Bagian 3
Pukul sepuluh pagi, dapur di rumah besar keluarga Barack terasa sepi dan hening. Hanya ada suara langit-langit yang berderak pelan saat angin dari luar menyentuhnya. Reiner duduk di meja kayu panjang, memegang gelas berisi air, namun matanya jauh lebih tertarik pada ketenangan sekelilingnya.
Dia baru saja meninggalkan ruang makan setelah percakapan yang menegangkan dengan ibunya. Rasa kesal masih tertinggal di bibirnya, namun dia tidak peduli. Semua itu akan berlalu, seperti semuanya yang pernah terjadi di hidupnya. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian.
Ketika Elise melangkah masuk dengan perlahan, pada kaki pelayan itu terselip aroma yang berbeda—sesuatu yang sederhana, namun kuat. Tidak ada keramahtamahan yang disampaikan melalui kata-kata, hanya seutas sapaan singkat yang penuh kehati-hatian. Reiner merasakan kehadirannya lebih dulu daripada mendengar langkahnya.
Elise berjalan dengan perlahan, tubuhnya cenderung menyamping agar tidak mengganggu perhatiannya. Reiner tahu bahwa dia tidak akan pernah berbicara duluan, dan Elise, seperti biasanya, tidak memaksakan diri untuk berbicara. Tidak ada rasa terpaksa dalam gerakannya.
"Permisi, Tuan Reiner," kata Elise dengan suara lembut, meskipun matanya tidak bersentuhan langsung dengan matanya.
Reiner hanya mengangguk pelan, sedikit menyandarkan punggung ke kursi, matanya tetap tertuju pada gerak-geriknya. Tidak ada reaksi apapun dari dirinya—hanya sebuah pandangan tajam yang terus mengamati setiap detail kecil pada Elise. Setiap gerakan, setiap langkah.
Elise berjalan menuju rak bahan herbal, mencari bahan untuk membuatkan minuman kesehatan untuk Tuan Abraham. Namun, sepertinya Reiner tidak pernah benar-benar memalingkan wajahnya dari wanita itu. Ada ketertarikan, namun dibalut dengan skeptisisme yang tajam. Baginya, ini bukan sekadar pertemuan kebetulan.
Reiner berpikir, "Berapa banyak orang seperti dia yang akan menghabiskan hidup mereka di rumah mewah ini? Sementara sebagian besar pelayan hanya bertahan beberapa hari sebelum menyerah, dia... dia pasti punya cara untuk membuat kakekku tertarik padanya."
Dengan santai, dia menyandarkan gelas ke meja. "Di mana kakek menemukanmu?" Suaranya datar, namun jelas, seolah-olah hanya ingin memastikan.
Elise berhenti sejenak, lalu menoleh. Dia tahu betul apa yang Reiner maksud. Namun, dia memilih untuk diam, meski wajahnya sedikit memucat. Pekerjaan sebagai pelayan di keluarga Barack memang bukanlah hal yang biasa, dan tahu betul bahwa banyak yang menganggap ini sebagai kesempatan emas. Tetapi Elise tidak peduli tentang pendapat Reiner.
“Tuan Abraham yang datang menemuiku,” jawab Elise kemudian.
Elise hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya ada kebencian yang terpendam. Reiner hanya seorang pria muda yang tak tahu apa yang dialaminya, dia pikir dia tahu segalanya.
“Semoga saja kamu bisa tahan dengan sikap kakekku. Kebanyakan hanya cukup satu atau dua malam saja.”
"Beberapa hari, beberapa minggu—siapa yang tahu," jawab Elise, suaranya tetap tenang. "Tapi saya pasti akan menyelesaikan tugas saya."
Reiner tersenyum tipis, tapi tidak berkata apa-apa. Matanya yang tajam memandang ke arah Elise dengan cara yang tidak langsung—seperti predator yang menunggu mangsanya bergerak.
Reiner masih duduk di meja kayu panjang, menyusuri setiap sudut dapur dengan matanya yang tajam. Ketika Elise kembali bergerak, langkahnya berhenti sejenak saat mendengar suara lembut dari Reiner.
"Oh, aku hampir lupa," kata Reiner, suaranya datar namun penuh penekanan. "Terima kasih sudah membantu aku bersembunyi di pesta kemarin malam."
Elise terdiam beberapa detik. Kata-kata itu terdengar begitu ringan dan tak berharga, namun tiba-tiba semuanya terasa seperti beban di bahunya. Dia ingat ketika harus berhadapan dengan dua orang yang mencari keberadaan Reiner malam itu. Beruntung mereka tidak mencurigai Elise.
Tanpa sempat berbalik untuk menatapnya, dia hanya mengangguk pelan, lalu melanjutkan langkahnya. Tetapi sebelum ia pergi, kata-kata Reiner kembali terngiang di telinganya, suara dingin dan tanpa perasaan itu membuat hatinya mendidih.
"Tidak perlu merasa terlalu bangga," lanjut Reiner, dengan nada yang semakin dingin, "Karena itu hanya sedikit bantuan."
Elise merasa bibirnya tercekat. Ada yang salah dengan cara Reiner mengucapkan terima kasih itu—seperti sesuatu yang diucapkan hanya sekadar formalitas, bukan karena benar-benar merasa berterima kasih. Tapi dia tidak menanggapi.
Namun, tiba-tiba Reiner melanjutkan kalimat yang lebih mengejutkan.
"Terima kasih," kata Reiner lagi, dengan suara yang lebih tegas kali ini, meskipun tetap dengan ekspresi yang tak berubah. "Tapi aku rasa itu lebih karena kamu ingin membantu dirimu sendiri, bukan karena benar-benar ingin menolongku."
Elise berhenti sejenak. Jantungnya berdebar keras mendengar kalimat tersebut. Apa yang dia maksud dengan itu? Tapi, dia tidak membalas. Hanya tersenyum tipis dalam hati dan melanjutkan langkahnya menuju rak bahan herbal.
Reiner memandang Elise dengan tatapan yang lebih tajam, seolah-olah menilai setiap gerakan tubuhnya. Ada yang tidak beres, pikirnya. Ada sesuatu di balik ketenangan Elise yang membuatnya terus merasa penasaran. Tapi, dia memilih untuk tetap diam, tidak melanjutkan percakapan lebih jauh.
Pandangannya kembali tajam. Sejak kapan dia peduli dengan wanita sepertinya? Namun ada sesuatu yang menyentuhnya secara tidak sadar. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak, meski dia tidak ingin mengakuinya.
Ketika Elise kembali ke rak untuk mengambil lebih banyak bahan, Reiner bisa merasakan perasaan yang bergolak di dalam dirinya. Ada rasa ketertarikan, namun lebih dari itu, ada rasa penasaran yang menyelubungi pikirannya. Apa yang membuat Elise berbeda? Mengapa dia bertahan begitu lama, sementara yang lain tidak bisa?
Elise berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang. Reiner tetap duduk di sana, memandangi wajah Elise yang menghilang ke lorong. Entah kenapa, dia merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang berkembang, sesuatu yang tidak dia mengerti sepenuhnya.
***
