Bab 14 Kenangan
Bab 14 Kenangan
Hari demi hari berganti, tahun demi tahun berlalu. Semenjak keberangkatan Dira meniti karier sebagai TKW, setelah dihitung-hitung sudah genap empat tahun lamanya. Pekerjaannya memuaskan sehingga kontrak kerjanya diperpanjang langsung oleh Pak Baskoro dengan agen yang sama. Tentunya penampilan Dira sudah semakin percaya diri jika dibandingkan dengan kedatangannya di awal ia baru mulai bekerja. Jika dipandang sekilas saja, tak akan ada yang sadar kalau ia sudah memiliki tiga orang anak. Tamu dari majikan Dira yang berasal dari Australia bernama Mr. Edward, belakangan selalu rajin mampir ke rumah Pak Baskoro. Hanya dia tamu satu-satunya yang selalu muncul setidaknya tiga kali dalam seminggu. Terkadang ia datang tanpa memberi kabar dengan alasan kebetulan lewat. Nyonya muda yang paham benar dengan sikap Edward.
Pada suatu waktu, ketika dira sudah selesai melaksanakan semua tugasnya dan masuk ke kamar, istri Baskoro membuka percakapan tentang asisten mereka. Saat itu mereka berdua duduk sendirian di ruang tamu.
“Menurut Papa sebagai pria, apa perubahan yang ada pada Dira?”
Baskoro menatap istrinya dan berkata “Saya rasa tidak ada banyak perubahan. Kecuali pada cara dia berpakaian. Mungkin karena Dira sudah cukup lama bekerja disini jadi penampilannya terlihat mengikuti mode terkini.”
“Apa benar kalau Dira terlihat sangat cantik di depan para pria kulit putih”
“Mungkin karena kulitnya yang tidak terlalu putih. Sawo matang kea rah kecokelatan.”
“Bisa jadi.”
“Kenapa Mama jadi bahas tentang Dira?”
“Kebetulan lagi ingat saja.”
Di lain kesempatan.
“Sayang, aku ingin tanya sesuatu.” Baskoro bertanya pada istrinya pada saat malam sebelum mereka tertidur.
“Boleh,” balas istrinya.
“Aku merasa ada yang aneh dengan Edward. Dia sepertinya semakin sering berkunjung ke sini. Apa hanya perasaanku saja atau memang ada hal lain yang menarik perhatiannya?”
“Memangnya ada apa, Pa?”
“Edward akhir-akhir ini selalu rajin datang ke rumah kita. Tatapan Edward terhadap Dira juga sangat mencurigakan. Lama sekali menatap Dira jika asisten kit aitu muncul untuk membawakan atau mengambil sesuatu. Dia juga selalu bertanya soal Dira? Ada apa sebenarnya?”
“Sebenarnya, aku memang belum sempat cerita ke Papa. Aku pikir waktu itu dia hanya bercanda. Sudah sejak dua tahun yang lalu Edward bicara denganku. Ia sebenarnya naksir berat sama Dira.”
“Oh, ya! Mengapa dia bisa terpesona pada Dira? Wanita dari desa yang tidak berpendidikan tinggi sama sekali.”
“Justru daya tarik Dira di situ menurut Edward. Katanya dia capek berhubungan dengan para wanita yang cerdas dan feminis. Ia ingin memiliki istri yang memperlakukannya seperti raja. Ia maunya dilayani karena sudah lelah melakukan semua hal sendirian.”
“Oke. Selama ia tidak membuat Dira menderita dan kehilangan pekerjaan maka kita bisa dukung keinginan dia itu.”
“Aku juga sudah ada niat bicara dengan Dira. Tetapi aku menunggu ia yang menyampaikan tentang hal ini. Aku tidak mau ikut campur sebelum Dira menyampaikan isi hatinya.”
“Baiklah. Kalau memang Edward serius akan sangat membantu Dira memperbaiki taraf hidupnya. Cinta itu memang aneh. Kalau kamu sendiri, rasa cintamu sama aku apa masih pada kadar yang sama?”
“Papa, tunggu si kembar agak besar dulu. Jangan macam-macam. Sebaiknya kita istirahat sekarang.”
“Tinggal jawab, Sayang.”
Pasangan muda itu akhirnya terlelap juga setelah ikut memikirkan nasib asisten rumah tangga mereka. Dira sangat beruntung bukan? Majikannya peduli dengan apa yang ia alami. Tidak semua TKW mengalami nasib seberuntung Dira.
Pada suatu sore, sekitar jam pulang kerja. Tiba-tiba Edward muncul di rumah keluarga Baskoro sendirian. Dira mengira bahwa Edward datang bersama-sama dengan majikannya namun ternyata Edward sendirian. Pria itu mengajak Dira untuk duduk bersamanya, menemaninya menunggu Baskoro dan istrinya. Tetapi karena Dira saat itu sedang menemani si kembar bermain di ruangan santai sehingga Edward juga ikut duduk di ruangan tersebut.
Di sela kesibukannya memperhatikan si kembar, Edward berusaha menjalin percakapan dengan Dira. Asisten rumah tangga keluarga Baskoro itu tidak bisa menanggapi dengan begitu lancar karena ia masih belum menguasai Bahasa Inggris. Beberapa kata bisa Dira pahami tetapi sangat sulit baginya untuk membalas dengan kata-kata yang tepat. Apalagi selama ini ia lebih sering berbicara bahasa Indonesia dengan majikannya.
Menyadari kesulitan itu Edward ternyata sudah punya jalan keluar. Ia memberikan kamus elektrik Inggris Indonesia untuk Dira agar bisa membantu percakapan mereka sambil belajar.
“Terima kasih,” ujar Dira begitu Edward memberikan kamus padanya.
“Bisa saya dapat nomor handphone kamu?” tanya Edward sambil menunjukkan ponselnya.
Dira paham apa yang diminta sehingga ia mengambil ponselnya dan diserahkan pada Edward.
Pria itu tahu kalau Dira masih canggung dan ragu untuk berbicara banyak padanya. Edward menyimpan nomor ponselnya di gawai milik Dira terlebih dahulu. Setelah itu barulah ia melakukan panggilan sehingga nomor wanita itu tercatat di ponselnya sendiri.
Setelah berhasil mendapatkan nomor kontak Dira barulah Edward mengembalikan benda itu pada pemiliknya. Kemudian pria itu meninggalkan Dira sendirian dan menunggu tuan rumah di teras. Intinya ia sudah mendapatkan cara untuk sering menghubungi Dira secara langsung.
Dira yang masih tidak terlalu paham dengan niat di balik semua sikap Edward, menganggap pria itu hanya ingin berteman dengannya. Dira akhirnya berjanji dalam hatinya untuk bisa menggunakan kamus yang sudah diberikan Edward. Sekalian ia bisa menambah kosa kata Bahasa Inggrisnya. Dira kembali fokus bermain bersama si kembar. Alhasil, ia menjadi kangen dengan anak-anaknya saat melihat keaktifan dari si kembar. Dira ingin melihat ketiga anaknya. Dira langsung mengirimkan pesan pada ibunya untuk bisa ke toko ponsel untuk melakukan tukar tambah. Menjual ponsel yang sekarang dan membayar selisih untuk mendapatkan gawai baru dengan spesifikasi bisa melakukan panggilan dengan video.
Malamnya sebelum tidur, Dira menelepon ke kampung dan mengingatkan ibunya untuk melakukan pesan yang sudah ia kirim sebelumnya. Satu minggu kemudian, Dira melakukan panggilan dengan video untuk berbicara dengan ibunya dan anak-anak. Isvira yang sudah paham caranya membantu neneknya. Mereka akhirnya bisa saling menatap wajah masing-masing. Anak-anak masih tidak punya inisiatif untuk bicara dengan Dira. Jadi, nenek duduk dekat di mana anak-anak berada. Akhirnya, Vira, Lexi dan Wilson berada di dekat nenek mereka dan mau tidak mau melihat wajah ibu mereka yang ada di layar ponsel.
Dira sangat senang. Dengan melihat wajah mereka, rasa rindunya terobati. Dira melihat dan mendengar semua percakapan mereka membuatnya sangat terharu. Ia bisa menyapa anak-anaknya satu persatu. Dira amat bahagia melihat anak-anaknya yang sudah semakin besar, semuanya dalam keadaan sehat, penampilan mereka sudah semakin tampan. Isvira anak pertamanya juga memiliki kecantikan remaja yang alami. Sedangkan Lexi dan Wilson juga terlihat tampan.
Tanpa disadari, Dira sudah meneteskan air matanya ketika melihat wajah Wilson anak bungsunya. Wajah Wilson mengingatkan Dira pada sosok almarhum Berto. Dira kembali hanyut dalam kesedihan. Karena tidak bisa menahan tangisnya, Dira sempat mengeluarkan suara isakan selama beberapa menit. Ibunya hanya terdiam dan berusaha menenangkan Dira untuk tidak bersedih. Anak-anaknya tetap berceloteh satu sama lain sehingga bisa menghibur hati Dira.
“Bu, terima kasih sudah membantu Dira merawat dan membesarkan anak-anak,” ucap Dira dengan nada yang serak-serak karena habis menangis.
“Untuk ketiga anakku Isvira, Lexi, dan Wilson tetap jadi anak yang baik. Selalu dengar-dengaran, patuh terhadap nenek dan juga kakek,” nasihat Dira untuk anak-anaknya.
“Baik Bu! Ibu juga jangan lupa jaga kesehatan di sana,” jawab Isvira. Isvira yang paling dewasa di antara semua sehingga ia yang menanggapi perkataan ibunya. Dira juga menitipkan pesan khusus untuk Isvira sebagai anak pertama. Dira meminta Isvira untuk menjaga kedua adiknya dan jangan membuat mereka bersedih sampai menangis.
Setelah percakapan dengan keluarganya di kampung berakhir, Dira kembali merenung dan masih terbawa rasa sedih mengingat almarhum Berto. Namun, Dira harus mampu melupakan almarhum Berto dan mulai membuka lembaran baru dalam hidupnya demi orang tua dan anak-anaknya yang ia tinggalkan di kampung. Dira berjanji pada dirinya sendirinya untuk melupakan masa lalunya yang membuatnya ada dalam keterpurukan. Peristiwa dalam kehidupan membuat Dira berprinsip bahwa masa lalu hanyalah sebuah kenangan. Pelajaran berharga untuk memperbaiki hal terpuruk yang pernah dialami. Tanpa bisa dibendung, Dira hanyut dalam kenangan akan masa lalunya.
Bersambung
