Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Duka yang Mendalam

Bab 4 Duka yang Mendalam

Situasi yang semakin rumit harus dihadapi Dira beserta anaknya yang baru berusia enam bulan. Walaupun keadaan suaminya membuat Dira semakin cemas, tapi tidak menghilangkan rasa berserah dalam dirinya. Sambil menggendong anaknya, Dira selalu berdoa dengan harapan suaminya bisa kembali pulih.

Dira menatap anaknya dengan rasa khawatir lalu mengajak anaknya untuk berdoa, “Nak, kita doakan papa biar cepat pulih.” Dira meneteskan air matanya. Setelah berdoa, Dira menghampiri dokter yang keluar dari dalam ruangan dan menanyakan tentang kondisi suaminya.

“Dok, bagaimana dengan kondisi suami saya? Suami saya pasti masih bisa sembuh bukan, Dok?” tanya Dira dengan penuh gelisah.

“Maaf Bu, kami tidak bisa menjamin hal itu karena pasien sekarang semakin kritis kondisinya. Tapi kami akan berusaha lagi,” sahut dokter. Dira hanya diam terpaku.

Dokter itu segera meninggalkan Dira. Dira kembali mengejar dokter itu.

“Dok! Dokter! Saya ingin bertemu suami saya, saya mohon izinkan saya untuk bertemu dan melihat langsung kondisi suami saya. Saya ingin bicara dengan suami saya, tolong saya Dok!” Dira memohon kepada dokter sambil meneteskan air matanya.

“Maaf Bu, kami tidak bisa memaksakan situasi. Pasien sekarang tidak boleh diganggu. Ibu bisa menunggu saja sampai kami kabari lagi,” jawab dokter bergegas meninggalkan Dira.

Dira pun duduk di depan pintu ruang rawat suaminya dengan perasaan yang sangat sedih sambil menggendong Wilson putranya yang sudah tertidur. Dia sangat mengharapkan kesembuhan suaminya. Tapi sepertinya, kesempatan untuk bisa pulih tidak lagi diberikan untuk Berto.

Pada saat Dira sedang menunggu di luar, bedside monitor yang dipasang dekat ranjang pasien berbunyi. Nampak garis lurus pada layar menunjukkan kalau tidak ada detakan lagi pada jantung pasien. Para perawat bergegas mencari alat pacu jantung untuk bisa memberikan kejutan agar detakan itu bisa hadir kembali. Tiga kali upaya menggunakan defibrilator namun tidak berhasil. Tandanya Berto sudah meninggalkan Dira dan Wilson.

Di saat yang sama, Dira yang sedang berdiri di balik pintu kamar suaminya mengintip dari pintu kaca, langsung mendobrak pintu kamar dan berlari menuju suaminya. Tangisan Dira pecah dalam kamar itu. Suster yang ada di dalam ruangan berusaha menenangkan Dira tapi tetap saja Dira tidak bisa menerima situasi yang ada.

“Sayang, tolong bangun. Jangan tinggalkan aku sendirian dengan anak kita. Anak kita baru berusia enam bulan, mengapa kamu harus pergi dari kami secepat ini? Kami tidak mau berpisah denganmu!” Raungan dan tangisan Dira membuat orang-orang yang berada dalam ruangan itu ikut meneteskan air mata mereka. Dira terus menangis membuatnya sampai jatuh pingsan. Untunglah para perawat masih bisa menyelamatkan Wilson yang terlelap dalam gendongannya sehingga tidak sampai terjatuh.

Saat Dira pingsan, tubuh Berto yang sudah tak bernyawa langsung dibawa ke ruang mayat untuk dibersihkan. Ketika Dira siuman setelah tidak sadarkan diri, mayat suaminya sudah siap untuk diantar pulang untuk dimakamkan. Sepanjang perjalanan dari rumah sakit, di atas ambulans tak sedetik pun Dira menghentikan tangisannya sambil menggendong Wilson. Dira masih tidak terima dengan kepergian suaminya. Peristiwa yang ia alami kali ini sangat berbeda rasanya dengan dua pria yang sudah menjadi masa lalu Dira. Lebih berat dan membuat Dira sangat terpukul.

Dira langsung mengabarkan berita kepergian suaminya kepada ibu dan ayahnya beserta kedua orang anaknya Isvira dan Lexi. Kedua anak Dira yang mendengar berita kematian ayah tiri mereka tidak begitu peduli. Semuanya karena usia mereka dan juga kesempatan yang sangat terbatas dalam berinteraksi dengan ayah sambung mereka.

Orang tua Dira dan anggota keluarga lainnya turut merasakan kesedihan Dira karena kepergian Berto. Namun Isvira dan Lexi tidak terlalu bersedih karena mereka tidak begitu dekat dan menyukai almarhum. Mereka bisa melihat kalau ibunya sangat bersedih, namun suasana lara karena kehilangan orang yang dicintai tidak begitu berarti bagi mereka berdua.

Dira sangat lemah, sesuap nasi dan seteguk air pun tak disentuh oleh Dira. Setelah Berto dimakamkan, Dira hanya sendirian di rumah mendiang suaminya bersama anak ketiganya.

“Sewaktu almarhum papa kamu masih hidup, bahkan sampai masa kritisnya pun, ia tidak meninggalkan pesan untuk kita Sayang,” kata Dira sambil menatap putra bungsunya. Bayi gempal usia tujuh bulan itu sedang sibuk dengan mainan karet di tangannya.

Ia mendesah lalu melanjutkan perkataannya, “Mengenai rumah ini dan segala isinya, ibu bingung harus berbuat apa? Apakah kita akan menetap di sini atau bagaimana?”

Dira menatap Wilson sambil meresapi banyaknya pertanyaan yang muncul dalam benaknya. Sejak Dira tinggal sendiri bersama Wilson, Ibunda Dira beserta Isvira dan Lexi sering berkunjung ke rumah Dira untuk mengetahui kondisinya dan sekaligus menghibur Dira.

Melihat sibuknya ibunda Dira dan anak-anaknya bolak balik mengunjunginya, Dira merasa kasihan pada mereka. Akhirnya, Dira memutuskan kembali pulang untuk tinggal bersama ibu dan anak-anaknya di rumah orang tua Dira. Ia tidak bisa bertahan di rumah suaminya karena ia tidak memiliki hak atas rumah itu. Bukan hanya itu saja, Dira juga tidak ingin terus-terusan melihat bayangan almarhum suaminya di sekeliling rumah mereka. Setiap sudut dari rumah itu membuat Dira selalu teringat pada Berto.

“Tidak apa-apa, ibu juga tidak keberatan kalau kamu akan kembali ke rumah kita. Justru ibu senang karena kamu nanti akan selalu dekat dengan anak-anak kamu,” sahut ibunda Dira setelah mendengar semua penjelasan Dira.

Dira berusaha menjelaskan alasan keputusannya kepada ibunya. Syukurlah ibunya paham dan menyetujui permintaan Dira. Rencana ini pun diketahui oleh Isvira. Mereka juga ikut senang, tidak merasa keberatan kalau ibu mereka tinggal bersama mereka lagi. Justru mereka bahagia karena mereka semua akan berkumpul bersama kembali.

Namun, di sisi lainnya rasa dendam dari Isvira dan Lexi kepada adik tiri mereka sangat mendalam. Karena semenjak adanya kehadiran anak itu, sudah pasti kasih sayang dari ibu mereka akan terbagi. Si sulung bahkan memiliki pemikiran bahwa gara-gara Berto, ayah dari anak itulah mamanya harus hidup dalam keterpurukan.

Sewaktu mereka tiba di rumah ibunda dari Dira, bayangan almarhum suaminya masih tetap menemaninya. Mengingat setiap momen bahagia yang telah mereka lewati dan kenyataan bahwa kebahagiaan itu hanya beberapa bulan saja sungguh menyakitkan. Dira juga terpaku pada memperhatikan Wilson saja tanpa memberi penjelasan pada kedua anaknya, sehingga Isvira dan Lexi semakin membenci adik tiri mereka yang masih kecil.

Setelah beberapa hari di rumah ibunya dan memperhatikan kebutuhan mereka, Dira mulai terusik untuk berpikir rasional. Ia berusaha keras untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan. Walaupun sulit, Dira mencoba melupakan bayang-bayang almarhum suaminya.

“Aku harus bisa menafkahi keluargaku. Aku harus bangkit dan buktikan kalau aku masih bisa hidup dan melawan nasib malangku. Ibu tidak mungkin bekerja seperti ayah karena Ibu harus menjaga anak-anakku,” pikir Dira.

Setelah dua minggu terkurung di dalam rumah sejak pemakaman almarhum, Dira menyadari kalau ia harus berubah. Takkan ada yang bisa membantunya keluar dari kemelut kesedihan jika bukan dirinya sendiri.

Dira bertekad untuk mencari pekerjaan sendiri, yang penting halal agar bisa memenuhi semua kebutuhan mereka. Dira menanamkan satu hal dalam pikirannya bahwa, ia harus bangkit dari meratapi kenangan masa lalu. Bagaikan merapal mantera, Dira berbicara untuk dirinya sendiri, “Aku harus kuat dan bisa bangkit. Aku pasti bisa menanggung beban hidupku dan bekerja sendiri walau tanpa kehadiran seorang Berto.”

Dira memiliki tekad bulat sambil meyakinkan dirinya sendiri, kalau ia tidak boleh menyerah dengan situasi yang sedang ia alami. Ia akan berjuang dan membuat rencana yang akan mengubah dirinya dan masa depan anak-anaknya.

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel