Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 Panjang Sabar

Bab 11 Panjang Sabar

Dira dengan jerih payahnya harus meninggalkan keluarga dan ketiga anaknya untuk menjadi asisten rumah tangga di keluarga Baskoro di Singapura. Di sela kesibukannya melayani kebutuhan semua anggota keluarga Baskoro, Dira tidak sungkan untuk berbagi cerita tentang keadaan anak-anaknya di kampung jika ditanyakan. ‘Mungkin, dengan aku berbagi cerita, mereka semakin mengerti kondisi keluargaku yang di tinggalkan di kampung,’ pikir Dira penuh harapan.

Dira membuka kisah hidupnya tanpa ditutup-tutupi. Termasuk kisah cintanya yang terakhir tentang berpulangnya ayah dari anaknya yang bungsu. Itulah sebabnya Dira memutuskan untuk menjadi TKW. Dira bahkan sampai meneteskan air matanya saat bercerita tentang silsilah kehidupannya pada mama dari Pak Baskoro. Wanita paruh baya itu merasa terharu mendengar cerita Dira. “Kamu wanita yang kuat. Anak-anakku harus mendengar kisahmu ini sehingga mereka mesti bersyukur karena mereka tidak mengalami kejadian seperti yang kamu alami,” ujar mama dari Pak Baskoro saat mendengar cerita Dira.

Keluarga Baskoro mengerti keadaan keluarga Dira. Apalagi setelah mereka tahu sulitnya kehidupan Dira dari apa yang sudah mereka dengar. Mereka juga memperlakukan Dira dengan baik dan penuh hormat. Cara berbicara dan bertingkah laku mereka sangat di jaga terhadap Dira. Mereka tidak ingin Dira susah lagi. Apalagi membayangkan Dira selalu meneteskan air matanya ketika mengisahkan tentang anak-anaknya. Tetapi istri dari Pak Baskoro tetap tegas jika Dira melakukan kesilapan atau hal yang tidak sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka bicarakan bersama dari awal.

Untuk menjaga kepercayaan yang sudah diberikan dari majikannya, Dira menjaga dan mengurus kedua bayi kembar perempuan yang baru berusia batita dengan sepenuh hati. Dira sangat menyayangi mereka. Dira tidak pernah membiarkan anak-anak itu menangis. Dira mengatur semua pola makan dan minum mereka sebaik mungkin. Anak-anak itu Dira perlakukan seperti anak kandung Dira sendiri. Setiap kali Dira melihat anak-anak itu Dira selalu membayangkan ketiga putranya yang ada di kampung. Terlebih Wilson anaknya yang bungsu yang Dira tinggalkan masih berusia satu tahun. Perkembangannya sangat mirip dengan kedua bayi kembar yang di rawat oleh Dira. Hal ini yang membuat Dira selalu rindu pada anak-anaknya.

Di sisi lain Dira tidak hanya mengurus kedua bayi kembar majikannya, tapi Dira juga harus merawat Ibu dari Pak Baskoro yang sudah lanjut usia, usinya sudah hampir tujuh puluh tahun. Dengan usianya yang semakin tua, sifat dan pembawaan ibu Pak Baskoro semakin hari semakin menjadi-jadi. Tingkahnya terkadang seperti anak kecil. Ia beberapa kali merepotkan Dira. Banyak tuntutan yang harus Dira lakukan untuknya. Setiap kali ia meminta untuk melakukan sesuatu, Dira harus segera melakukannya dengan cepat. Dengan cara-caranya seperti ini membuat pusing kepala Dira. Ia selalu memiliki banyak tuntutan tanpa memikirkan Dira yang harus menyelesaikan pekerjaan lainnya dalam rumah di samping mengurus dua bayi kembar yang sangat aktif bergerak tersebut.

Pada suatu ketika Ibu dari Pak Baskoro jatuh sakit. Pak Baskoro dan istrinya sedang tidak ada di rumah. Dua asisten muda lainnya yang ada di rumah itu, si sopir dan tukang kebun juga sedang tidak ada juga di kamar belakang. Mereka sedang pergi entah ke mana. Hanya Dira sendirian di rumah dengan kedua anak kembar. Untung saat itu si kembar sedang tidur, jadi Dira bisa bersama-sama dengan wanita tua yang sedang sakit. Dira bingung harus berbuat apa. Ia sudah mengontak majikannya dan mereka masih dalam perjalanan dari luar kota. Dira hanya duduk di samping pembaringan dan memijat-mijat tangan beliau yang terus mengeluh persendiannya ngilu.

Beberapa menit kemudian, Ibu dari Pak Baskoro meminta makan. Dira langsung berlari menuju dapur dan mengambilkan bubur untuknya. Saat Dira hendak mengantarkan makanan untuk wanita yang sedang sakit tersebut, Dira mendengar tangisan kedua bayi kembar. “Aduh, mereka sudah bangun lagi!” lirih Dira pada diri sendiri sambil berlari mengantarkan makanan untuk nenek yang sedang sakit.

Dira membantu nenek Baskoro untuk duduk. Lalu ia mengambilkan meja kecil untuk bisa meletakkan wadah makan di tangannya agar bisa langsung dimakan, selagi hangat.

“Silakan dimakan Bu, saya ke dalam sebentar. Nanti saya akan balik lagi!” ucap Dira sambil berlari menuju kamar si kembar yang sedang menangis.

Dira membawa kedua anak itu ke kamar nenek mereka. Jadi ia bisa menemani ibunya Pak Baskoro yang sedang makan. Sesampainya dikamar nenek kedua bayi itu, ternyata makanannya belum juga dimakan.

“Dira, ayo suapin ibu. Ibu tidak bisa makan sendiri,” pinta Ibu dari Pak Baskoro. Dira semakin bingung harus mendahulukan pekerjaan yang mana. Dia harus berbuat apa. Sementara salah satu dari kedua bayi kembar itu sedang menangis ingin minum susu. Dira tidak bisa membiarkan anak itu menangis terus. Rasa keibuannya sangat tinggi ketika mendengar tangisan anak kecil.

“Maaf bu, sebentar dulu. Saya masih harus buatkan susu untuk anak-anak. Sebentar lagi saya balik ke sini,” jawab Dira dengan kepalanya yang mulai pening.

Dira segera pergi dan mengambilkan susu untuk kedua bayi itu. Syukurlah di saat yang bersamaan, orang tua si kembar sudah pulang. Dira langsung menceritakan apa yang sedang terjadi sehingga nyonya mudanya bisa menjaga si kembar. Dira sendiri bisa langsung mengurus lagi Ibunya Baskoro yang sedang menantinya di kamar. Dira segera menghampiri wanita yang sedang sakit itu dan menyuapkan bubur untuknya. Dira masih pening. Rasanya Dira hendak marah, tapi dalam hatinya ia mengingatkan diri sendiri untuk selalu bersabar dalam menghadapi sesuatu.

‘Tetap sabar Dir, kontrol dirimu agar tidak salah ucap dan tindak. Kamu tidak mau kan menyusahkan keluarga kamu?’ batin Dira dalam diam.

Dira terus menyuap majikan tuanya sambil menahan kesalnya. Wanita tua ini selalu berubah-ubah perasaannya. Terkadang ia sangat pengertian tapi di saat-saat tertentu sangat menuntut dan mengesalkan seperti saat ini. Dira tidak ingin mengikuti rasa kesalnya karena ia tidak mau di pulangkan ke Indonesia. Karena, kalau Dira tidak bekerja lagi, siapa yang harus menafkahi ayah, ibu dan anak-anaknya?

“Ibu kenapa?” tanya nyonya muda masuk ke kamar mertuanya.

“Sepertinya asam urat ibu kambuh lagi,” jawab nenek dari si kembar.

“Obat yang biasanya ibu minum sudah habis?”

Tidak ada balasan. Wanita tua itu bungkam. Dira hanya terus melakukan tugasnya tanpa menambah satu kata pun. Dira tahu kalau sudah seminggu ini, nenek si kembar menolak untuk meminum obatnya. Ia mengatakan kalau ia baik-baik saja dan baru akan melanjutkan konsumsi obat kalau ada rasa sakit.

“Dira, apakah kamu tidak membantu menyiapkan obat ibu seperti yang telah saya perintahkan?” tanya nyonya muda balik menyerang Dira.

Bertepatan dengan piring makan yang sudah kosong, Dira menatap majikan tuanya sebentar lalu memandang ibu si kembar dan menjawab.

“Saya selalu antar ke kamar. Setiap saya rapikan, tempat obatnya sudah kosong, nyonya. Saya akan cek persediaan obat sekarang. Mungkin sudah hampir habis. Tapi saya yakin, masih cukup untuk malam ini.”

Dira mohon undur diri setelah nyonya mudanya mengangguk. Dira meninggalkan kamar itu menuju kotak obat.

Dira tidak berani melaporkan pada orang tua si kembar akan sikap nyonya tua. Ia tidak ingin menjadi penyulut konflik keluarga majikannya. Ia ingin bekerja dengan tenang. Ia membiarkan nyonya muda paham akan alasan sebenarnya di balik kerewelan dari ibu mertuanya. Nasib menjadi kacung untuk orang lain. Dira harus panjang sabar agar tidak kehilangan pekerjaannya.

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel