Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Tamu Baik Hati

Bab 9 Tamu Baik Hati

Pagi-pagi sekali, nenek Isvira sudah membangunkan cucu sulungnya untuk bisa menemaninya ke pasar. Hari Minggu pagi sehingga Vira tidak ke sekolah. Gadis itu gembira karena ia pasti akan dibelikan jajanan sehat dari tepung kalau berbelanja bersama neneknya.

Mereka sudah selesai berpakaian dan Vira menanti di teras. Neneknya masih di kamar dan sedang mencari dompetnya. Suaminya masih berbaring di tempat tidur. Semalam ia pulang sangat larut sehingga mustahil ia bisa terjaga lebih awal.

Nenek sudah menemukan dompetnya di antara tumpukan baju. Benda berwarna coklat itu terselip di bawah lipatan beberapa bajunya. Tempat yang tidak biasa. Ia tidak tahu mengapa bisa berpindah seperti itu. Begitu ia membuka dompetnya, wajahnya pucat. Ia melirik suaminya yang masih tidur seperti bayi.

‘Mengapa uangnya tersisa hanya lima lembar seratus ribu? Aku kemarin sudah menarik semua uang kiriman dari Dira. Ada dua puluh lima lembar semuanya. Mengapa ini tersisa hanya beberapa lembar saja? Tidak mungkin papa yang mengambil uang-uang ini. Dari dulu papa tidak pernah melakukan hal-hal seperti itu. Kalau pun papa butuh, pasti langsung minta padaku,’ pikirnya masih mengira suaminya tak bersalah.

Ia kembali termenung sambil berdiri dan menatap wajah suaminya.

‘Isvira, Lexi dan Wilson tidak punya alasan untuk membongkar lemariku untuk mencuri dompetku. Kalau sampai mereka lakukan, akan segera ketahuan karena mereka akan menjadi milioner baru yang berbelanja tanpa henti. Perubahan perilaku itu pasti akan langsung ketahuan. Lalu, apakah benar papa yang mengambilnya? Untuk apa? Bagaimana aku bisa mengatur uang ini untuk dua puluh hari yang tersisa? Tuhan, cobaan apa lagi ini?’ batin ibunya Dira.

Tangannya sudah berkeringat karena gugup dan bingung. Ia tidak menyangka kalau suaminya bisa mencuri semua uang bulanan untuk kebutuhan mereka. Ia juga tidak berani bertanya padanya. Untuk apa mengambil uang sebanyak itu. Tidak mungkin salah satu dari ketiga cucunya yang mencuri uangnya. Mereka tidak mungkin melakukan itu.

Semakin ia pikirkan, tersangka utama semakin jelas yaitu suaminya. Sejak ia dipecat, ia selalu pulang larut malam. Tidak ada bau alkohol, tetapi kalau bau tembakau sangat tajam. Ia tidak tahu apa yang dilakukan oleh suaminya selama di luar rumah. Suaminya juga mulai sangat kasar kalau berbicara. Sehingga, ia lebih banyak diam dan tidak ingin cucu-cucunya melihat pertengkaran mereka.

Masih banyak kebutuhan bulanan yang harus dilengkapi. Belum lagi nanti permintaan kebutuhan sekolah dari ketiga orang cucunya. Neneknya Dira menjadi pusing. Uang yang dikirim oleh Dira tidak lagi cukup untuk kebutuhan mereka. Tidak mungkin ia memberitahu Dira akan hal memalukan ini. Ayah kandungnya merampok hasil jerih payah putrinya. Bukan soal nilai uang yang diambil tanpa ijin. Tetapi tentang niat kotor yang menjadi motivasi saat mengambil uang milik anak-anak Dira tersebut.

Sementara neneknya Vira itu sedang bingung. Apa yang terjadi sebenarnya adalah dalam belasan jam sebelumnya.

Benar bahwa kakek dari Vira yang mengambil hampir semua uang dalam dompet istrinya. Tanpa sepengetahuan istri dan cucunya, suaminya sudah terlibat dalam perkumpulan judi kartu. Untuk mengisi waktu luangnya, ia bertemu dengan teman lamanya yang membawanya ke komunitas yang hobi bermain kartu.

Judi lalu diperkenalkan begitu kakeknya Vira mulai betah bermain, tertarik dan paham aturan mainnya. Karena ketagihan, pria itu mulai membuat taruhan lebih besar. Beberapa malam sebelumnya ia kalah dan ia sangat kesal. Ia ingin membalas dendam tetapi modalnya sudah habis. Tadi malam, sebelum ia meninggalkan rumah, iseng-iseng berhadiah ia membongkar dompet istrinya. Matanya berubah hijau melihat lembaran uang yang ada di sana. Tanpa pikir panjang, uang itu diambil oleh kakeknya Vira.

Itulah peristiwa yang sesungguhnya. Semuanya dilakukan oleh kakeknya Vira dengan rapi. Kesalahannya karena ia lupa letak awal dompet istrinya sehingga ia kembalikan asal saja. Dengan hati masygul, nenek keluar dari kamar untuk mengajak Vira berangkat. Mereka tidak banyak berbelanja makanan seperti bulan sebelumnya karena neneknya sedang berpikir keras untuk menyisihkan uang demi kebutuhan sekolah Vira dan adik-adiknya. Mereka berdua membeli bahan mentah yang bisa bertahan lama dan kalau dimasak bisa mengenyangkan. Neneknya Vira sudah yakin kalau mereka akan kekurangan gizi bulan ini karena uang belanjanya akan diutamakan untuk membeli beras dan minyak tanah.

Masalah soal uang yang hilang disembunyikan rapat-rapat oleh neneknya Vira. Ia berharap suaminya mengakui perbuatan kejinya, tapi penantiannya sia-sia. Ia juga tidak ingin Dira sampai tahu apa yang terjadi. Jadi, neneknya Vira selalu konsentrasi penuh saat berbicara dengan putrinya, agar tidak keceplosan bercerita.

Dua hari setelah kejadian uang raib tanpa alasan itu berlalu, kakeknya Vira suatu siang membawa temannya ke rumah.

“Ma, perkenalkan ini tuan Arjuna. Pengusaha muda teman aku main kartu.”

‘Oh, jadi selama ini kesibukan papa bermain kartu,’ batin neneknya Vira sambil tersenyum membalas jabatan tangan dari tamunya.

Pada saat itu, Isvira sudah duduk di bangku pendidikan Sekolah Dasar kelas 5. Walaupun usia Vira masih kanak-kanak, ada dalam tahapan pertumbuhan menuju remaja, tapi postur tubuhnya seperti gadis dewasa. Dia cantik, manis, pertumbuhannya juga sangat cepat. Isvira juga kini sudah semakin pintar, bisa memasak, mencuci pakaian, dan membantu pekerjaan-pekerjaan kecil neneknya jadi neneknya tidak terlalu kewalahan lagi. Isvira juga sudah bisa untuk melayani ketika ada tamu yang datang ke rumah mereka. Seperti siang ini, Isvira membawa minuman untuk kakek dan tamunya dengan Lexi menyusul di belakangnya dengan sepiring penganan lokal. Pria bujang itu menatap Dira dari ujung kaki sampai ujung rambutnya. Ia tersenyum lebar saat Vira menatapnya dan mempersilakan mereka minum.

Setelah Vira dan Lexi menghilang ke belakang, Arjuna berbisik pada empunya rumah, “Siapa gadis tadi?”

“Cucu pertamaku. Ibunya sedang bekerja sebagai TKW. Namanya Isvira. Biasanya disapa Vira. Kami merawat Vira dan dua orang adik laki-lakinya.”

“Umur berapa tahun?”

“Baru menjelang sebelas tahun,” balas kakeknya Vira tak acuh.

“Wow, aku pikir dia sudah SMA.”

“Memangnya kenapa?”

“Aku punya rencana. Tapi, kita bicarakan nanti saja. Sekarang aku mau mencoba ubi rebus ini dulu. Tampilannya sangat lezat.”

Kakeknya Vira tidak paham apa yang ada dalam kepala Arjuna. Ia mengajak pria itu mampir karena ia mau mencari kesempatan untuk mengambil uang istrinya lagi sebelum mereka lanjutkan perjalanan ke tempat bermain kartu. Mumpung lewat. Tapi karena belum mendapatkan peluang, mereka akhirnya masih duduk di teras.

Sementara Arjuna sendiri sudah seperti orang yang sedang jatuh cinta. Entah seperti apa yang ia rasakan, semuanya tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Pria itu tertarik pada penampilan Isvira. Ada kesan lugu, dewasa dan liar di saat yang bersamaan saat mata mereka tanpa sengaja berpaut.

Semenjak siang itu, Arjuna selalu rajin datang ke rumah Isvira. Setiap kali pria itu datang, selalu saja membawakan nasi untuk Isvira, kakek, nenek, dan juga kedua orang adik Isvira. Hal itu tidak pernah luput dalam setiap kunjungannya. Kakek dan neneknya Vira hanya bisa berterima kasih kepada pria itu.

Terlebih lagi neneknya Vira, karena kehadirannya seperti malaikat penolong. Dengan adanya pria itu selalu berkunjung beserta bawaan berbagai makanan, secara tidak sadar sudah membantu mengurangi satu kebutuhan keluarga mereka. Tentunya mereka sangat senang dengan kehadiran pria baik hati tersebut. Isvira juga senang karena ada pria lembut yang selalu memujinya dan memberikan ia hadiah. Nenek dan para cucu tidak tahu niat di balik dari semua kelakuan bersahaja dari Arjuna.

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel