BAB 9 PERHATIAN KECIL
Keesokan harinya, tidur lelap Kian terganggu karena dering suara ponsel yang masih tertinggal di ruang tamu apartemen.
Kian bangkit dan melerai pelukan Brenda di tubuhnya. Ia segera bangkit dan berjalan keluar meraih ponsel di saku jaketnya. Kian memeriksa identitas siapa gerangan yang meneleponnya sepagi ini.
"Halo Ayah?" sapa Kian dengan suara serak khas orang bangun tidur.
"Hai Nak, sarapan saja di rumah. Ada sesuatu yang ingin Ayah titipkan kepadamu untuk diselidiki di San Antonio."
"Baik Ayah, saya segera bersiap-siap." Kian mengerutkan dahinya, ia menjadi penasaran apa gerangan yang akan ayahnya titipkan padanya karena keadaan tadi malam tampaknya baik-baik saja, perasaan Kian kembali tidak enak ia khawatir terjadi sesuatu dengan ayahnya itu. Maka Kian segera bergegas masuk ke dalam kamarnya membangunkan Brenda dan dirinya pun segera masuk ke dalam kamar mandi membersihkan diri.
Saat ia selesai mandi, dirinya sudah tidak mendapati Brenda lagi di dalam kamar. Wanita itu sudah membersihkan diri di kamar mandinya yang lain dan sudah meninggalkan apartemennya. Kian merapikan pakaiannya dan meneguk secangkir kopi lalu segera bergegas kembali ke rumahnya.
Brenda menyandarkan punggungnya pada lift seraya menatap pintunya. Hatinya merasa gundah, kembali teringat dengan permainan Kian semalam terasa seperti ada sesuatu yang berbeda. Kian tampak penuh dengan amarah tertahan dan dirinya jelas tidak berani bertanya lebih jauh. Brenda meraih benda pipih yang bergetar sedari tadi dari dalam tasnya. Ah, tambang uangnya ternyata yang menghubungi.
Brenda menatap pantulan dirinya di kaca lift dan segera bergegas keluar dengan langkah lebar. Ia menghentikan taksi dan segera pergi ke rumah pria yang sudah menunggunya. Brenda tahu ia juga harus menyiapkan diri untuk memuaskan nafsu pria lainnya saat ini.
***
Ayu sudah bersiap ke rumah utama bersama dengan Fitri dan Budi. "Sarapanmu sudah selesai Sayang?" tanya Fitri seraya mengeluarkan loyang garlic bread dari oven, aromanya sungguh menggoda dan Ayu penasaran dengan roti itu.
"Sudah," jawab Ayu seraya menaruh piring di wastafel, hari ini tugas Dion untuk mencuci peralatan makan mereka.
Ayu mendekati tempat bibinya berdiri dan memeluk sang bibi dari belakang dan berkata, "Enak banget baunya, seperti roti di Restoran pizza. Ayu dulu pernah dibelikan sekali oleh teman," ujar Ayu seraya mengendus-endus udara.
Fitri mengulum senyum, hatinya terenyuh. Rasa iba dan kasihan meremas hati kecilnya, Ayu sungguh harus berhemat untuk bisa menikmati makanan seperti ini karena ibunya yang sakit-sakitan. Gadis cantik itu memang seayu namanya, sangat mengerti dan memahami keadaan orangtuanya dan tidak ingin menjadi beban mereka.
Fitri dengan manik matanya yang berkaca-kaca berkata dengan lembut kepada Ayu, "Ayu boleh makan semuanya, semampu Ayu. Ayu mau Apple pie? Nanti Tante buatkan." Fitri merasa tenggorokannya tercekat saat mengucapkan kata tante, rasanya batinnya tidak rela jika gadis cantik yang sebenarnya adalah darah dagingnya ini. Tetap memanggil dirinya dengan sebutan tante.
Ayu mencium kedua pipi Fitri sampai menimbulkan suara seperti anak kecil. Dirinya sendiri bingung kenapa dengan Fitri ia bisa bermanja-manja seperti saat ini. "Ayu nggak mungkin menghabiskan semuanya kan tante? Tapi kalau tante mau ajarkan Ayu untuk membuat makanan yang ada di restoran bule itu Ayu tentu mau," ujar Ayu.
"Apa pun untuk Ayu, Tante pasti mau Nak. Hanya satu pinta Tante, Ayu jangan lagi pergi jauh ya?"
Ayu terkekeh menanggapi perkataan tantenya itu, Ayu merasa lucu saja. Memangnya dirinya akan ke mana lagi, bukan?
"Ayu sudah di sini Tante, memangnya Ayu mau ke mana lagi? Ayu cuma punya Tante, Paman dan Bang Dion yang sangat amat Ayu sayangi banget, nget, nget. Pokoknya banyak sayang," ujar Ayu penuh dengan keceriaan. Fitri mencium pipi Ayu dengan penuh kerinduan, gadis itu sungguh sesuai dengan usianya, jika ceria seperti saat ini. Tidak lagi tampak sinar penuh keputusasaan, kali ini Fitri berjanji akan mencurahkan segalanya demi kebahagiaan Ayu. Kebahagiaan dan kehangatan pelukan seorang ibu, yang tidak bisa ia berikan selama delapan belas tahun terakhir ini. Mungkin inilah jawaban atas doanya selama ini. Walaupun dengan cara yang saat tidak ia inginkan, banyak sekali keganjilan dengan kepergian saudara suaminya itu. Untung saja Budi masih bisa mengumpulkan segala sesuatu yang berharga milik kakaknya Damar dan rumah peninggalannya saat ini di kontrakkan dengan pak RT sebagai penanggungjawab.
"Tante, hari ini Ayu ikut ke rumah utama lagi?" Ayu melirik tantenya yang sedang mengemasi kue menjadi beberapa bagian sedangkan dirinya mencuci bekas loyang yang terpakai.
"Iya dong."
"Kalau Ayu hari ini di rumah aja gimana? Besok baru ke rumah utama," pinta Ayu. Entah mengapa ia merasa enggan untuk bertatap muka dengan Kian, tatapan Kian yang seolah mengintimidasi dirinya membuat Ayu gugup dan serba salah.
"Nggak bisa Sayang, Paman udah berpesan kalau Ayu harus ikut ke rumah utama. Tante tahu kamu kemarin ditegur oleh Kian karena seragammu yang ketat ya?"
Ayu mengangguk dan Fitri kembali melanjutkan perkataannya, "Ayu boleh pakai pakaian bebas kok dan jangan takut dengan Kian, sebenarnya dia itu baik. Tapi sejak kematian istrinya dia menjadi sedikit dingin dan menjaga jarak."
"Tetapi sebelum Ayu ke rumah utama, Ayu antar kue dan roti ini ke kantor pemasaran di depan sana ya?" pinta Fitri.
"Ayu nggak tahu yang mana kantornya," jawab Ayu.
"Tenang saja, nanti ada Dony yang antar Ayu ke sana. Jangan khawatir Dony anak yang baik kok."
Ayu tersenyum ramah pada pemuda tampan yang berdiri bersandarkan tiang beranda depan rumah pamannya itu.
"Hai," sapa pemuda itu.
"Hai juga, kamu pasti Dony," tebak Ayu.
"Benar dan kamu pasti Ayu Soraya, cantik mirip dengan Nyonya Fitri," celetuk Dony.
"Selamat Pagi Dony, terima kasih dengan pujiannya, " timpal Fitri yang sudah menyusul di belakang Ayu.
"Kue hari ini tampak lebih banyak dari biasanya Nyonya?" tanya Dony seraya meraih keranjang yang di tenteng oleh Fitri dan Ayu.
"Iya Sayang, ini sebagai ucapan syukur dan sapaan dari Ayu sebagai bagian dari kita sekarang," jawab Fitri seraya mengusap kepala Ayu dengan sayang.
Dony menatap Fitri dengan berbagai permakluman, ia sadar Ayu pasti lebih dari sekedar keponakan, sangat jelas kalau mereka berdua memiliki kemiripan. Bisa jadi dahulu saat Fitri muda, dirinya sama persis dengan Ayu saat ini.
"Ya sudah, kalian segera berangkat. Keburu matahari semakin tinggi. Kau pasti sibuk bukan?" tambah Fitri seraya menghela kedua anak muda itu ke arah kendaraan Dony.
"Iya Nyonya, saya harus memastikan sapi baru tidak ada yang kabur dari padang utara dan juga memeriksa mesin cukur domba."
"Wow, kamu melaso sapi banteng?" tanya Ayu dengan takjub, menatap Dony dengan ketertarikannya.
Dony tersenyum tipis, "Sapi di sini memang adalah hasil silangan banteng Angus dari skotlandia dan sapi potong Brahman dan kami menyebutnya dengan nama Brangus."
"Pantas saja mereka besar-besar ya, apakah mereka adalah jenis yang sama dengan yang di Australia?" tanya Ayu lagi.
"Bagaimana kamu tahu?" Dony balik bertanya, ia tak meyangka Ayu bisa tahu tentang hal itu.
"Aku dulu pernah ikut temanku untuk berlibur ke Australia selama dua minggu dan tinggal di peternakan milik kakeknya. Aku perhatikan jenis sapi di sini sama dengan yang di sana," terang Ayu.
"Ya betul, kami juga mengeksport ke luar negeri termasuk ke Australia juga."
