Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 17 Kenangan Diabaikan

Bab 17 Kenangan Diabaikan

Penantian Dira belum juga membuahkan hasil. Sudah dua hari Dira menunggu sejak pertemuan mereka. Tetapi karena Dira merasa bahwa Dewa itu orang baik dan penuh tanggung jawab, maka Dira terus mengharapkan kedatangan Dewa dengan sabar. Ia yakin, Dewa akan datang untuk menyampaikan hasil keputusannya. Memasuki hari keempat, kesabaran Dira sudah habis. Ia langsung mengangkat ponselnya dan mengontak pacarnya. Dira resah karena nomor dari Dewa tidak lagi aktif. Dira mencoba menghubungi semua nomor telepon yang pernah dipakai Dewa tapi tidak ada satu pun yang tersambung. Dira menunggu beberapa saat baru ia coba lagi. Mungkin saja, ponsel pacarnya sedang dinonaktifkan untuk mengisi daya. Beberapa jam setelahnya, Dira masih tidak bisa menjangkau nomor ponsel Dewa. Dira mulai gelisah. Pikirannya kalut. Perasaannya campur aduk dan kecewa mulai meliputinya. Malam itu ia tertidur dengan tanda tanya yang belum terjawab.

Keesokan harinya Dira terjaga dengan pikiran yang langsung tertuju pada Dewa. Meski hatinya sedih dan penuh kecemasan, Dira masih saja berpikiran positif tentang Dewa. ‘Ya Tuhan ke mana Dewa pergi. Aku sudah berusaha menghubunginya tapi nomornya tidak ada yang aktif. Apa yang harus aku lakukan? Apa jangan-jangan Dewa mau menghindar dari aku? Tapi tidak mungkin karena aku tahu benar pribadi dari Dewa. Dia pasti tidak bisa pergi meninggalkan aku begitu saja dengan kondisiku saat ini,’ batin Dira.

Tak terasa dua minggu telah berlalu dan Dewa sudah tidak ada kabar lagi sama sekali. Sepertinya Dira sudah tidak punya pilihan lain. Ia harus mencari Dewa di rumahnya. Hari masih pagi sekali tapi Dira sudah berdandan cantik hendak keluar rumah. Dira pamit kepada orang tuanya dengan alasan ingin ke tempat kerja. Ayah dan ibunya menghalanginya agar tidak bekerja dulu tapi Dira tetap tidak mau. Dira meyakinkan orangtuanya kalau dia kuat. Setibanya di rumah pria yang ia masih anggap pacar, Dira melihat gerbang rumah Dewa tertutup rapat dan kelihatannya sepi sekali. Tidak ada orang di rumah mereka.

Walaupun rumah itu kelihatan lengang tapi Dira tidak menyerah. Ia tetap berdiri di gerbang dan memanggil-manggil nama Dewa. Teriakan Dira cukup keras walaupun kedengarannya agak serak. Dira mengangkat matanya dan menatap ke arah kamar Dewa sambil membayangkan seolah-olah Dewa ada di sana. Tiba-tiba ada seseorang yang membuka pintu rumah yang tadinya tertutup rapat.

Dira melihat ke arah pintu yang baru saja terkuak dan terus memanggil nama Dewa. ‘Itu pasti Dewa’ pikir Dira. Tapi ternyata yang keluar dari dalam rumah bukanlah pacarnya melainkan orang yang belum dikenal oleh Dira. Ia langsung meminta orang itu untuk membukakan gerbang agar Dira bisa masuk. Namun, sebelum dibuka dan rasa tidak sabar lagi maka Dira langsung menanyakan keberadaan Dewa pada perempuan itu dari luar pagar.

“Maaf, kamu siapa ya? Dan untuk apa kamu ke sini sambil teriak-teriak memanggil nama Dewa. Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya penjaga rumah itu. “Saya ke sini untuk mencari Dewa. Ibu siapa? Kenapa bisa ada di rumah Dewa?” tanggap Dira. “Saya di sini ditugaskan untuk menjaga rumah ini. Dewa sudah pindah ke luar kota,” balas ibu yang menyambut kedatangan Dira.

Mendengar informasi yang baru disampaikan, semua persendian di tubuh Dira menjadi lemas. Ia tak berdaya, lemah, dan rasanya ingin pingsan. Dira hendak menangis meraung sambil berteriak untuk meluapkan semua kegundahannya. Dengan hati yang remuk, Dira berusaha menguatkan badannya yang lemah dan berjalan perlahan-lahan menuju tempat kerjanya yang tidak jauh dari rumah Dewa. Dira mulai membayangkan bagaimana dengan masa depannya jika ia sudah melahirkan anaknya. Dira meratapi nasibnya dan melewati hari kerjanya dalam keadaan linglung. Ia membuat beberapa kesalahan. Untunglah, ia tidak dimarahi bosnya.

Setelah waktu kerjanya selesai, Dira tidak pulang. Ia tidak mau tiba di rumah dengan keadaannya yang tak berdaya karena ia tidak mau orang tuanya mengetahui tentang hal ini. Akhirnya, Dira memilih untuk tinggal di emperan toko tempat ia bekerja.

Waktu sudah mulai malam. Dira belum juga sampai di rumah. Hal ini membuat orang tuanya menjadi panik. “Papa, sudah jam begini Dira belum pulang juga. Mama takut terjadi apa-apa dengan Dira. Dira tadinya belum sehat benar, Pa!” ucap ibunya Dira cemas.

“Iya ya, Ma. Tetapi kira-kira dia di mana? Mungkin masih di tempat kerjanya. Coba dihubungi dulu.” sambung Ayah Dira. Ibu Dira berusaha menelepon putrinya tetapi tidak tersambung karena Dira sudah menonaktifkan ponselnya. Ibu Dira semakin kuatir akan kondisi Dira. “Papa, kenapa diam saja? Ayo kita cari Dira” pinta ibunya Dira.

“Mau cari ke mana, Ma?” sanggah suaminya.

“Kita coba ke tempat kerjanya. Maksudku, yang terpenting dicari dulu!” balas ibunya Dira tak sabar lagi. Ia merasa ada yang janggal karena tidak biasanya Dira pulang kerja terlambat.

Ayahnya Dira mengikuti permintaan istrinya. Ia pergi ke tempat kerja Dira. Ternyata Dira sedang duduk di depan tokonya yang sudah tutup. Ia terlihat sedang melamun. Ayahnya Dira menghampiri Dira dan mengajaknya untuk pulang ke rumah. Rasa takut meliputi batin Dira. Sesampainya di rumah, ayahnya bertanya, “Mengapa tadi kamu tidak langsung pulang tetapi malah duduk sendirian di depan toko yang sudah tutup?”

“Tidak apa-apa Ayah.”

Dira mengelak dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Ia tidak berani menceritakan masalahnya kepada ayahnya karena ia belum siap menghadapi reaksi dari ayahnya. Dira yakin kalau ayahnya tahu tentang masalahnya, pasti pria itu akan marah besar.

Akhirnya Dira lebih memilih untuk bercerita kepada ibunya saja. Dira yakin ibunya pasti bisa membantunya untuk menjelaskan masalahnya ke ayahnya.

Dira langsung masuk ke kamarnya. Ibunya menyusul. Setibanya di kamar, ibunya menanyakan masalah Dira. “Maafkan Dira Bu. Aku sudah membuat ayah dan ibu kecewa. Sebenarnya, aku pacaran dengan Dewa selama ini. Hubungan kami sudah lumayan lama. Namun, sekarang dia sudah pergi. Dira sedang hamil Bu. Aku hamil anak Dewa dan sudah dua minggu ini Dewa tidak memberi kabar.” Dira berbisik sambil memegang erat tangan ibunya. Tangisannya pecah tak terbendung lagi.

Mata ibunya melotot sambil melepaskan tangan Dira. Nafasnya memburu karena gusar. Satu tamparan bersarang di pipi kanan Dira. “Ya ampun Dira, kamu ini gadis macam apa? Kamu tidak bisa menjaga diri kamu sendiri. Lihat akibat dari perbuatan kamu. Sangat memalukan. Apa kata orang tentang keluarga kita jika mereka tahu apa yang terjadi. Mengapa dari awal kamu mau saja mengikuti keinginan Dewa. Sekarang sudah seperti ini. Ke mana kita akan mencarinya dan menuntut tanggung jawab?” Suaranya sudah semakin tinggi.

Dira menunduk dalam diam. Tidak berani menatap wajah ibunya yang sedang marah.

“Jawab Dira, jangan diam saja!” Wanita itu memegang pundak putrinya dan mengguncangnya. Tapi Dira bergeming. Hanya air mata yang semakin deras mengalir membasahi pipinya. Dira terisak tanpa suara. Dengan perlahan Dira merubah posisi duduknya. Ia perlahan turun dari pinggiran ranjang dan berlutut di bawah kaki ibunya hendak memohon maaf.

“Ampuni Dira, Bu. Dira sudah salah. Dira mohon belas kasihan dari Ibu dan ayah.” Perkataan Dira keluar dengan terbata-bata disela isakannya.

Ibunya yang awalnya marah, trenyuh melihat kepasrahan dari putrinya. Hatinya ikut sedih melihat keadaan Dira. Air mata putrinya membasahi kakinya. Ia bisa merasakan pedih dan kekecewaan dari putrinya.

Ayah Dira yang tadinya sedang menonton televisi, merasa terganggu dengan suara istrinya. Ia menghampiri mereka dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Dira semakin ketakutan mendengar suara ayahnya. Ia tidak berani melihat raut wajahnya.

Ibunya Dira bangkit dari duduknya dan segera menarik tangan suaminya untuk keluar dari kamar putrinya.

Dira masih tetap dalam posisi bersimpuh. Ia yakin ibunya sedang berusaha menjelaskan semua yang terjadi pada ayahnya.

Dira di dalam kamar tidak tahu kalau ibunya harus menahan murka suaminya. Ayahnya Dira hendak masuk dan memukul Dira tapi ibunya menghalangi. Setelah amarah kedua orang tua Dira reda, mereka akhirnya pasrah. Dengan berat hati, mereka menerima Dira dan mendukungnya agar bisa melahirkan Isvira dengan selamat. Sejak saat itu, Dira tidak pernah berjumpa lagi dengan Dewa.

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel