Bab 15 Dosa Pertama
Bab 15 Dosa Pertama
Dalam kesendiriannya di kamar, Dira berkelana ke masa lalu. Dira mengingat kembali waktu pertama kali bertemu dengan ayahnya Isvira, Dewa, dimana saat itu mereka masih di bangku SMA. Mereka teman sekelas tapi tidak begitu akrab. Sebenarnya karena mereka berdua sama-sama saingan untuk mendapatkan nilai pelajaran yang tertinggi. Masa dimana seseorang baru beranjak mengenal apa itu cinta. Waktu itu, Dewa tidak sengaja melihat Dira dari kejauhan di pinggir lapangan, sedang duduk dan meringis kesakitan.
Ketika Dewa menghampiri Dira, pemuda itu malah menertawakan Dira. Begitu pula Dira mengabaikan kehadirannya sehingga Dewa jadi penasaran apa yang sebenarnya terjadi dengan temannya itu. Walaupun ada rasa gengsi tapi Dewa mau juga membantu Dira karena ia melihat wajah Dira menahan sakit. Terdengar juga suara ringisan namun pelan. Ternyata kaki Dira mengalami luka yang agak besar karena baru saja terjatuh.
Dewa segera memapah Dira untuk dibawa ke UKS dan mencari obat untuk memberi pertolongan pertama pada kaki yang luka. Setelah lukanya ditutup dengan perban barulah Dira diperbolehkan pulang oleh petugas UKS. Dewa pun menawarkan diri untuk mengantar Dira pulang. Kebetulan rumah Dira tidak terlalu jauh dari sekolah. Biasanya Dira berjalan kaki saja tapi karena baru saja jatuh, Dira setuju dibonceng oleh Dewa sampai ke rumahnya.
Mulai saat itu mereka mulai terlihat akrab. Dewa menunjukkan perhatiannya pada Dira. Hal ini membuat teman sekelas mereka bertanya-tanya alasan di balik keakraban mereka. Awalnya saling bersaing menjadi akrab dan selalu bersama di banyak kesempatan, tentu saja menimbulkan pertanyaan. Namun keduanya tidak merasa terganggu dengan pembicaraan tentang kedekatan mereka. Akhirnya tiga tahun perjuangan untuk mendapatkan ijazah SMA mereka telah berakhir. Mereka lulus dengan nilai yang memuaskan. Jalinan kedekatan mereka terus berlanjut setelah mereka tamat. Dewa anak yang keras kepala dan susah di atur tapi sebenarnya dia juga baik. Hanya karena ia cerdas dan dari kalangan orang kaya sehingga terkadang sulit untuk menerima pendapat orang lain. Dewa selalu berkunjung ke rumah Dira. Dewa tidak memandang latar belakang keluarga Dira. Dia tidak ingin hubungan pertemanannya hancur hanya karena latar belakang keluarga mereka yang berbeda.
Setelah dua bulan mendengar hasil kelulusan. Dira dan Dewa bertukar pikiran tentang bagaimana pendidikan mereka.
“Vir, apa yang harus kamu lakukan agar membuat orang tuamu bahagia?” tanya Dewa.
Dira hanya tersenyum dan terdiam mendengar pertanyaan Dewa.
“Oke, kalau kamu belum punya jawabannya tidak mengapa. Orang tua saya meminta agar saya terus melanjutkan studi, selagi mereka masih sanggup membiayainya,” tambah Dewa.
“Kamu beruntung Wa. Ikuti saja perkataan orang tuamu,” sahut Dira.
Suara Dira terdengar bergetar membuat Dewa heran.
“Kamu kenapa Vir?”
“Tidak apa-apa Wa,” respon Dira. Hening sesaat di antara mereka.
“Aku juga ingin sekali untuk kuliah, tapi sepertinya tidak bisa. Keadaan ekonomi keluarga kami yang membuat aku tidak yakin bisa melanjutkan studi. Kedua kakakku saat ini juga masih sangat membutuhkan biaya kuliah. Kakak sulung sedang berusaha menyelesaikan semester akhirnya, mempersiapkan skripsi untuk ujian dan wisuda. Sementara kakak yang kedua baru di semester 3,” kata Dira melanjutkan penjelasannya pada Dewa. Pemuda itu tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa ikut prihatin dengan keadaan Dira. Ia meminta Dira untuk selalu tabah dalam segala keadaan.
“Lalu apa rencanamu?” imbuh Dewa.
“Aku mau cari kerja saja untuk membantu orang tua dengan memenuhi kebutuhanku sendiri. Biar ayah dan ibu bisa fokus untuk membiayai kedua kakakku,” jawab Dira.
“Kalau itu mau kamu, aku juga ikut mendukung, asalkan kamu bahagia. Kalau kamu serius untuk bekerja, ada kenalanku yang sedang membutuhkan tenaga kerja. Ia punya toko. Jika kamu bersedia aku akan bawa kamu kesana” sambung Dewa.
Dira pun menerima tawaran Dewa. Akhirnya, Dewa membawa Dira ke tempat yang Dewa maksudkan dan disana Dira bekerja sebagai pelayan toko. Beberapa bulan kemudian, Dira resmi berpacaran dengan Dewa yang mulai kuliah di semester dua. Hubungan Dewa dan Dira semakin dekat dan serius. Dewa sering menjemput dan mengantar Dira dari rumah ke toko dan sebaliknya setelah jam kerja Dira berakhir.
Pada suatu malam minggu, Dewa menjemput Dira setelah jam tiga sore. Dewa meminta Dira agar ikut dengannya ke rumahnya. Dira menolak permintaan Dewa awalnya. Kebetulan Dewa sendirian di rumah. Ayah dan ibunya sedang pergi ke luar kota. Dewa memang hanya ingin menikmati waktu berpacaran bersama Dira karena mereka jarang berbicara dari hati ke hati. Semuanya dikarenakan keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dewa mencari cara dan alasan untuk merayu Dira untuk ikut ke rumahnya. Dira pun menerima tawaran Dewa. Gadis itu yakin kalau Dewa orang yang baik dan sayang padanya. Tidak mungkin Dewa akan menyakiti Dira. Mereka juga sudah sangat lama saling mengenal. Selama ini Dewa membantu Dira sehingga tidak ada alasan untuk tidak percaya pada Dewa, pacar sendiri.
Ternyata semua yang ada di pikiran Dira itu salah. Dira terjebak. Rumah Dewa sangat sepi. Tidak ada satu orang pun di sana karena ayah dan ibu Dewa sedang bepergian. Dewa membawa Dira ke kamarnya dan mulai merayu Dira. Dira sangat ketakutan. Dewa mulai mencari kesempatan untuk menggauli Dira.
Dira selalu berusaha menolak tawaran Dewa. Rasanya Dira ingin berteriak meminta tolong tapi Dira juga rasa akan sia-sia karena rumah Dewa sepi. Dira ketakutan dan gugup karena Dira baru pertama kali mengalami kejadian seperti ini. Dewa mulai melepaskan bajunya dan mengejar Dira dengan bertelanjang dada. “Ayolah Dir, aku sangat menginginkanmu,” kata Dewa sewaktu berusaha mendekati Dira. Gadis itu keluar dari kamar Dewa dan berusaha mencari tempat untuk bersembunyi. Namun, upayanya tidak berhasil karena Dewa mengetahui seluk beluk rumahnya.
Di saat Dira bingung harus menghindar ke mana, Dewa sudah ada di belakangnya dan memeluknya di pinggang. Pemuda itu meletakkan dagunya di bahu kiri Dira dan berbicara.
“Jangan takut, Sayang. Aku tidak akan menyakitimu. Aku mencintaimu. Aku akan mempertanggungjawabkan semua perbuatanku. Aku rindu bisa menyentuhmu seperti sekarang.” Dewa mengucapkan janji manis di telinga Dira dengan lembut, membuat Dira lemas. Hatinya tersentuh dan suara Dewa begitu nyaman terdengar.
“Tapi aku takut, Wa. Ini dosa. Kita tidak boleh melakukan hal yang di luar batas.”
“Siapa bilang kita akan melakukan hal di luar batas?” sanggah Dewa langsung membalik tubuh Dira sehingga mereka bisa berdiri berhadapan. Aku hanya ingin mencumbumu saja. Tidak lebih. Aku butuh merasakan bukti kasih sayang darimu.”
“Kamu janji tidak akan lebih dari sekadar ciuman?” balas Dira lirih menatap mata kekasihnya meminta ketegasan.
“Aku janji. Tidak akan lebih sentuhan tanpa rasa sakit apa pun.” Dira akhirnya mengangguk dan rela digiring kembali ke dalam kamar oleh Dewa.
Pemuda itu mulai memainkan jurus rayuannya. Memang ia hanya meminta Dira untuk duduk di pangkuannya di atas sofa kamar sambil mereka berciuman. Mereka juga masih berpakaian lengkap, kecuali Dewa yang sudah tidak memakai penutup tubuh bagian atas.
Sentuhan ringan dimulai dari seputaran wajah mereka lakukan. Dewa yang menjadi pemimpin tepatnya. Dira hanya terhanyut dalam permainan Dewa. Awalnya Dira sangat tegang dan berusaha menepis tangan Dewa yang mulai nakal karena sudah menyentuh bagian tubuh Dira lainnya. Tetapi berkat kelihaian Dewa yang sudah paham akan pentingnya memenuhi kebutuhan libidonya, berhasil menaklukkan Dira.
Sepertinya Dira tidak bisa lagi mengelak karena Dira juga sudah tidak sanggup menolak pesona dari Dewa. Gadis itu masuk dalam perangkap pacarnya. Aksi penolakan Dira di awal berubah menjadi tuntutan untuk disentuh, disertai erangan yang membuat Dewa tidak bisa lagi memegang teguh janjinya. Dewa akhirnya sukses melucuti setiap kain yang menutupi tubuh Dira dan dirinya. Kekasihnya itu sudah dibuai kenikmatan sehingga tidak lagi memikirkan semua kekhawatirannya di awal. Dewa menggendong Dira tanpa penolakan berarti. Mereka bergumul di atas kasur tanpa sehelai benang pun. Dosa mereka berlangsung sampai pukul tujuh malam barulah Dewa mengantar Dira pulang.
Sesampainya di rumah, Dira mengurung diri di kamarnya. Ia menangis menyesali perbuatannya. Tetapi semuanya sudah terlambat. Sejak kejadian itu, Dira juga tidak bisa menjauh dari Dewa lagi karena keperawanannya telah direnggut. Sementara Dewa sudah mengetahui kelemahan Dira. Ia selalu mencari cara dan kesempatan untuk bisa berduaan saja dengan kekasihnya itu. dosa yang mereka lakukan terus berulang dan Dira tidak punya kekuatan untuk mengelak lagi. Ia pun mulai ketagihan dengan sentuhan dari Dewa.
Bersambung
