Bagian 5
Reiner menuntun mobilnya melewati jalanan yang tak terlalu terang, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Elise. Saat mobil berhenti di depan rumah yang sederhana namun sedikit kumuh, Reiner menatap bangunan itu sekilas dari dalam mobil. Tidak ada yang terlalu mencolok, hanya sebuah rumah dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk. Sangat kontras dengan rumah megah yang ia tinggali.
Elise membuka pintu mobil, hendak turun. Reiner menundukkan wajahnya sejenak, berusaha menyembunyikan rasa keingintahuan yang tumbuh. Dengan sedikit ragu, dia mengikuti Elise keluar dari mobil dan berjalan mengikutinya ke pintu rumah. Dalam pikiran Reiner, rumah ini adalah tempat yang sangat berbeda dari kehidupannya yang mewah dan penuh privilese.
Begitu masuk ke dalam, bau lembap dan udara pengap langsung terasa. Rumah itu tampak kacau, dengan barang-barang yang berserakan di lantai. Ruangan yang seharusnya menjadi ruang tamu tampak kosong, hanya berisi kursi-kursi kayu usang dan meja yang sudah tidak terawat. Piring-piring kotor terlihat bertumpuk di sudut ruangan.
Namun yang lebih mengejutkan adalah suara keras dari dalam rumah. Reiner menegang. Elise, yang tadinya tampak tenang, terlihat terkejut mendengar suara ribut dari dalam rumah.
“Ayah, apa yang terjadi?” Elise bertanya, suaranya agak gemetar.
“Jangan keluar dulu!” terdengar suara berat seorang pria. Tubuhnya besar, wajahnya kasar, dan matanya dipenuhi amarah. Dia memegang sebuah pisau besar yang mengkilat, mengarahkannya ke arah Elise. Di belakangnya, seorang pria paruh baya yang terlihat ketakutan sedang mendekat, bersama seorang anak kecil yang tampak bingung.
Reiner bergerak cepat. Tanpa memberi peringatan lebih lanjut, dia langsung melangkah masuk ke dalam rumah, menyaksikan situasi yang jelas-jelas tidak menguntungkan. Sebelum orang itu sempat menyentuh Elise, Reiner sudah ada di sana, menghalangi dan menatap tajam ke arah pria yang memegang pisau.
“Lepaskan dia,” ujar Reiner dengan suara dingin, matanya tajam menatap pria itu.
Pria itu terkejut, tak menyangka ada orang lain yang datang begitu cepat. Ia merenggut pisau itu sedikit, lalu mengarahkannya kepada Reiner. "Kau pikir siapa kau? Jauhkan dirimu!"
Reiner hanya tersenyum dingin, langkahnya sigap. Dengan satu gerakan cepat, ia menangkis pisau itu dengan tangan kosong, membuat pria tersebut kehilangan keseimbangan. Dalam sekejap, Reiner menghantamnya dengan pukulan keras yang membuat pria itu terjatuh ke lantai.
"Pergi!" seru Reiner, suaranya rendah namun penuh kekuatan. “Jangan pernah datang ke sini lagi.”
Pria itu, yang sudah tak mampu melawan, segera melarikan diri ke luar rumah, meninggalkan Elise, ayahnya, dan adiknya yang terpojok dengan ketakutan. Reiner menatapnya sejenak, memastikan bahwa dia tidak akan kembali.
Ketegangan perlahan mereda. Reiner menoleh ke Elise, yang sudah berjongkok di samping ayah dan adiknya, memegang tangan mereka dengan cemas. Reiner bisa melihat betapa tubuh Elise gemetar, tetapi wajahnya penuh rasa terima kasih yang dalam.
Elise menatap Reiner dengan mata yang penuh haru. Namun, tidak ada kata yang terucap darinya. Hanya keheningan yang mengisi udara. Sesaat, Reiner merasakan kegelisahan di hati Elise, meskipun dia mencoba menutupi perasaan itu.
Elise bangkit perlahan dan berjalan ke arah keluarganya. "Kalian baik-baik saja?" tanyanya, suaranya lirih.
Ayah Elise, yang masih memegangi perutnya yang terluka akibat dorongan sebelumnya, mengangguk lemah. "Terima kasih, Nak," ujarnya, wajahnya penuh syukur. Adiknya hanya diam, masih terkejut.
Reiner berdiri diam di tempatnya, memperhatikan mereka. Meski dia tidak menunjukkan ekspresi apapun, ada rasa puas dalam dirinya. Baginya, kejadian ini hanya sebuah kejadian biasa. Namun, dalam benaknya, ada hal yang membuatnya berpikir lebih dalam tentang Elise dan keluarganya.
Elise yang tadinya tampak begitu tegas, kini terlihat lebih rapuh di hadapan keluarganya. Reiner yang merasa sedikit tak nyaman, memutuskan untuk pergi. “Aku akan pergi sekarang,” katanya datar, seperti biasa.
Namun sebelum dia berbalik, Elise berteriak pelan, "Terima kasih, Tuan Reiner."
Reiner menoleh dengan singkat, memberikan senyuman tipis yang lebih seperti ekspresi keingintahuan daripada tanda terima kasih. Dia melangkah keluar dari rumah yang penuh dengan kenangan kelam ini, meninggalkan Elise dengan keluarganya yang kini lebih tenang, meski masih terhimpit rasa cemas.
Sekilas, Elis melihat luka sayatan di lengan Reiner. Sebelum Reiner keluar, Elise buru-buru menyusul.
"Tunggu, Tuan!"
Reiner berhenti. Dia tampak meringis, mungkin menahan rasa perih pada lengannya. "Kenapa lagi?" tanyanya ketus.
"Anda terluka, Tuan. Biarkan saya mengobati."
"Tidak perlu. Kamu urus saja dulu keluargamu di dalam."
Elise terdiam lalu menoleh ke belakang. Dia melihat adik dan ayahnya masih terduduk saling menguatkan di sana. Kemudian, Elise hanya bisa menunduk. "Sekali lagi saya minta maaf, Tuan."
Reiner tidak menanggapi, melainkan masuk ke dalam mobil. Ketika Elise membungkukkan badan, Reiner membuang muka seolah-olah acuh.
****
