengurungnya di dalam kamar.

Aira membalikkan badan berjalan masuk ke dalam rumah. Zac yang berpapasan dengannya ingin menyapa, tapi dia urungkan ketika melihat wajah sedih Aira. Sudahlah dia jangan terlalu dekat dengan istri bosnya itu.

Di ruang keluarga ada Mabelle melihat ke arah Aira dengan tatapan benci. "Kenapa dengan wajah jelekmu itu?!"

Aira mengabaikan Mabelle, dia sedang tidak mood berdebat dengan siapa pun. Dia mau beristirahat saja, apalagi kakinya baru saja terkilir.

Lain kali pun, dia harus menghindari Mabelle. Pokoknya selama dia ada disini lebih baik tidak pernah bersinggungan dengannya. Dia sudah cukup menderita jangan menambah beban lagi.

"Kau takut kakakku mengusirmu dari rumah ini?" Dia berdiri bersedekap seperti biasanya menunjukkan kesombongannya, yang kian hari makin tinggi.

Mabelle menganggap Aira itu sedang memanfaatkan kakaknya saja dengan memberitahu tentang kehamilannya. Masalah ini dia harus memberi pelajaran pada wanita tidak tahu diri ini.

Dia tidak suka dengan wanita ini. Sudah miskin tidak punya apa-apa, tapi bisa menaklukkan hati Marcell-nya dan kakaknya itu. Entah trik apa yang sudah dia lakukan dibalik wajah cantiknya itu. Walaupun mulut berkata jelek, tapi dalam hati Mabelle mengakui bahwa Aira itu sangat cantik. Meskipun begitu, bukan berarti dia akan menyukainya.

Mabelle paling tidak suka diabaikan orang lain. Dia berlari ke arah Aira. Aira baru beberapa langkah menaiki anak tangga tiba-tiba ditarik rambutnya dari belakang. "Kau sedang menantangku, ya?"

Aira tidak siap terpleset kakinya. Mabelle langsung melepaskan tangannya bergeser ke samping, tidak berusaha menangkap tangan Aira meskipun Aira berusaha menjangkau tangannya.

Mabelle buru-buru pergi meninggalkan Aira sebelum ada yang melihat kejadian itu untuk menghilangkan jejak.

Mabelle berharap Aira mengalami keguguran saja lalu bisa segera pergi dari rumahnya. Dengan begitu, dia bisa memiliki Marcell untuk selamanya.

Kepala pelayan melihat Aira sedang meraung kesakitan di atas lantai langsung menghampiri. "Nona!"

"Tolong, anakku..." Dia mengulurkan tangannya ke arah kepala pelayan masih dalam posisi tertelungkup.

"Nona, kamu harus bertahan." Kepala pelayan sangat cemas dengan kondisi Aira. Tuannya baru saja berpesan kepadanya untuk menjaga Aira. Mark baru pergi sudah ada hal buruk menimpa Aira.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel