Bagian 4
Sore itu, dapur rumah keluarga Barack dipenuhi aroma herbal yang baru saja diseduh. Elise sibuk membawa nampan berisi secangkir teh herbal untuk Tuan Abraham. Penampilannya sederhana, tapi menarik perhatian. Dengan tinggi badan 160 cm, tubuh mungilnya tampak anggun. Rambut hitam sebahunya selalu tertata rapi, meski wajahnya jarang dihiasi riasan. Sorot matanya lembut, menyiratkan kepribadian yang sabar, walau dalam hatinya sering tersimpan rasa gelisah.
Elise, meskipun hanya pelayan, membawa aura yang berbeda. Ia terlihat tenang, tapi ada jejak kekuatan dari masa lalunya yang sulit—masa kecil di rumah yang penuh dengan pertengkaran, membuatnya belajar untuk menahan diri dan menghadapi segala situasi dengan kepala dingin.
Salah seorang pelayan senior, Greta, berbisik pada rekannya sambil melirik Elise yang baru melewati mereka.
“Lihat dia, baru beberapa hari di sini sudah begitu percaya diri melayani Tuan Abraham. Biasanya, pelayan lain lari dalam seminggu,” katanya sinis.
“Entahlah,” jawab pelayan lain, “Mungkin hanya akting. Kita lihat saja berapa lama dia bertahan.”
Namun, Elise tidak menggubris komentar itu. Dia tahu, menjadi pelayan di rumah keluarga Barack adalah kesempatan yang tidak semua orang dapatkan, gaji yang diatas rata-rata, semua orang tentu berlomba-lomba untuk bisa masuk ke rumah ini.
Ketika tiba di ruang keluarga, Tuan Abraham sudah duduk di kursi rodanya, ditemani setumpuk koran pagi. Pria itu menegakkan punggungnya, meski kulit keriputnya menunjukkan usianya yang sudah mendekati sembilan puluh tahun.
“Teh Anda, Tuan,” Elise berkata lembut, meletakkan cangkir di meja kecil di sebelah pria itu.
Tuan Abraham mendongak, menatap Elise dengan tajam selama beberapa detik, sebelum senyumnya tiba-tiba muncul, mengejutkan siapa pun yang melihatnya.
“Ah, Elise,” katanya, suaranya lebih hangat dari biasanya. “Kau tahu bagaimana caranya membuat teh ini tepat seperti yang aku mau. Tidak terlalu pahit, tidak terlalu manis.”
Elise tersenyum kecil, mencoba menutupi rasa gugupnya. “Terima kasih, Tuan. Saya hanya mengikuti petunjuk Anda.”
Pria tua itu tertawa kecil. “Kau terlalu rendah hati. Kau tahu, selama bertahun-tahun, tidak ada pelayan yang berhasil membuat teh seperti ini.” Ia mengangkat cangkirnya, mencicipi teh itu dengan penuh penghargaan.
Elise tidak tahu harus menjawab apa. Sementara itu, Greta, yang kebetulan melewati pintu ruang makan, berhenti di tempat. Matanya membulat. Tuan Abraham, pria yang terkenal galak bahkan pada keluarganya sendiri, justru bersikap ramah pada Elise.
“Dia pasti sedang tidak enak badan,” gumam Greta dengan nada iri.
Kembali ke ruang keluarga, Elise memberanikan diri bertanya, “Apakah ada yang bisa saya bantu lagi, Tuan Abraham?”
Pria tua itu menggeleng, masih tersenyum. “Hanya ini. Tapi duduklah sebentar, temani aku membaca. Kau punya suara yang tenang, bagus untuk membaca berita politik hari ini.”
Elise terkejut mendengar permintaan itu, tapi ia segera menurut. Dengan hati-hati, ia mengambil salah satu koran dan mulai membacakannya. Suaranya lembut, dan Tuan Abraham mendengarkan dengan tenang, sesekali mengangguk atau mengajukan komentar singkat.
Dari kejauhan, Reiner berdiri di balik pintu, mengamati interaksi itu. Ia hampir tidak percaya melihat kakeknya bersikap selembut ini pada seseorang. Biasanya, kakeknya mengusir pelayan baru dalam waktu seminggu, tapi Elise tampaknya adalah pengecualian.
“Apa yang spesial dari dia?” gumam Reiner pelan, matanya terus mengawasi Elise. Ada sesuatu tentang gadis itu yang membuatnya penasaran, meski egonya menolak untuk mengakui perasaan itu.
----
Ruangan keluarga sudah mulai sepi ketika Abraham memberi isyarat kepada Elise untuk mendekat. Dengan langkah ragu, Elise berjalan menghampiri pria tua itu. Di sisi lain ruangan, Reiner sedang duduk di sofa, menyesap segelas anggur dengan santai, tapi tatapannya terus mengamati kejadian tersebut.
“Elise,” suara Abraham terdengar lembut tapi tegas, “sudah malam. Tidak aman bagimu pulang sendiri. Reiner akan mengantarmu.”
Reiner segera meletakkan gelasnya dengan suara keras yang disengaja, menatap kakeknya dengan sorot keberatan. “Kakek, aku yakin dia bisa pulang sendiri. Biarkan dia memanggil taksi atau penjaga rumah bisa mengantarnya. Aku tidak ada waktu untuk itu.”
Abraham hanya melirik sekilas ke arah Reiner, senyum kecil di wajahnya yang seakan berkata kau tak punya pilihan, Nak. “Aku tidak peduli bagaimana caramu menghabiskan waktu, Reiner. Kau akan mengantarnya.”
Elise, yang merasa menjadi beban, langsung angkat bicara. “Tuan Abraham, terima kasih atas perhatiannya, tapi saya bisa pulang sendiri. Tidak perlu merepotkan Tuan Reiner.”
“Tidak ada debat, Elise,” potong Abraham, suaranya tak menyisakan ruang untuk penolakan. “Aku tidak ingin ada masalah terjadi padamu. Reiner akan memastikan kau pulang dengan selamat.”
Sadar bahwa membantah hanya akan memperburuk situasi, baik Elise maupun Reiner akhirnya menyerah.
Suasana di dalam mobil terasa mencekam, terutama dengan keheningan yang pekat. Reiner memegang kemudi dengan sikap santai tapi tegang, sesekali melirik Elise melalui kaca spion. Elise duduk dengan tangan di pangkuan, pandangannya tertuju pada pemandangan kota yang samar di luar jendela.
Setelah beberapa menit berlalu, Reiner akhirnya membuka suara. “Jadi...,” ia mulai dengan nada datar, “Bagaimana kau bisa bekerja di pesta waktu itu? Tidak mudah, aku tahu. Para pelayan di sana tidak hanya harus melayani makanan. Beberapa bahkan diminta melakukan hal-hal... lain.”
Nada sinis dalam suaranya tidak terlewatkan oleh Elise. Dia menoleh perlahan ke arah Reiner, matanya menatap pria itu dengan tenang. “Apa maksud Tuan Reiner?” tanyanya tanpa emosi.
Reiner mengangkat bahu, tak menoleh dari jalan. “Kau tahu maksudku. Pekerjaan seperti itu bukan untuk wanita baik-baik. Aku paham betul orang-orang di sana.”
Elise tersenyum kecil, bukan karena terhibur, tapi karena terbiasa dengan prasangka semacam itu. “Tuan Reiner, saya hanya bekerja untuk menghasilkan uang. Apa yang orang lain pikirkan atau lakukan, bukan urusan saya. Saya di sana untuk bekerja, bukan untuk menilai atau dinilai.”
Jawaban itu membuat Reiner terdiam. Ia tak menyangka Elise akan menanggapinya dengan tenang tanpa sedikit pun terguncang oleh ucapannya. Alih-alih merasa puas, ia justru merasa sedikit... gelisah.
“Elise,” katanya akhirnya, suaranya lebih pelan, “Kau tidak menjawab pertanyaanku. Bagaimana kau bisa bekerja di sana?”
Elise menatap ke luar jendela lagi, seolah tidak mau melanjutkan pembicaraan. Tapi setelah beberapa detik, dia menjawab dengan nada datar. “Seseorang merekomendasikan saya. Saya butuh uang, dan pekerjaan itu membayar dengan baik.”
Reiner mendengus pelan, setengah mengejek. “Jadi kau benar-benar hanya mengandalkan keberuntungan. Ah... atau memang uang bisa membelimu.”
Elise tersenyum tipis, menahan rasa tak enak mendengar sindiran itu.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Elise membuka pintu dan keluar dengan gerakan anggun, lalu menoleh ke arah Reiner. “Terima kasih sudah mengantar, Tuan Reiner. Selamat malam.”
Reiner hanya mengangguk kecil, tapi matanya masih mengikuti Elise yang berjalan masuk ke rumahnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa penasaran. Wanita itu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Dan untuk alasan yang tak ia pahami, hal itu mengganggunya.
Sebelum mobil melaju, suara benda keras seperti terjatuh dari ketinggian. Reiner melihat Elise masuk ke dalam rumah dengan cepat seperti terjadi sesuatu.
----
