Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 6

Malam itu, ketenangan yang rapuh melingkupi rumah kecil keluarga Elise. Bau darah samar masih terasa di udara, bercampur dengan aroma kayu yang lapuk. Elise menuntun ayahnya, Eddie, ke kamar untuk mengobati luka di tangannya. Luka itu tidak terlalu dalam, tapi cukup membuat Eddie meringis setiap kali Elise membersihkannya.

Sebuah lampu redup di meja kecil di sudut kamar menjadi satu-satunya penerangan, memunculkan bayangan wajah Eddie yang penuh garis usia dan kelelahan. Elise bekerja dalam diam, tangannya cekatan, sementara pikirannya penuh pertanyaan yang tidak berani ia lontarkan.

"Ahh… pelan-pelan, Elise. Kau ini seperti mau mengulitiku saja!" kata Eddie setengah kesal.

Elise tersenyum tipis. Sikap ayahnya memang cukup keras. "Ayah lebih baik diam kalau tidak tahan sakit. Luka ini karena ulah Ayah sendiri."

"Huh, seperti aku punya pilihan lain. Kau tahu, mereka datang karena kita berutang! Kalau aku tidak menghadap mereka, mereka mungkin sudah menghancurkan rumah ini."

Elise berhenti sejenak, "Dan apa yang akan Ayah lakukan sekarang? Menunggu mereka kembali besok? Atau lari lagi seperti dulu?"

Eddie mendengus, lalu menarik tangannya dari Elise dengan kasar. Ia duduk bersandar di ranjang reyot, pandangannya terpaku pada langit-langit yang penuh retakan.

Eddie: "Aku takkan lari. Tapi kita butuh uang, Elise. Banyak uang. Kalau tidak, kita semua tamat. Harusnya kau sudah dapat uang sekarang."

Elise berusaha tenang, "Aku sudah bekerja keras untuk Ayah dan Lily. Gaji dari Tuan Abraham cukup untuk makan dan kebutuhan lainnya. Kita tidak perlu uang tambahan kalau Ayah bisa lebih hemat. Tapi... tunggu bulan depan, aku bahkan baru mulai kerja hari ini."

Kata-kata Elise seperti memercikkan api. Eddie menoleh dengan tatapan tajam, wajahnya memerah.

"Cukup?! Kau pikir itu cukup untuk membayar utang kita? Kau tidak tahu apa-apa! Mereka akan kembali, Elise. Dan kali ini mereka tidak akan hanya mengancam—mereka akan menghancurkan kita!"

Suara Eddie menggema di kamar yang sempit, membuat Elise terdiam. Ia menunduk, tangannya menggenggam perban yang belum selesai ia lilitkan di luka Eddie.

"Aku melihat lelaki itu tadi. Orang yang mengantarmu pulang. Mobilnya mewah. Wajahnya tidak asing bagiku. Aku baru ingat, dia cucu Abraham Barack, kan? Tuan Reiner itu, pemilik perusahaan tambang minyak yang sering muncul di berita."

Elise tertegun. Ia merasa ada sesuatu yang berat dalam suara ayahnya, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa ingin tahu. Tidak mau berpikir jauh, tapi Elise tahu bagaimana pemikiran sang ayah.

"Kau tahu, Elise, ini kesempatan langka. Kau tinggal di rumah mereka, bekerja untuk mereka. Kau bisa… mendekati dia. Reiner pasti punya uang lebih dari cukup untuk membantu kita."

Elise dengan tegas, menyahut, "Ayah, aku tidak akan melakukan itu. Aku bekerja untuk kakeknya, bukan dia. Dan aku tidak mau memanfaatkan siapa pun. Tuan Reiner bukan orang sembarangan."

Eddie memukul lututnya dengan frustrasi.

"Kau keras kepala seperti ibumu! Kau pikir harga dirimu bisa menyelamatkan kita dari kehancuran? Kau mau adikmu hidup seperti ini? Tanpa masa depan? Kalau kau tidak melakukan sesuatu, kita semua akan hancur!"

Elise merasakan dadanya sesak. Ia ingin membalas, ingin berteriak bahwa ini semua adalah kesalahan Eddie sendiri, tapi ia tahu kata-kata seperti itu tidak akan berguna. Di balik amarah ayahnya, ada ketakutan yang nyata. Ketakutan akan kehilangan segalanya, termasuk nyawa keluarganya.

Elise mencoba menenangkan diri, menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan namun tegas.

"Ayah, aku akan tetap bekerja untuk Tuan Abraham. Itu cara terbaik untuk membantu kita. Aku tidak butuh bantuan dari siapa pun, apalagi Tuan Reiner. Aku juga tidak mau cari masalah."

Eddie hanya mendengus, tidak puas, tapi juga tidak membalas. Elise berdiri dan merapikan kotak obat yang ia bawa, lalu meninggalkan kamar tanpa menoleh ke belakang. Saat pintu tertutup, air matanya mengalir tanpa suara.

Di luar kamar, Elise bersandar pada dinding dingin, mencoba mengumpulkan kekuatannya. Ia tahu ayahnya tidak akan berhenti memaksanya. Dan di dalam hati kecilnya, ia mulai merasa goyah.

---

Elise duduk di tepi ranjangnya, mencoba meredakan hatinya yang masih bergemuruh. Kamar kecil itu adalah satu-satunya ruang yang memberinya sedikit ketenangan di rumah yang penuh konflik. Namun, malam ini, ketenangan itu hanya sesaat. Ketukan pelan di pintu menyentaknya dari lamunannya.

Lily ragu-ragu muncul dari balik pintu, "Kak Elise, aku boleh masuk?"

Elise segera mengusap air matanya dengan punggung tangan, memastikan wajahnya terlihat biasa saja.

"Tentu, masuk saja, sayang."

Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok mungil Lily Morgan yang berdiri ragu. Bocah sepuluh tahun itu mengenakan pakaian tidur sederhana, rambutnya yang sedikit kusut membingkai wajah kecilnya yang tampak sayu.

Lily berjalan mendekat, lalu berhenti di depan Elise. Matanya yang bulat mengamati kakaknya dengan cermat.

"Ayah tidak melukai Kakak lagi, kan?"

Elise tertegun. Pertanyaan polos itu seperti tusukan di dadanya. Lily terlalu kecil untuk harus menyaksikan semua ini, terlalu muda untuk memahami beban yang dipikul keluarganya. Elise memaksakan senyuman tipis, meskipun hatinya terasa berat.

Elise menjawab dengan lembut, "Tidak, Ayah tidak melukaiku. Kakak hanya lelah saja."

Lily tampak ragu, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi Elise buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Kau sudah makan malam, Lily? Kalau belum, kita masak sesuatu, ya?"

Mata Lily berbinar sedikit, meskipun ia masih tampak khawatir.

"Aku belum makan… tapi kita masih punya bahan untuk masak, Kak?"

Elise mengangguk, bangkit dari ranjang, dan menggenggam tangan Lily dengan lembut.

Elise: "Ayo kita lihat. Pasti ada sesuatu yang bisa kita masak bersama."

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel