Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Keripik Kentang

“Kau juga Akmal, lakukan hal yang sama seperti Kalila di papan tulis sebelah kiri,” kata Pak Jamal sambil menatap Akmal yang masih tak percaya kalau dirinya lagi-lagi dikalahkan.

Tanpa membuang-buang waktu, Akmal segera mengambil spidol di meja guru. “Maafkan aku, Kalila …,” bisik Akmal malu-malu. Matanya menyusupi wajah Kalila yang manis. Wajahnya yang blasteran terkadang membuat Akmal gerogi untuk menatapnya terlalu lama. Apalagi kalau tak sengaja pandangannya saling beradu. Mata birunya amat menawan siapa pun yang memandang.

“Tidak apa-apa Akmal. Aku malah menikmatinya,” jawab Kalila sambil tersenyum manis, tak seperti biasanya. “Ngomong-ngomong, tadi ada apa di luar?” senyuman itu memudar seketika.

“Ah entahlah, aku tidak melihatnya dengan jelas. Tapi katanya ada anak perempuan kelas sepuluh yang jatuh pingsan di depan ruangan terkunci.” Akmal menceritakannya dengan singkat, mata kirinya sedikit berkedip memberi sebuah isyarat.

Kalila mengangguk. Ia mengerti pesan tersembunyi yang Akmal berikan padanya. “Lalu?” Kalila menoleh ke arah Pak Jamal.

“Lalu dia dibawa tim PMR yang datang terlambat, hahaha … kamu harus melihat betapa lucunya mereka saat berlari tunggang langgang seperti dikejar hantu. Apalagi saat salah satu dari mereka hampir saja terjatuh karena tali sepatunya terinjak temannya sendiri.” Akmal tak sadar kalau dia tertawa terlalu keras.

“Sudah salah, masih bisa tertawa.” Pak Jamal menyindir mereka berdua dengan nada ketus.

Mendengar sindiran Pak Jamal, keduanya terdiam seribu bahasa, membisu, hanya menyisakan suara decit spidol yang bergesekkan dengan papan tulis putih yang licin. Tinggal beberapa kalimat lagi hukumannya akan selesai, dan mereka bisa kembali duduk manis mengerjakan soal matematikanya yang teramat pahit. Itu pun jika waktunya masih tersisa banyak.

***

“Kukira kamu berhasil menyontek kerjaan Hafni,” ucap Akmal membuka pembicaraan di antara mereka berdua.

Kalila mendengus lemah. Lalu kembali tersenyum hambar.

“Aku kira juga begitu. Tapi entah bagaimana Pak Jamal sudah berdiri di belakangku tanpa aku sadar kapan dia masuk kelas.” Kalila tertawa kecil. Anggun sekali.

“Aneh memang, hanya dia guru yang tidak bisa kukerjai, dia selalu bisa menebak sepuluh langkahku ke depan,” keluh Akmal seraya mengembuskan napas lelahnya.

“Kalian juga tidak sadar kalau aku tidak benar-benar keluar kelas waktu itu.” Hafni tiba-tiba muncul dari belakang, membuat Akmal dan Kalila kaget setengah mati.

“E-eh, kamu sembunyi di mana?” tanya Akmal terbata-bata.

“Aku di belakang Kalila,” jawabnya datar.

“Maksudku waktu di kelas, bukan sekarang!” sahut Akmal setengah kesal, Kalila tertawa melihat mereka berdua.

“Iya, aku di belakang Kalila.”

“Kok aku gak tahu ada kamu di belakang?” Kalila ikut bertanya.

“Haha, kalian ini bodoh juga ya,” kata Hafni sambil tertawa lepas.

“Apa kamu bilang!” sentak Akmal tidak terima.

“Sudahlah kalian berdua …,” lerai Kalila. “Kamu mau apa ke sini? Mau ngejek kami yang dihukum gara-gara nyontek jawaban kamu?” tanya Kalila sambil menatap tajam ke arah Hafni.

“Kalau aku mau ngejek, tinggal aku lakukan tadi saja langsung di depan kelas. Benar, kan?” Hafni mengangkat bahunya.

“Lalu?” potong Kalila.

“Aku hanya ingin menawarkan kerja sama pada kalian.”

“Hah? Kerja sama?” Kalila memicingkan matanya. Ia berusaha menebak-nebak apa yang ada dalam pikiran Hafni.

Akmal tak banyak bicara. Dia tengah menatap dalam-dalam mata Hafni yang dipenuhi kesombongan. Ada perasaan aneh yang menghampiri benaknya. Perasaan itu mengatakan kalau Hafni tak bisa dipercaya begitu saja.

“Aku penasaran dengan tragedi saat ujian matematika tadi. Sebenarnya kejadian itu bukan hanya sekali, dia orang ketiga yang menjadi korban. Tapi entah korban apa, sampai saat ini belum ada yang tahu penyebabnya ….”

Belum selesai Hafni menjelaskan, Akmal menyerobot, “Lalu, kerja sama apa yang kamu mau dari kami?”

“Kamu pasti menyadari kemampuanmu, Akmal. Kau sangat matang dalam membuat konsep dan strategi, kecuali jika dihadapkan pada Pak Jamal. Semua orang seharusnya tahu itu. Dan kamu Kalila, kemampuan-kemampuan anehmu selalu membantu menyelesaikan banyak masalah. Seperti meniru tulisan orang misalnya, menyerupai suara orang lain, itu semua sangat kubutuhkan.” Hafni mencoba membujuk mereka berdua.

Mendengar alasan Hafni meminta bantuan pada mereka, cukup membuat alis Akmal terangkat. Baru kali ini ada seseorang yang menyadari kemampuan mereka berdua sampai sedetail itu. Akan tetapi yang menjadi tanda tanya besar adalah: sejak kapan Hafni memerhatikan semua hal tentang mereka?

Lima menit terbuang begitu saja dengan suasana hening di antara mereka bertiga. Ketiganya tanpa sengaja membuat suasana taman lengang seketika, berganti suara burung-burung liar yang saling bersahutan. Dedaunan berjatuhan diterpa angin sepoi-sepoi. Tak jarang beberapa helainya menimpa mereka bertiga.

Hafni memahami arti keheningan yang tercipta ini. Dia tak mau mengganggu Akmal dan Kalila yang tengah berpikir.

Sedangkan bagi mereka berdua, semua ini bukan sekadar kerja sama. Lebih dari itu, jati diri yang telah lama mereka rahasiakan selama di sekolah, terancam akan terbongkar jika mereka menentukan pilihannya dengan gegabah.

Setelah lama merenung, Akmal dan Kalila saling tatap dan mengangguk. Tak ada sedikit pun bisik yang keluar dari mulutnya. Mereka hanya berkomunikasi lewat kedipan dan anggukan kepala. Bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh keduanya.

Seraya menepis sehelai daun yang jatuh di kepalanya, Akmal berkata, “aku tidak tahu alasan lain yang membuatmu percaya pada kami berdua. Tapi, kamu sendiri mengerti bukan, kalau kami tidak mungkin memutuskannya sekarang?” Akmal mengerutkan dahinya.

Hafni menyeringai seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku mengerti, tenang saja.” Senyuman tipis penuh arti terukir di bibirnya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel