Bab 8 Kerinduan Dira
Bab 8 Kerinduan Dira
“Akhirnya selesai juga,” ujar Dira lirih sambil mengelap tangannya dengan tisu kertas yang menjuntai di lemari pantri.
Ia membuka celemek plastiknya dan menyampirkan kembali pada tempatnya. Belum lama ia pakai, jadi masih bisa digunakan kembali.
Ia baru selesai merapikan dapur setelah keluarga majikannya selesai makan malam. Waktu bebas dan istirahat baginya sekarang. Kalau majikannya ada di rumah, maka sebelum pukul sepuluh ia sudah bisa mendekam di kamarnya. Ia sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Ia ingin mengobati rasa rindunya pada anak-anaknya.
Di saat yang sama di kediaman orang tua Dira. Waktu di kampung menunjukkan pukul setengah sembilan.
Isvira dan adik-adiknya sedang berada di ruang televisi. Tetiba, ponsel nenek mereka berdering. Si empunya barang sedang berada di dapur. Isvira segera menghampiri benda pipih itu untuk melihat siapa yang menelepon. Vira membaca nama ibunya di layar ponsel neneknya. Dering dari gawai itu masih tidak berhenti.
“Tolong diangkat Vira! Siapa yang menelpon? Bilang saja kalau nenek sibuk.”
“Ibu yang menelepon Nek, Vira tidak mau menjawab telepon dari ibu,” bantah Isvira mengabaikan perkataan neneknya. Untuk hal yang satu ini, neneknya tidak pernah memarahi cucunya. Ia membiarkan ketiga cucunya memahami kepergian putrinya dengan cara mereka sendiri. Dia hanya terus memberikan alasan positif atas semua tindakan dan keputusan putrinya. Ia tidak ingin ketiga cucunya membenci ibu kandung mereka sendiri.
Mendengar perkataan Isvira, Ibu dari Dira segera menghentikan aktivitasnya dan langsung menghampiri cucu sulungnya yang sedang memegang ponsel itu, dengan mata tetap terpatri di layar TV. Perempuan paruh baya itu langsung mengambil dan menekan tombol hijau untuk berbicara dengan putrinya.
“Malam Ibu, apakah semua sehat?” ucap Dira menyapa gendang telinga tuanya.
“Untunglah kamu sudah menelepon. Kami semua sehat di sini. Dua minggu lalu, Wilson sempat demam tetapi sudah pulih. Dia semakin pintar sekarang. Kamu apa kabar?”
“Dira sehat. Dira sangat rindu pada ayah, Ibu dan anak-anak. Dira kangen sekali pada Isvira, Lexi dan Wilson. Terima kasih sudah merawat Wilson, Bu.”
“Iya Dira, ayah, ibu dan juga anak-anakmu sehat di sini. Sudah biasa, anak-anak perlu sakit sebagai bagian dari pertumbuhan mereka. Kamu fokus saja pada pekerjaanmu. Jangan terlalu memikirkan kami. Terpenting dari semuanya, kamu ingat kewajiban kamu,” respon ibu Dira.
“Pasti, Bu! Dira ingin berbicara dengan anak-anak. Dira rindu mendengar suara mereka,” pinta Dira.
“Sebentar!”
Kebetulan, setiap berbicara dengan Dira pasti nenek Vira menggunakan pengeras suara. Wanita paruh baya itu tidak betah memegang ponselnya apalagi mendekatkan ke telinga. Alasan lainnya karena, nenek ingin semua cucunya bisa mendengar suara putrinya. Betapa ibu mereka ingin menunjukkan kasih sayangnya dengan semua jerih lelahnya. Nenek berusaha membujuk si sulung dan adik-adiknya untuk berbicara dengan ibu mereka. Sejak awal Isvira sama sekali tidak mau berbicara dengan ibunya.
“Isvira, bawa adik-adik untuk berbicara dengan ibu,” teriak ibunda Dira.
“Tidak mau. Lagi seru!” balas Lexi dan diikuti suara kecil yang meniru semua perkataan kakaknya. Siapa lagi kalau bukan Wilson yang selalu mengagungkan Lexi. Apa pun yang dilakukan Lexi pastilah diikuti oleh si bungsu. Lexi dan Wilson memiliki kemiripan dalam bertingkah laku, sehingga orang-orang menjuluki mereka kembar beda usia. Wilson, anak Dira yang terakhir sama sekali tidak mengenal siapa Dira yang dimaksudkan. Ia sudah melupakan sosok Dira karena ditinggal saat usia Wilson baru satu tahun.
“Vir, ayolah berbicara dengan ibu sekarang. Ibu kalian sangat merindukan kalian. Ia pergi meninggalkan kalian untuk bisa kerja dan mendapat uang. Dari situlah, ia bisa kirim untuk kita beli makan dan minum. Juga untuk memenuhi kebutuhan sekolah kamu dan adik-adik. Tanpa kiriman uang darinya, nenek tidak bisa bayar listrik. Kalau tidak ada listrik, kalian tidak bisa nonton TV. Apa kamu tidak bisa menghargai dia sedikit saja? Ibumu hanya ingin mendengar suara kalian, agar bisa mengobati rasa rindunya. Juga sebagai penyemangat untuk ia bisa terus bekerja.”
Penjelasan panjang lebar dari neneknya membuat Isvira diam sejenak. Ia tidak tega menyakiti neneknya sehingga Isvira dengan terpaksa mendekati wanita renta itu dan langsung berbicara dengan ibunya.
Sementara di seberang, di kamarnya airmata Dira meleleh. Ada rasa haru ketika ia menyimak semua perkataan ibunya. Ibunya pasti lelah menjelaskan tentang kepergiannya. Ia juga bisa mendengar kedua putranya sedang asyik sendiri dan tidak ingin berbicara dengannya. Tapi di atas segalanya, Dira sangat senang begitu anaknya Isvira mau berbicara dengannya.
Dalam percakapan mereka, Dira meminta Isvira agar selalu patuh dan jadi anak yang dengar-dengaran pada kakek dan neneknya. Juga agar bisa menjadi kakak yang baik untuk kedua adiknya. Isvira hanya menuruti semua perkataan ibunya dengan satu jawaban yaitu ‘iya’. Dira sama sekali tidak tahu kalau Isvira sudah punya pikiran sendiri yang tidak bisa digoyahkan oleh siapa pun. Tetapi, di ujung percakapan ibu dan anak itu, Isvira sempat memberikan kalimat dukungan ke ibunya. Ia berjanji untuk selalu mendoakan ibunya. Ia ingin ibunya tetap semangat dalam bekerja dan sehat selalu di luar negeri.
Setelah selesai berbincang dengan putrinya, Dira melanjutkan pembicaraan dengan ibunya. Tapi suaranya masih bergetar karena airmatanya tidak terbendung lagi, mendengar semua perkataan Vira barusan. Biar pun Dira sangat sedih karena dua orang anak laki-lakinya Lexi dan Wilson tidak mau bicara dengannya, tapi pesan dari Vira menghapus semua kesedihan yang ada. Bagi Dira yang terpenting, akhirnya salah satu anaknya sudah mau bicara dengannya, setelah sekian lama mereka bungkam.
“Tidak apa-apa, semakin hari mereka akan bertambah besar. Suatu hari nanti mereka akan mengerti. Vira memang sudah semakin dewasa. Ia tumbuh menjadi gadis yang cantik dan dewasa seperti kamu seusianya,” ucap ibunya dari seberang, membuat Dira menghentikan isakannya.
Setelah bisa menguasai diri lagi, Dira memberitahukan kalau sehari sebelumnya, ia sudah mengirimkan uang ke rekening atas nama ibunya. Dira juga sudah mengurus kartu ATM untuk ibunya sebelum ia berangkat. Semuanya demi mempermudah pengambilan uang bulanan kiriman dari Dira.
“Dira, ibu hanya ingin kamu tahu kalau ayahmu sudah tidak bekerja lagi. Tadinya ia mau berbicara langsung padamu, tapi sekarang ia tidak ada di rumah.”
Dira menyimak perkataan ibunya sebelum bertanya, “Apa yang ingin ayah bicarakan, Bu?”
Hening sesaat di antara mereka. Dira menanti jawaban ibunya. Suara desahan panjang yang Dira cerna sebelum suara renta itu menyusul, “Ayah ingin kamu berhenti kerja dan pulang. Ia tidak rela perhatian ibu tercurah hanya pada anak-anakmu. Tetapi, kamu tidak usah khawatir. Ibu sudah bicarakan dengan ayahmu. Ibu sampaikan agar kamu tahu keadaan kami di sini. Siapa tahu ayah memilih untuk mengontakmu langsung tanpa ibu ketahui.”
“Iya, Bu. Maafkan Dira karena berikan beban pada ibu. Tetapi, Dira berjanji tidak akan lalai melakukan kewajiban Dira. Kalau tabungan Dira sudah cukup, maka Dira akan pulang dan mengurus ketiga anak Dira. Untuk sementara ini, Dira berharap penuh pada Ibu.”
“Iya, Nak. Ibu paham. Ibu juga tidak setuju dengan pikiran ayah kamu. Abaikan saja apa yang ibu baru katakan. Ayahmu juga mengatakan hal itu saat ia dalam keadaan marah. Sampai sekarang, ia tidak pernah mengungkit lagi hal ini. Sehingga ibu yakin, ayahmu sudah setuju dengan keputusanmu. Intinya kamu tahu kalau ayahmu sudah pensiun dini. Ibu akan mengatur semua pengeluaran untuk keluarga dengan baik tanpa melupakan kebutuhan anak-anak kamu.”
Dira mengakhiri percakapan dengan ibunya. Ada tambahan beban di pundaknya mengetahui kalau ternyata ayahnya sudah tidak bekerja lagi. Masalah utama yang sebenarnya, tidak diketahui oleh kedua perempuan itu.
Bersambung
