Bab 3 Penantian yang Menyiksa
Bab 3 Penantian yang Menyiksa
Kehadiran ibunda dan anak-anaknya membuat Dira sangat bahagia. Walaupun Berto tidak menunjukkan sikap yang sama.
Pria itu memilih mendekam di kamar.
Sebelum ibunya menyampaikan niatnya untuk meninggalkan anak-anak, Dira sudah lebih dahulu memberitahu ibunya kalau ia sedang hamil. Ibunya ikut senang. Anak-anak Dira yang sempat mendengar hal ini tidak bereaksi apa pun. Mereka hanya menanti keputusan, kapan mereka bisa ikut tinggal bersama ibunya.
Si sulung yang sudah berusia delapan tahun yang menyimpan rasa iri dalam hatinya. Mendengar kalau ibunya sedang hamil lagi, ia semakin tidak senang. Ia sudah tahu kasih sayang ibunya akan terbagi lagi seperti yang ia alami sekarang ini.
“Ibu datang untuk memenuhi janji kalian. Ini sudah dua bulan berlalu.”
“Isvira, tolong bawa adik kamu main di halaman depan biar ibu bisa bicara dengan nenek,” ujar Dira menatap putrinya.
Isvira dengan patuh mengajak Lexi adiknya yang berumur enam tahun untuk menjauh dari ruang tamu.
“Bu, setelah tahu kalau aku sedang hamil, suamiku masih belum mau aku terlalu kelelahan. Apalagi kata dokter, kehamilanku kali ini harus dijaga dengan baik.”
“Kamu selalu mengingkari janji. Bukan ibu tidak mau merawat anak-anak kamu, tapi Isvira selalu saja minta agar bisa ikut denganmu. Kamu sudah menyakiti hati mereka dengan terus menolak kedatangan mereka.”
Suara dari ibunda Dira sudah melengking naik sehingga terdengar seperti mereka sedang bertengkar.
“Bu, Dira minta maaf. Aku tidak ingin kehilangan suamiku jika aku menolak permintaannya. Aku juga rindu dengan Isvira dan Lexi. Mereka anak kandungku. Di balik semuanya ini, aku merasa tenang karena mereka berada bersama ibu dan bukan orang lain.”
“Kalian terlalu egois. Ibu pikir kamu akan lebih bijaksana tetapi ternyata ibu salah.”
“Bu, kalau Berto tidak sakit jantung aku akan bisa bersikap tegas padanya. Tapi aku tidak mau dia meninggalkan aku, Bu. Tolong pahami posisiku sekarang.”
Mendengar adu mulut antara istri dan mertuanya, Berto keluar dari kamarnya dan mencoba untuk kembali meluluhkan hati mertuanya.
Berto sampaikan kalau anak-anak akan tetap datang ke rumahnya, tetapi bukan sekarang melainkan ditunda setelah Dira melahirkan anak mereka berdua.
Isvira yang diam-diam menguping pembicaraan ketiga orang dewasa itu, semakin melebar rasa sakit hatinya. Ia iri pada bayi dalam kandungan ibunya sekarang yang menjauhkan dirinya dari Dira ibunya.
Dengan berat hati, mertua dari Berto meninggalkan rumah mereka bersama Isvira dan Lexi. Untuk kesekian kalinya, Dira lebih memilih mengikuti perkataan suaminya dan mengabaikan perasaan dari anak-anaknya dan permintaan ibu kandungnya.
Hari demi hari berganti, dan anak dalam kandungan Dira sudah semakin besar. Makanan dan minuman Dira sehari-hari selalu diperhatikan dengan baik oleh suaminya. Walaupun istrinya mulai tidak bisa melayani semua kebutuhannya seperti sebelumnya, tidak mengurangi rasa perhatian Berto terhadap Dira.
Menjelang bulan-bulan penantian kelahiran sang jabang bayi, mereka menyiapkan semua keperluan yang akan dibutuhkan untuk hari kelahiran termasuk kebutuhan Dira. Akhirnya waktunya tiba dan Dira mendapatkan tanda bercak. Perutnya mulai sakit melilit. Suaminya mencari pertolongan kepada bidan terdekat di sekitar kompleks tempat tinggal mereka. Tetapi bidan tersebut meminta agar langsung dirujuk ke rumah sakit saja agar keadaan tidak semakin rumit.
“Aduuhhh, sakit Pa!” seru Dira di antara tangisannya menahan nyeri pada pinggangnya. Ini menjadi kehamilan yang ketiga untuk Dira tetapi paling sakit dibandingkan dengan dua anak sebelumnya.
Berto tak punya pilihan lain lagi. Ia langsung membawa Dira ke rumah sakit.
“Mama bertahan sebentar, ya? Kita ke rumah sakit sekarang. Mama pasti bisa. Papa tahu, Mama adalah wanita yang kuat!” Berto kembali berusaha menenangkan dan meyakinkan Dira sepanjang perjalanan menuju rumah sakit.
Di dalam ambulans, Berto memegang erat tangan Dira dan mengelus-elus perutnya dengan tersenyum agar bisa menghibur Dira. Walaupun Berto tahu tidak mungkin berhasil mengurangi derita sakit yang ada, tapi ia berupaya untuk memahami keadaan istrinya.
Setibanya di rumah sakit, Dira langsung dibawa ke ruangan bersalin.
“Bapak silakan menunggu di luar, biar kami yang menangani pasien,” kata perawat.
“Baik Suster,” sahut Berto.
Beberapa menit kemudian, dokter keluar dari ruangan. Berto langsung menghampiri wanita itu dan bertanya, “Bagaimana keadaan istri dan anak saya, Dok?”
“Maaf, istri Bapak butuh dukungan lebih dan ia sepertinya tidak kuat untuk melahirkan normal,” jawab dokter.
“Lalu apa yang harus dilakukan agar istri dan anak saya bisa lahir dengan selamat?” tanya Berto dengan rasa panik.
“Kami akan menempuh cara operasi agar istri Bapak bisa melahirkan,” timpal dokter.
“Tolong lakukan apa saja yang terbaik, Dok! Yang penting istri dan anak saya selamat.” Tanpa banyak pikir Berto langsung mengambil keputusan agar Dira bisa dibedah asalkan mereka bisa selamat.
“Mari ikut saya. Istri Bapak butuh ditemani.”
Berto awalnya tidak ingin masuk karena ia takut sakit jantungnya kumat tetapi, ia memberanikan diri untuk menyaksikan perjuangan istrinya mengeluarkan anak mereka.
Tanpa memperpanjang pembicaraan, mereka masuk kembali ke dalam ruangan bersalin dan dokter melakukan tindakan sesuai prosedur pada pasien.
Melalui perlindungan Tuhan Yang maha Esa, beberapa menit kemudian Berto mendengar tangisan sang bayi. Ia menyaksikan operasi berjalan lancar. Istri dan anaknya baik-baik saja. Berto menggenggam erat tangan istrinya dan mengecup kening Dira sambil berkata, “Terima kasih. Kamu ibu yang hebat. Anak kita laki-laki.”
“Anak kita sudah lahir Pa!” balas Dira meneteskan airmata kelegaan.
Berto memeluk istrinya, ikut merasa terharu. Mereka berdua sangat bahagia.
Setelah seminggu berada di rumah sakit, mereka pun kembali ke rumah setelah ibu dan bayi melewati masa kritis dan dikatakan sehat oleh dokter.
Empat bulan setelah anak mereka lahir, kehidupan mereka semakin ceria.
Tapi ditengah kebahagiaan itu, ada satu hal yang dirasakan Berto tetapi ia rahasiakan dari Dira. Ia menanggung sakitnya secara diam-diam. Beberapa kali Berto mendapatkan serangan jantung. Ia merasakan kram pada bagian dadanya dan sulit untuk bernafas. Tetapi hanya beberapa detik dan kram itu lalu hilang. Berto merasa jantungnya sudah normal kembali sehingga ia abaikan rasa sakit sebelumnya. Berpikir untuk memeriksakan jantungnya di dokter pun, tidak ia lakukan.
Dua bulan kemudian, suatu malam Berto terlihat gelisah. Ia tidak bisa tidur dan mengeluh kalau dadanya sakit. Dira langsung memaksa Berto agar mereka segera ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Berto langsung dibawa ke ruang ICU karena ia sudah tidak bisa berbicara lagi.
Dengan menggendong anak mereka, Dira memohon pada dokter untuk menyelamatkan suaminya.
“Dok, tolong lakukan yang terbaik untuk suami saya!” pinta Dira.
Sambil menanti kabar dari dokter, Dira berperang dengan pikirannya sendiri.
‘Mengapa dia menyembunyikan penyakitnya dariku. Padahal aku istrinya. Seharusnya setiap hal yang ada kaitan dengan dirinya, harus diberitahukan padaku. Apa mungkin penyakit jantungnya kumat lagi. Tapi kenapa aku tidak mengenali tandanya.’ Ada perasaan heran dan agak kesal terhadap suaminya.
Setelah beberapa jam, dokter menemui Dira dan menjelaskan perihal penyakit dari Berto. Informasi dari dokter, suaminya sudah lama mengidap sakitnya. Ada penyumbatan pada hampir 80% dari pembuluh darah pada jantung suaminya.
“Apa sudah tidak ada cara lain lagi untuk bisa menyembuhkan suami saya?” tanya Dira dengan penuh frustasi.
“Kami sedang berusaha dan suami Ibu dalam masa observasi sekarang. Kita tunggu reaksi dari obat yang kami berikan. Sementara suami Ibu tidak bisa diganggu dulu.”
Mendengar perkataan dokter, Dira tidak sanggup membayangkan hal terburuk yang mungkin terjadi. Ia baru saja memasuki fase terindah dalam hidupnya. Ia mengutuk jalan hidupnya yang selalu saja dirundung nestapa.
Dalam rasa putus asa, Dira menyelip doa untuk kesembuhan Berto. Namun, rasa cemas itu tetap ada. Ia menanti sambil berdoa dan juga dengan rasa takut yang menjulang tinggi.
Bersambung
