Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian 7

Pagi itu, Elise terbangun sebelum fajar.

Bayang-bayang kejadian semalam masih membekas di pikirannya, tetapi tidak ada waktu untuk berlama-lama dalam keresahan. Dengan cekatan, dia mulai membereskan rumah yang berantakan, mengangkat kursi yang terbalik, dan menyapu pecahan kaca yang masih berserakan di lantai. Sesekali, dia menoleh ke kamar ayahnya, memastikan tidak ada suara yang mencurigakan.

Elise memasak sarapan sederhana, dua porsi nasi dan telur dadar. Porsinya harus cukup untuk Lily dan ayahnya. Sambil bekerja, pikirannya terusik oleh perintah Eddie semalam. Mendekati Reiner? Sungguh ide yang tidak masuk akal. Elise menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran itu.

Saat Lily muncul dari kamar dengan rambut yang belum tersisir rapi, Elise tersenyum kecil.

“Ayo cepat cuci muka. Setelah itu, makan dulu sebelum kita berangkat.” Elise menyerahkan sepiring nasi kepada adiknya.

“Kakak sudah makan?” Lily bertanya dengan nada polos, suaranya masih serak karena baru bangun tidur.

Elise hanya mengangguk sambil menyibukkan diri menyapu sudut ruangan yang belum rapi. “Sudah tadi,” jawabnya singkat.

Setelah semuanya siap, Elise menggandeng tangan Lily, menuju pintu depan. Namun sebelum sempat melangkah keluar, Eddie muncul dari ruang tamu.

“Elise,” panggilnya tegas. Elise menghentikan langkah, menoleh dengan ekspresi netral.

“Jangan lupa pikirkan baik-baik usul ayah semalam.” Suaranya dingin, tapi penuh tekanan.

Elise menghela napas. “Aku akan memikirkan apa yang terbaik untuk kita semua,” jawabnya singkat, tanpa menatap langsung ke mata Eddie.

Eddie tampak tidak puas, tetapi dia tidak menahan Elise lebih lama. Dengan cepat, Elise dan Lily melangkah keluar.

Di perjalanan menuju sekolah Lily, suasana terasa sunyi. Elise sibuk dengan pikirannya sendiri, sementara Lily sesekali menendang kerikil kecil di jalan. Gadis kecil itu akhirnya memecah keheningan dengan pertanyaan yang membuat Elise terhenti sejenak.

“Kak, kenapa kakak selalu terlihat lelah?”

Elise tersenyum samar, lalu merunduk sedikit agar sejajar dengan adiknya.

“Kakak tidak lelah, kok. Kakak hanya… banyak yang harus dikerjakan,” jawabnya lembut, mencoba menenangkan hati kecil adiknya.

“Tapi kakak tidak pernah tersenyum,” Lily menambahkan, ekspresi wajahnya serius. “Apa kakak tidak suka tinggal di rumah?”

Elise mengusap kepala Lily dengan lembut, lalu berkata, “Kakak suka selama ada kamu di rumah. Kakak ingin kamu tumbuh bahagia dan sehat. Itu saja sudah cukup buat kakak.”

Jawaban Elise membuat Lily terdiam, tetapi ia tampak puas. Tak lama kemudian, mereka tiba di depan gerbang sekolah. Elise berjongkok, merapikan seragam adiknya, dan memastikan ranselnya terpasang dengan baik.

“Hati-hati di dalam, ya. Jangan lupa makan siang,” pesan Elise sambil tersenyum.

Lily mengangguk, lalu masuk ke sekolah setelah melambaikan tangan. Elise memandangi punggung adiknya hingga menghilang di antara kerumunan anak-anak lainnya.

Setelah mengantar Lily ke sekolah, Elise langsung bergegas menuju hunian keluarga Barack. Rumah besar yang megah itu berdiri kokoh di tengah-tengah hutan pinus, dengan gerbang besi tinggi yang tampak seperti batas dunia lain. Elise menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk.

Setibanya di sana, Elise buru-buru menuju kamar kecil yang telah disediakan untuk para pelayan. Dia membuka pintu lemari kecil yang dipenuhi seragam pelayan dan mengambil satu set pakaian pelayan yang sudah dipilihkan sebelumnya.

Seragam itu cukup sederhana namun memiliki sentuhan elegan yang tak bisa diabaikan. Sebuah gaun hitam dengan rok rempel yang jatuh di atas lutut, dipadukan dengan celemek putih kecil yang melingkar rapi di pinggang. Lengan gaun itu pendek dan dihiasi pita kecil di bagian ujungnya. Sepasang sepatu hitam datar melengkapi penampilan tersebut. Elise memandang pantulan dirinya di cermin. Wajahnya yang lembut dan tubuh mungilnya tampak serasi dengan pakaian itu, meski menurutnya terlalu mencolok untuk tugas harian.

"Sepertinya aku benar-benar terlihat seperti boneka," gumam Elise pelan sambil tersenyum tipis, mencoba mengabaikan perasaan tak nyaman. Ia sempat mainkan bando polos yang melingkar di kepalanya.

Ketika Elise melangkah keluar menuju dapur, suasana langsung berubah. Beberapa pelayan yang tengah sibuk mengatur sarapan untuk penghuni rumah berhenti sejenak, melirik Elise dari atas hingga bawah. Tatapan mereka penuh rasa risih dan kecemburuan, meskipun mereka mencoba menyembunyikannya dengan pura-pura sibuk.

Salah satu pelayan, seorang wanita bernama Clara, berbisik pelan kepada rekannya, Sofia.

"Kenapa seragam itu terlihat begitu berbeda kalau dia yang memakainya?" tanya Clara dengan nada setengah jengkel.

Sofia melirik Elise yang sedang sibuk mengambil nampan, lalu mengangkat bahu. "Mungkin karena dia masih baru. Atau mungkin dia tahu bagaimana cara membuat dirinya terlihat menarik," jawab Sofia dengan nada sinis.

"Apa bagusnya, menurutku biasa saja," potong Greta yang muncul diantara mereka berdua. "Bajunya juga sama dengan kita," lanjutnya.

Elise, yang merasa tatapan mereka menusuk punggungnya, memilih untuk tetap fokus pada tugasnya. Dia membawa nampan berisi minuman ke ruang makan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Namun, di sudut lain ruangan, seorang pria muda sedang mengamati kejadian itu dengan ekspresi datar. Reiner, yang baru saja turun dari tangga, diam-diam memperhatikan bagaimana Elise bergerak. Tidak ada senyum atau sapaan dari bibirnya, hanya sorot mata tajam yang mengikuti setiap langkah Elise.

"Dia benar-benar berbeda," pikir Reiner sambil menyandarkan tubuhnya di dinding, tak menyadari bahwa dia sudah menghabiskan beberapa menit hanya untuk mengawasi gadis itu.

---

Elise membawa nampannya menuju ruangan Tuan Abraham. Langkah kakinya hati-hati, seraya memastikan gelas dan piring di atas nampan tidak bergoyang terlalu keras. Saat dia mencapai pintu yang megah dengan ukiran kayu khas kolonial, tangannya yang hendak mengetuk terhenti mendadak. Suara langkah kaki yang berat terdengar dari arah belakangnya.

"Menarik sekali..."

Suara itu rendah, dingin, dan membuat bulu kuduk Elise meremang.

"Tu-Tuan Reiner?" Elise menelan ludah, berusaha mengontrol keterkejutannya. Matanya bertemu dengan tatapan tajam pria itu, penuh evaluasi dan sedikit... meremehkan.

Reiner berdiri dengan santai, bahunya yang lebar sedikit miring saat dia menyunggingkan senyum penuh arti. "Huh, sialnya kamu cuma seorang pelayan," katanya lirih, hampir seperti bergumam.

"A-apa?" Elise tertegun. Meski ucapannya lirih, kata-kata itu menggema jelas di telinganya.

Reiner tidak menjawab. Dia hanya memutar tubuhnya, berbalik, dan melangkah menjauh. Bahunya tegap, gerakannya penuh percaya diri, meninggalkan Elise dengan rasa panas di pipi dan dada.

Jari-jarinya mencengkeram tepian nampan, gemetar antara marah dan menahan diri. Hanya seorang pelayan? Rahangnya mengeras, tapi dia tahu, membalas hanya akan berakhir dengan masalah besar. Dengan desahan panjang, dia kembali fokus pada tugasnya.

"Selamat pagi, Tuan Abraham." Elise akhirnya melangkah masuk ke ruangan majikannya.

Ruangan itu langsung membungkusnya dengan aroma kayu mahoni dan kulit tua dari kursi-kursi mewah yang berjajar rapi. Dindingnya dipenuhi rak buku yang menjulang, penuh dengan koleksi yang tampak antik dan mahal. Sebuah meja besar di tengah ruangan dihiasi lampu meja berbahan kuningan. Elise menelan rasa kagumnya, mencoba untuk tidak terlihat terlalu terpesona.

"Saya bawakan sarapan untuk Anda, Tuan," katanya dengan nada lembut.

"Taruh saja di meja," jawab Abraham tanpa menoleh. Lelaki tua itu sedang duduk di kursi goyang, bersandar santai dengan koran yang terbuka di pangkuannya.

Elise menuruti perintah itu, meletakkan nampan di atas meja dengan hati-hati. Namun sebelum dia bisa berpaling, suara Abraham menghentikannya.

"Kamu sudah sarapan, Elise?" tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih personal.

Elise tersenyum kikuk. "Sudah, Tuan. Saya sarapan di rumah bersama adik saya."

"Bagus. Kemarilah."

Abraham melipat koran, menyingkirkan kacamatanya ke meja kecil di sebelahnya. Tatapannya yang tajam namun bijak membuat Elise merasa was-was.

"Ada apa, Tuan? Apa ada yang lain?" tanyanya dengan sopan, mendekat sambil meremas ujung celemeknya.

"Aku mempekerjakanmu di sini untuk melayaniku," ucap Abraham pelan, namun nadanya penuh otoritas.

Elise mengangguk, memperhatikan setiap kata dengan hati-hati.

"Aku juga ingin kamu membantu Reiner."

Jantung Elise terasa berhenti berdetak sejenak. "Ma-maksud Tuan bagaimana? Maaf... saya kurang paham," tanyanya dengan suara nyaris bergetar.

Abraham mendesah, seolah merasa tak perlu menjelaskan lebih banyak. "Reiner punya banyak kebutuhan yang mungkin tidak akan dia ungkapkan padaku. Aku butuh seseorang yang bisa memastikan semuanya berjalan lancar. Kamu akan bertugas memastikan dia terurus dengan baik. Will akan memberimu arahan lebih lanjut."

Elise menelan ludah, hatinya bercampur aduk antara kebingungan dan kekhawatiran. "Baik, Tuan," jawabnya singkat, meski sebenarnya masih ada seribu pertanyaan di benaknya.

"Bagus." Abraham tersenyum kecil, tapi sorot matanya tetap serius.

Elise menunduk hormat, lalu keluar dari ruangan dengan langkah yang sedikit berat. Di luar, udara terasa lebih dingin, atau mungkin itu hanya perasaannya. Pikiran tentang Reiner dan ucapannya tadi masih menggantung di kepalanya.

"Kenapa aku harus mengurus pria itu? Bakankah sebelumnya sudah ada pelayan yang mengurusnya?" gumamnya pelan. Namun, dia tahu satu hal: menolak perintah Tuan Abraham bukanlah pilihan.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel