Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Si Playboy

"Yon! Kamu jadi anter aku ke sekolah kan?" suara seorang cewek di sebrang telfon.

Dion dengan senyum sumringah menjawab, "Pasti dong, Yang. Kamu tunggu aja ya, aku bentar lagi siap terus langsung cus ke rumah kamu."

"Oke, aku tunggu ya." ucap cewek itu lagi.

"Iya. Bye sayang, muach!" balas Dion, lalu detik berikutnya ia memutuskan sambungan telfon dari seorang gadis yang bernama Aqila yang tertera di layar ponselnya.

Memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya, Dion pun segera meraih tas yang tergeletak di kasurnya lalu setelah itu berjalan keluar dari kamarnya.

"Bunda....Dion berangkat ya!" teriak Dion dari luar kamarnya yang memang terletak tidak jauh dari pintu keluar.

Tidak ada sahutan dari Bunda yang Dion maksudkan. Jadi dengan begitu Dion tanpa membuang waktunya segera keluar dari rumah untuj menuju garasi rumah bermaksud mengambil motornya yang ia parkirkan di sana. Namun langkahnya segera berhenti begitu bunyi klakson memasuki gendang telinganya. Dion menoleh ke arah pagar dan mendapati seorang cowok dengan wajah yang ditutupi kaca helm melambai ke arahnya.

Dion mengerinyit bingung, tapi ia tetap berjalan mendekat ke arah pagar untuk mengetahui siapa orang itu.

"Naik!" suruh orang itu setelah Dion berdiri tepat di samping motornya yang besar.

Mendengar suaranya tentu saja membuat Dion segera sadar dan mengenali siapa orang yang ada di balik kaca helm tersebut. Ia terkekeh pelan lalu menepuk-nepuk bahu cowok itu yang ternyata adalah sosok Aznan yang kini sudah memperlihatkan wajahnya menatap malas ke arah Dion.

"Jadi elo seriusan mau anter jemput gue tiap hari?" ujar Dion setelah dirinya selesai menepuk bahu Aznan.

Aznan menganggukkan kepalanya.

"Gue serius. Gue nggak main-main sama ucapan gue kemaren. Gue beneran bakal bikin lo suka sama gue, dan salah satu caranya ya dengan anter-jemput lo." balas Aznan. Setelahnya satu tangannya ia taruh di atas kepala Dion dan di acaknya pelan rambut Dion yang sudah rapi itu.

"Udah jangan banyak omong. Yuk, naik. Sayang." ujar Aznan di akhiri dengan senyum manis yang ia pamerkan.

Dion tidak diam saja, ia menepiskan tangan Aznan dari kepalanya dan segera memperbaiki rambutnya yang berantakan akibat ulah Aznan. Setelah itu ia pun turut membalas senyuman Aznan, namun sangat terlihat kalau dirinya memaksakan senyuman itu.

"Maaf ya sayang. Tapi hari ini gue udah ada jadwal buat anter pacar gue yang lain. Jadi, lo duluan sana gih. Liat muka lo bikin gue eneg tau nggak." ujar Dion, lalu berniat berbalik untuk kembali melaksanakan niatnya. Namun dirinya tidak bisa melakukan hal itu, karena tangannya di tahan oleh Aznan sehingga membuatnya mau tidak mau harus kembali menatap Aznan.

"Kok lo malah pacaran sama orang lain sih? Bukannya lo bilang ikut permainan ini ya? Lo bilang nggak bakal tinggal diem dan mau bikin gue yang jadi suka sama elo. Gimana dah." ujar Aznan.

"Ya gue emang bilang gitu. Tapi nggak mesti gue harus tiap hari bareng elo kan? Lo cowok njir. Gue masih normal, dan sekarang gue mau jemput pacar gue kerumahnya." balas Dion sambil melepaskan tangan Aznan dari lengannya.

Aznan terlihat tidak terima mendengar pernyataan dari Dion barusan. Ia turun dari motornya, lalu menaruh kedua tangannya di dadanya sambil menatap Dion yang ternyata baru ia sadari kalau Dion lebih pendek darinya.

"Gue juga normal, nyed! Tapi gue udah bertekad untuk balesin dendam adek gue ke elo. Jadi lo jangan bacot dan naik ke motor gue sekarang. Soal pacar lo, biar kita bonceng tiga ke sekolah. Ok?" ucap Aznan.

"Hah? Boceng tiga make motor lo ini?"

"Ada yang salah sama motor gue?" tanya Aznan dengan satu alis yang ia naikkan.

"Ada lah! Lo gila motor ninja begini lo suruh bonceng tiga. Mau ditaro mana cewek gue entar?" jawab Dion dengan wajah protes menatap Aznan.

Aznan menjawab dengan kedua bahu yang ia angkat secara bersamaan. "Di tengah mungkin."

"Kepala kau! Enak aja lo mau modus-modus ngerasain tetek cewek gue. Nggak bisa!"

"Yaudah, lo yang bawa motor biar gue yang di belakang."

"Sama aja, monyet! Entar titit lo modus sama pantat cewek gue juga." ucap Dion masih dengan pikiran negatifnya.

Aznan berusaha sabar dengan menghembuskan napasnya bosan. Jika ini bukan misi balas dendam, ia sudah yakin cowok jelek di depannya ini sudah habis ia pukuli.

"Yaudah kalo gitu, gue yang bawa motor, lo di tengah, dan pacar lo paling belakang. Gimana?" ujar Aznan mencoba penawaran terakhirnya.

"Ntar kalo dia jatoh gimana? Kan paling belakang kan nungging banget tuh."

"Ah bacot! Naik lo sekarang. Kita berangkat." kesal Aznan dan langsung memaksa Dion untuk segera naik ke motornya. Butuh usaha untuk melakukannya karena Dion melawan dirinya dengan kuat. Namun pada akhirnya dia berhasil membuat Dion duduk diam di boncengan motornya. Lalu setelah itu, tanpa menunggu lama Aznan menyalakan motornya untuk menuju rumah pacar Dion untuk mengucapkan beberapa kata agar rencana balas dendamnya tidak terganggu.

Motor yang di kendarai Aznan benar-benar melaju sangat kencang, membuat Dion tidak ada pilihan selain memeluk erat pinggang Aznan agar dirinya tidak ikut terbang terbawa angin akibat kencangnya motor Aznan melaju. Ia beberapa kali menggigit bahu Aznan berharap agar Aznan berhenti dan mendengarkan ucapannya.

"Woi! Pelan-pelan!" teriak Dion untuk yang kesekian kalinya. Matanya sudah menyipit kecil akibat angin yang mengenai matanya dan menyebabkan dirinya sulit untuk melihat.

Aznan yang mengenakan helm tentu saja tidak mendengar apa saja keluhan dan sumpah serapah yang sudah Dion keluarkan. Ia dengan wajah serius di balik helmnya menatap fokus jalanan yang ia lalui. Sampai motornya sudah dekat lampu merah, barulah dirinya memperlambat laju motornya seiring dirinya mendekat di depan garis penyebrangan.

Aznan membuka kaca helmnya dan tersenyum tipis seraya menoleh ke belakang menatap Dion.

"Gimana? Gue keren kan? Nggak nyesel deh lo pacaran sama gue." ujarnya percaya diri.

"Gue mau mati anjing. Lo mau nganter gue ke sekolah apa ke liang kubur!? Ogah gue di anter lagi kalo kayak gini caranya." ucap Dion dengan tangan yang masih setia memeluk pinggang Aznan.

"Elah, cupu lo. Emang biasanya lo bawa motor sampe kecepatan berapa?"

"60 km/h. Dan itu juga make motor matic nggak motor butut kayak lo ini. Berisik, bikin jantung mati rasa juga. Heran gue." jawab Dion.

"Justru motor yang kayak gini yang enak buat balapan. Nggak kayak motor lo yang bisanya cuma buat pacaran doang."

"Lo anak pinggiran?" tanya Dion.

Aznan mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu.

"Maksud lo?" tanya Aznan balik

"Itu anak-anak yang sukanya balap kayak orang gila." Aznan berpikir sebentar untuk mengerti ucapan Dion. Dan setelah mengerti ia pun menjentik kening Dion pelan.

"Itu namanya anak jalanan goblok. Bukan pinggiran. Lo kira gue orang susah?" ucap Aznan.

Dion mengusap keningnya yang tidak terasa sakit namun ia merasa tidak terima telah di petik keningnya seperti itu. Ia ingin membalasnya, namun ia urungkan karena lampu merah kini sudah berubah menjadi hijau dan membuat sang empunya motor kembali melajukan kendaraannya yang ia syukuri karena melaju dengan kecepatan sedang.

"Dimana rumah pacar lo?" tanya Aznan.

Dion segera memberitahu alamat pacar barunya, lalu setelah itu ia segera mengencangkan pegangannya karena saat ia selesai memberitahu alamat pacarnya, Aznan kembali melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Dan lagi-lagi Dion hanya bisa berdoa dalam hati kalau dirinya di selamatkan dalam perjalanan ini karena dirinya masih sangat ingin hidup dan berbahagia di dunia ini.

• • •

Tidak sampai 10 menit, mereka sampai tepat di depan rumah Aqila pacar baru Dion yang saat ini sudah menunggu di depan rumahnya.

Dion turun terlebih dahulu dan segera menghampiri Aqila. Ia memasang wajah melas untuk meminta maaf karena sudah telat menjemputnya. Sementara Aznan kini berjalan mendekat menyusul mereka berdua.

"Kamu kok bareng dia, Yon? Katanya kamu mau jemput aku." ujar Aqila sambil dengan mata yang menatap Aznan yang kini sudah berdiri di samping Dion. Wajahnya datar menatap Aqila, tapi tetap, tatapan itu di anggap tampan olehnya.

Dion ingin membalas ucapan itu, namun ia keduluan oleh Aznan yang mengangkat bicara.

"Kita kesini bukan jemput lo. Tapi mau bikin pernyataan. Mulai detik ini, lo sama Dion udah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Kalian putus." ujar Aznan santai.

Dion dan Aqila terbengong dengan mulut terbuka, namun Dion lebih dulu sadar dan menyikut pinggang Aznan pelan.

"Apa maksud lo setan?" desis Dion menatapnya kesal.

"Apa? Lo pacar gue kan? Dan gue nggak suka kalian pacaran. Jadi gue minta kalian berdua putus mulai sekarang." balas Aznan sambil menatap Dion dan Aqila bergantian.

"Kenapa nggak lo aja yang putusin Dion? Kalian kan sama-sama cowok? Atau lo emang homo ya, Nan? Makanya lo jarang nerima cewek-cewek yang nembak lo." balas Aqila memberanikan diri melawan argumen dari Aznan.

Aznan sendiri tidak merasa tersinggung atau apapun. Dia malah tersenyum miring sambil dengan satu tangannya yang ia kalungkan di bahu Dion.

"Iya gue homo. Dan gue cinta pacar gue yang sekarang." ujar Aznan dan kemudian dengan gerakan cepat ia mengecup pipi Dion singkat yang seketika membungkam mulut Aqila yang melihat kejadian tersebut.

Sementara Dion sendiri wajahnya sudah memerah menahan amarah dengan apa yang sudah Aznan lakukan terhadapnya. Ia ingin mengamuk saat ini juga, tapi karena ada Aqila di depannya, ia tidak bisa melakukannya. Jadi dengan sangat terpaksa ia hanya bisa menahan amarahnya tanpa berkata apapun.

"Jelaskan sekarang? Sekarang kalian berdua nggak ada hubungan apa-apa lagi. Dion milik gue, dan soal nganter lo ke sekolah. Gue udah ngirim gojek kesini sebagai gantinya yang bakal sampai lima menit lagi." ucap Aznan lagi yang memasang wajah menang menatap Aqila, cewek cantik dengan dada yang besar.

"Kita duluan ya, sampai jumpa di kelas." akhir Aznan. Lalu melepaskan rangkulannya terhadap Dion untuk berbalik dan kembali ke motornya meninggalkan Dion yang ia biarkan untuk mengucapkan kata-kata terakhirnya.

"Ehh...maaf." ucap Dion sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Aqila menatapnya malas. "Gue tau lo cowok playboy. Tapi gue nggak nyangka bakal di putusin secepet ini. Dan gue pun kalah saing. Sama cowok pula. Udahlah sana, gedek gue lama-lama" balas Aqila lalu membuang muka dari Dion.

Dion menghembuskan napasnya lesu. Ia merasa kecewa atas apa yang sudah terjadi. Ia tidak mengharapkan hal ini terjadi. Tapi karena si Aznan goblok itu, ia harus mengalaminya.

Tidak bisa di biarkan. Dion tidak boleh diam saja dan menerima perlakuan Aznan yang seenaknya saja mengatur dirinya. Dia juga akan melakukan hal yang sama nanti. Lihat saja. Mungkin akan lebih parah nantinya. Apapun itu, yang penting Dion akan membalas dendam atas kejadian ini.

"Awas lo ya." gumam Dion dengan penuh dendam sambil menatap Aznan yang saat ini fokus dengan ponselnya. Ia menghampiri cowok tersebut lalu setelahnya Dion pun naik ke tempatnya yang berada di belakang dan tanpa malu ia memeluk pinggang Aznan erat dengan kepala yang ia sandarkan di bahunya.

"Ayok sayang, berangkat. Nanti kita terlambat." ucap Dion dengan suara yang ia buat-buat.

Aznan yang menerima perlakuan itu menaikkan satu alisnya mempertanyakan sikap Dion yang berbeda dari dugaannya. Ia pikir Dion akan meledak dan memarahinya. Tapi ini malah bersikap mesra dan menggodanya. Namun ya sudahlah, ini malah jadi hal yang bagus untuk menambah tingkat keberhasilan dari misinya itu. Jadi tanpa pikir panjang, Aznan pun memasukkan ponselnya ke dalam sakunya lalu setelahnya ia pun menyalakan motornya untuk pergi dari sana menuju ke sekolah tempat mereka untuk belajar nantinya.

• • •

Dion kembali mencetak gol untuk yang kedua kalinya. Keringat bercucuran di seluruh tubuhnya tidak membuatnya berhenti untuk berlarian menghampiri kelompoknya untuk memeluk satu sama lain tanda mereka bangga akan apa yang sudah Dion lakukan.

Saat ini adalah waktunya jam olahraga. Namun karena guru penjas mereka tidak hadir. Jadilah mereka memiliki jam kosong yang di isi dengan berbagai kegiatan. Ada yang bermain sepak bola, basket, karet, dan lain sebagainya.

Dion memilih untuk mengikuti kegiatan sepak bola, karena dia memang jago dalam bidang itu. Begitu juga dengan Aznan yang bermain basket di lapangan sebelah tepat di samping lapangan bola. Dan tentu saja mereka akan sering bertemu tatap saat Dion tidak sengaja menendang bola ke arah lapangan basket. Bukan tidak sengaja, ia sengaja melakukannya. Ia hanya ingin menghampiri lapangan basket lalu meneriaki kata-kata cinta untuk Aznan yang hanya tersenyum gaje saat hal itu terjadi.

"Udahan ah mainnya. Capek gue." keluh Wanda sambil mengibaskan baju olahraganya untuk meredakan hawa panas yang ia rasakan.

"Ok. Gue juga udah capek." balas Dion dan mengambil tempat duduk di samping Wanda.

"Ngapain lo disini?"

"Hah?"

"Sana lo samperin pacar baru lo. Beliin minum kek, apa kek. Gimana sih lo, jadi pacar kok nggak perhatian." jawab Wanda.

"Ah elah. Gue kira kenapa. Santai aja kali, gue sama dia tuh sama-sama cowok. Jadi nggak perlu manja yang maunya di perhatiin kayak cewek." ucap Dion.

Mendengarnya membuat Wanda mendorong kepala Dion pelan.

"Lo bego apa gimana sih? Kan lo bilang lo lagi taruhan ama sih Aznan. Kalo lo mau menang ya harus bertindak lah. Siapa tau dengan lo ngasih perhatian kayak gitu, dia bakal baper dan beneran suka sama elo. Iyakan?" ujar Wanda masih berusaha meyakinkan Dion agar pergi dari sebelahnya. Bukan apa, dia malas jika berdekatan dengan Dion saat berkeringat. Dirinya pasti akan jadi lap yang akan membersihkan seluruh keringat itu. Kan Wanda jijik.

Dion menopang dagunya dengan hayalan-hayalan yang mungkin akan terjadi jika dia melakukan apa yang temannya itu ucapkan. Setelahnya dia pun mengangguk-angguk setuju.

"Bener juga ya. Cowok kan biasanya seneng tuh di perhatiin kalo lagi capek. Yaudah deh, gue ngantin dulu yak. Ntar gue balik lagi buat bawain pacar gue minuman." ujar Dion yang sudah berdiri dari duduknya.

"Ya, ya. Terserah lo dah." balas Wanda.

Setelah itu, Dion pun beranjak dari sana menuju kantin untuk membeli minuman untuk dirinya dan juga Aznan. Awalnya dia bingung harus memilih minuman apa untuk Aznan, tapi karena ia tidak tahu. Jadilah dia memilihkan minuman kesukaannya. Yaitu susu coklat.

Dion membayar minuman itu, lalu dengan cepat dia kembali ke lapangan untuk menghampiri Aznan yang kini sedang istirahat dari bermain basket.

"Nih buat lo!" ucap Dion sambil menyodorkan susu coklat yang ia beli tadi.

"Buat gue?" tanya Aznan, namun tangannya mengambil susu itu.

"Iya buat elo. Elo kan pacar gue, jadi udah seharusnya gue beliin minuman. Supaya pacar gue ini nggak capek-capek lagi ke kantin buat istirahat. Gimana, gue pacar yang baik kan?" ucap Dion lalu mulai menyeruput susu coklat kesukaannya.

Aznan tersenyum sambil mengulurkan satu tangannya untuk mengusak rambut Dion yang memang sudah berantakan.

"Iya iya. Lo pacar yang baik. Dan gue cinta sama elo." ucapnya, lalu detik berikutnya suara muntahan yang di buat-buat pun terdengar dari belakangnya.

"Sumpah. Gue geli liat kalian pacaran kayak gitu. Sana-sana cari tempat lain. Ganggu istirahat orang lain aja" usir mereka yang satu tim bersama Aznan.

"Sirik aja lu item!" ucap Dion membalas ucapan teman Aznan sambil dengan lidah yang ia julurkan.

"Maho aja bangga!" balas cowok itu yang bernama Danu.

"Yang penting bahagia!" balas Dion lagi tidak mau kalah.

Aznan yang dari tadi sabar pun, akhirnya menengahi pertengkaran antara mereka berdua. Dia mengalungi bahu Dion yang seketika di tolak mentah-mentah.

"Apa-apaan lo ngerangkul gue dalam keadaan ketek basah begitu? Gue nggak sudi ya!" ucap Dion sambil menjaga jarak satu langkah dari Aznan.

"Yaudah sini gue gandeng. Kita pindah dari sini." ujar Aznan lalu meraih tangan Dion untuk digenggamnya.

Kali ini Dion terima. Dan setelahnya mereka pun beranjak dan pergi dari sana dengan kedua tangan yang saling bergandengan. Banyak dari mereka yang melihat hal itu terlihat jijik, namun ada juga yang menggoda mereka. Tapi sepertinya dua orang cowok populer itu memang tidak punya rasa malu ataupun rasa peduli akan apa yang orang lain ucapkan. Jadinya mereka dengan santai berjalan menuju ke ruang ganti.

"Lo malem ini ikut gue ya?" tanya Aznan setelah gandengan mereka terlepas.

"Kemana dan ngapain?" tanya Dion balik.

"Malem ini gue ada tanding. Jam 8-10 malem. Lo ikut gue ya, semangatin gue biar menang." ujar Aznan sambil satu tangannya menyentuh bahu Dion.

"Wait. Maksud lo tanding itu balap motor?" Aznan mengangguk.

"Terus lo mau gue jadi cheer leader biar lo semangat gitu?" Aznan kembali mengangguk untuk menjawabnya.

"Ogah! Mending gue push rank daripada ngelakuin hal nggak guna kayak gitu." putus Dion bersamaan dengan susu coklatnya yang sudah habis.

"Kok gitu sih? Gue kan pacar lo."

"Gue pacaran nggak pernah jadi pemandu sorak ya, maap!" balas Dion.

Mendengarnya membuat Aznan lesu dan menyerah untuk mengajak Dion pergi bersamanya malam ini. Ia pun akhirnya memilih fokus untuk mengganti bajunya yang sudah basah karena keringat setelah bermain basket tadi.

Dion pun melakukan hal yang sama. Namun otaknya berpikir tentang ajakan Aznan tadi. Ia mencari-cari apa keuntungan dan kerugian kalau dia mengiyakan ajakan itu. Hinga beberapa menit kemudian, dia pun akhirnya memiliki ide yang cerdas saat dirinya teringat akan perbuatan Aznan kepada pacar barunya. Ia tersenyum jail lalu berbalik ke arah Aznan.

"Oke! Gue ikut ke pertandingan lo malam ini." ucap Dion lantang.

Aznan menoleh, namun wajahnya masih terlihat lesu.

"Kalo ke paksa mending nggak usah. Lo kan lebih milih push rank daripada nyemangatin gue." ujar Aznan.

Dion memutar kedua bola matanya malas.

"Elah, gitu aja lo ngambek. Gue nggak ke paksa kok. Gue beneran pengen ikut, gue juga penasaran sama balapan motor yang asli. Bukan di tipi doang. Dan yang lebih penting, gue bakal nyemangatin lo dengan semua kekuatan cinta yang gue punya." ujar Dion terdengar tulus di telinga Aznan, dan tentu saja itu kembali membangkitkan mood-nya yang tadi sempat down.

"Lo seriusan kan?" tanya Aznan. Dion segera mengangguk sebagai jawaban.

Melihat itu Aznan berjalan mendekat ke arah Dion dan merentangkan tangannya. Namun sebelum niatnya terjadi, Dion segera menahannya dengan tangan yang ia taruh di depan wajah Aznan.

"Lo mau ngapain?" tanya Dion.

"Meluk elo!"

"Nggak ada, nggak ada! Badan lo lengket. Gue nggak suka! Udah sana lanjut ganti baju. Ntar gue ubah nih pikiran gue biar nggak jadi ikut." ancam Dion.

Aznan menghembuskan nafasnya mendengar itu. Ia pun menjatuhkan kembali kedua tangannya, lalu melanjutkan kegiatan berganti pakaian seperti yang Dion katakan tadi.

Sementara Dion sendiri sudah tertawa dalam hati mengingat rencana yang akan dia lakukan malam ini sebagai pembalasan dendamnya terhadap Aznan yang sudah beraninya menganggu pacar barunya itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel