Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Ruangan Ini Terkunci!

Pukul delapan pagi.

Keadaan sekolah sedang sangat tenang, semua siswa dipaksa serius untuk menghadapi berpuluh-puluh soal mematikan di hadapannya. Seakan tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Hingga semilir angin yang berembus membawa debu dan dedaunan yang jatuh pun dapat terdengar dengan jelas ketika sampai di tanah. Bagaimana tidak, semua kelas tengah mengerjakan soal ujian akhir, matematika.

Tak lama kemudian keheningan kelas berganti suara decit penghapus dari mereka yang panik, takut kalau pilihannya adalah jawaban yang salah. Mereka yang tidak percaya diri berkali-kali menghapus jawabannya hingga meninggalkan noda bekas penghapus di lembar jawabannya. Tak sedikit pula mereka yang mengerjakan semua soal tanpa rasa ragu. Bahkan tanpa menghitungnya sama sekali.

Lain lagi dengan seorang siswa berambut hitam kemerahan yang hari ini lupa membawa kartu peserta, dia malah melamun seraya menatap ke luar jendela. Sembari melamunkan khayalnya, ia mengetuk-ngetuk dagu lancipnya dengan pensil yang ia pegang. Berharap ada keajaiban yang datang menyelamatkannya dari soal-soal matematika ini. Padahal sudah untung dia masih diperbolehkan ikut ujian.

Namun tak ubahnya seperti lama waktu hidup seekor kupu-kupu, ketegangan yang diakibatkan soal-soal itu tak bertahan lama. Baru sepuluh menit sejak ujian dimulai, sebuah teriakan yang amat keras terdengar dari luar. Suaranya terdengar hingga tiga kali. Sampai-sampai semua warga sekolah yang mendengar jeritannya panik dan berhamburan meninggalkan kelas. Mereka berlari tunggang-langgang tanpa sadar bahwa soal ujian matematika akan tetap menunggu untuk diselesaikan tanpa toleransi waktu.

“Sepertinya ini keajaiban yang datang menyelamatkanku!” ucap anak itu dalam hatinya. Ia menoleh ke arah anak perempuan yang duduk tak jauh dari sampingnya, kemudian mengedipkan matanya yang bulat penuh dan berwarna hitam itu. Anak perempuan itu mengangguk mengerti.

Seluruh siswa yang dikerubungi rasa penasaran akan teriakan itu tak lagi bisa dibendung. Mereka berkerumun memadati asal lokasi teriakan itu. Yang lebih tepat untuk dilakukan sekarang hanyalah dengan ikut keluar bersama mereka, itulah yang terbesit dalam pikiran Pak Jamal, seorang guru Matematika bertubuh tinggi ideal dengan muka ganteng bak artis Korea yang sedang mengawasi jalannya ujian di kelas XI IPA 2.

Setelah memastikan semua peserta ujian yang diawasinya keluar, dia segera mengunci pintu kelas untuk menjamin bahwa tak ada satu pun siswa yang curang dengan menyontek hasil kerja temannya.

Tapi usahanya sia-sia. Anak tanpa kartu ujian itu dengan santainya bersembunyi di balik gundukkan perkakas kebesihan kelas. Dengan tersenyum licik, pupil matanya yang hitam pekat melihat ke kiri-kanan dari balik sapu dan gagang pel. Setelah yakin bahwa hanya dia seorang yang ada di kelas, ia buru-buru keluar dari tempat persembunyiannya, lantas menyontek lembar kerja dengan nama “Hafni”, siswa tercerdas di sekolah ini.

“Haha, aku cerdik bukan? Cerdas dan licik,” gumamnya dalam hati sambil menyalin hasil pekerjaan Hafni dengan santainya. Dia merasa hebat dengan rencana dadakan yang ia buat.

“Kamu pasti sedang berpikir bahwa dirimu cerdik. Iya kan, Akmal?” kata Pak Jamal dengan senyum yang tak kalah liciknya. Dia tiba-tiba muncul dari jendela kelas paling belakang, membuat kaget anak bernama Akmal itu.

“Sudah kuduga ini terlalu mudah untuk menghindari pengawasan seorang Pak Syarifuddin Jamal,” ujar Akmal sambil menahan luapan rasa kagetnya.

“Kamu mau Bapak beri nilai nol atau segera keluar dari kelas bersama teman-temanmu yang lain?” tanya Pak Jamal seraya membuka kunci kelas.

“Iya Pak, saya keluar …,” jawab Akmal lesu sekali. Langkahnya gontai meninggalkan kelas.

Seusai menaruh lembar jawabannya, Akmal ikut keluar mengerumuni lapangan yang sudah penuh dengan sesak manusia-manusia penasaran. Hampir tak ada celah untuk terus merangsek ke depan bagi siapa pun yang ingin melihatnya lebih dekat. Begitu pula dengan Akmal yang dengan susah payah tetap tak mampu maju lebih jauh. Dia terganjal beberapa siswa lain yang juga ingin tahu atas apa yang terjadi di depannya.

Begitu hampir sampai di barisan terdepan, dia berhenti lantas mengernyitkan dahinya. Dia seperti tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya.

“Tunggu! Aku tidak boleh terlalu dekat dengan tempat kejadian!” pikir Akmal sambil menahan kakinya yang hendak melangkah.

Di sisi pikirnya yang lain, Akmal masih sempat menyeringai. Ia merasa menang. Pak Jamal mungkin tidak tahu kalau yang bersembunyi di kelas tadi bukan hanya dia, melainkan ada satu teman perempuannya yang saat ini pasti tengah menyalin hasil kerja Hafni dengan rapi. Dia percaya, temannya itu pasti akan menuliskan jawaban di lembar miliknya pula dengan kepandaiannya meniru tulisan orang lain.

Sedangkan di depan sana, tepat di depan pintu ruangan kecil yang selama ini selalu terkunci, seorang siswi kelas sepuluh tengah terbaring pingsan. Tak ada yang tahu kenapa dia bisa sampai pingsan dan berteriak tiga kali. Selain itu, tak ada pula yang mau maju terlalu dekat, apalagi menolongnya bangun dari sana.

Mana mungkin ada hantu di siang bolong seperti ini, pikir mereka semua yang sedang berkerumun. Walaupun kata-kata penenang yang keluar dari mulut mereka itu hanyalah untuk menutupi kepecundangannya saja. Sejatinya, mereka sendiri ketakutan melihat kejadian ini. Jangankan hendak menolong, mendekat saja mereka tidak berani.

Dari jarak yang tak begitu jauh, terlihat tiga orang tim PMR berlari gesit walau dengan gerak kaki yang ceroboh dan tali sepatu yang belum diikat. Mereka bertiga sama tinggi seperti anak-anak PMR kebanyakan. Hampir saja mereka terjatuh karena menginjak tali sepatu temannya yang lain. Mereka membawa tandu dan kotak P3K. Semua orang yang menghalangi jalan seketika menepi agar mereka bisa meraih siswi yang tengah pingsan itu dan segera memberinya pertolongan pertama.

Kerumunan yang sedari tadi mengitari sang gadis pun kini dibubarkan dengan paksa oleh kepala sekolah melalui pelantang yang tersebar di setiap sudut bangunan sekolah. Tak lupa para pengawas ujian juga ikut dikerahkan untuk membantu membubarkan mereka yang masih bersikeras tak mau kembali ke kelas untuk mengerjakan ujiannya. Meski sebenarnya rasa penasaran para pengawas itu pun sama besarnya dengan para siswa.

Dengan langkah santai, Akmal kembali menuju kelasnya. Dari raut mukanya ia terlihat santai, seperti tak ambil pusing dengan apa yang menimpa adik kelasnya tadi. Meski begitu, dalam hatinya ia berusaha menenangkan segala prasangkanya. Mungkin anak yang tadi itu bertemu sosok hantu penunggu ruangan, atau memang dijaili teman-temannya yang usil, hatinya menghibur diri sendiri.

Meski jika dipikir lebih masak lagi, semua itu terlalu kejam untuk sekelas keusilan siswa SMA. Akmal lantas membuang segala kemungkinan konyol yang sedari tadi menggelayuti pradugannya. Yang terpenting baginya kini adalah, semua soal matematikanya sudah selesai. Dan tugasnya di SMA ini rampung tepat waktu.

Akan tetapi bayangannya yang terlampau percaya diri setinggi langit itu runtuh seketika. Dia dibuat terkejut begitu melihat teman perempuannya tengah dihukum di depan kelas. Tangannya tak henti menulis kalimat ‘Aku anak yang jujur’ seratus kali di papan tulis. Pak Jamal memang bukan seorang guru biasa. Akmal tak habis pikir, kapan Pak Jamal kembali ke kelas dan memergoki temannya lebih cepat darinya? Padahal saat di kerumunan tadi, Pak Jamal masih berada di dekatnya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel