Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Identitas

Ruang guru pada pukul empat sore amat sepi. Semua guru sudah pulang membawa semua hasil kerja siswa yang harus mereka periksa. Kebanyakan memang melakukannya demikian. Berbeda dengan Pak Jamal yang memilih menyelesaikan semuanya di sekolah. Dia tak mau susah-suah membawa tambahan pekerjaan ke rumahnya. Hanya dia yang memerika hasil kerja anak didiknya di ruang guru. Sendirian.

Sambil menyantap keripik kentang, tangannya begitu lincah memeriksa berlembar-lembar kertas ujian. Entah berapa ratus lembar tumpukan kertas yang dia periksa seorang diri di mejanya. Pak Jamal hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk menyelesaikan semuanya. Termasuk tiga tumpuk lembar ujian guru lain yang meminta bantuan padanya. Tentunya mereka memberi beberapa rupiah sebagai gantinya.

Setelah semuanya selesai, ia beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan menuju loker guru yang terletak di sudut paling belakang ruangan. Tangan kirinya meraih kunci kecil yang tergantung di sudut dalam lokernya. Tak lupa juga dia mengambil jaket kulit hitamnya, lantas mengenakannya. Amat cocok jaket itu membalut tubuh atletisnya dengan tinggi sekitar 180 sentimeter. Mungkin faktor hobinya pula dia dapat memiliki tubuh setegap itu. Karena selain menjadi guru Matematika, dia juga mengajar di klub basket sekolah.

Kunci kecil yang baru saja dia ambil ternyata bukan kunci motor, melainkan kunci pintu perpustakaan mini yang terletak di dalam perpustakaan sekolah. Ruangan yang selama ini tak pernah dimasuki oleh orang lain selain dia dan kepala sekolah.

Dalam keheningan yang membalut suasana sekolah sore hari ini, dia masuk sendirian ke dalam ruangan gelap itu. Tangannya meraih sebuah buku berdebu tebal. Kepalanya tetap waspada menengok ke setiap arah, memastikan kalau di ruangan ini hanya ada dia seorang. Entah buku macam apa yang tengah diapegang. Yang pasti, buku itu sepertinya lebih berharga daripada motornya yang bahkan kuncinya saja lupa diacabut.

Sepinya ruangan kemudian pecah begitu ponselnya berdering. Tak menunggu lama, Pak Jamal mengangkat telepon yang masuk.

“Hallo! Jamal! Kau tak perlu bicara okay? Cukup dengarkan saja apa yang aku katakan padamu. Kau tak punya banyak waktu untuk menyanggah.” Dari logatnya, pemilik suara itu terdengar bukan orang Indonesia.

“Sepertinya pekerjaanmu akan bertambah berat mulai detik ini. Namun aku percaya kalau aku tak salah memilih orang untuk kutugaskan di sekolah itu. Dulu aku pernah menitipkan dua orang agen muda padamu, bukan? Mereka rekan kita. Tentu kau telah mengenal siapa mereka berdua tanpa aku harus mengenalkannya padamu. Jaga mereka baik-baik dari agen lain yang juga menyusup ke sekolah itu. Aku tak tahu apa tugasnya, namun firasatku buruk pada satu agen itu. Sebab dia bukan rekan kita. Dan satu orang agen itu pun tentunya kau sudah tahu kan? Aku anggap iya sebab kau tak sebodoh itu untuk tak menyadari siapa orang-orang yang berada di sekelilingmu.

“Namun yang membuatku khawatir adalah, ternyata si penulis Buku Rahasia itu disekap di salah satu ruangan sekolah tempat kau mengajar. Dan selain satu agen muda dari markas lain itu, ada satu orang yang mesti kau waspadai. Dia tengah mengincar si penulis buku. Kemungkinan besar dia adalah komplotan si penyekap. Dia amat licin. Aku sama sekali tak meragukan kemampuanmu, tapi dia sangat berbahaya. Jangan lengah Jamal! Hanya itu informasi yang mampu kuberikan padamu setelah tiga bulan ini.”

Telepon itu langsung ditutup. Pak Jamal menarik napas dalam, lantas membuangnya perlahan ke sembarang arah.

“Tak kusangka kalau buku ini akan membuat banyak masalah ….” Pak Jamal kembali menaruh buku itu di raknya.

***

“Kamu ngerasa gak sih Kal?” tanya Akmal tidak jelas.

“Apanya?” Kalila balik bertanya. Matanya mengikuti kucing putih yang lewat di depannya.

“Hafni sepertinya tahu siapa kita sebenarnya. Aku khawatir kalau semua ini hanyalah jebakannya saja,” jawab Akmal lirih.

“Menurutku, bukan itu masalahnya,” sanggah Kalila.

“Lalu?” Akmal mengernyitkan dahinya, matanya menatap Kalila dalam-dalam.

“Aku khawatir, kalau dia adalah kita ….”

Akmal terperanjat kaget mendengar jawaban Kalila yang penuh makna itu. Kalimat singkat penuh rahasia yang tak mudah dimengerti oleh sembarang orang.

“Kalau begitu ….”

“Kita harus menerima tawarannya, bukan?” potong Kalila.

“Benar!” sahut Akmal. “Dan seperti biasa, aku akan membuat rencana terlebih dahulu sebelum dia menjebak kita. Gelagatnya memang mencurigakan. Aku bahkan tak pernah mencurigainya sebagai seorang ….”

“Ssst!” potong Kalila seraya membekap mulut Akmal dengan tangannya. Seketika pipi Akmal memerah. Ia tangkas melepaskan bekapan Kalila.

“Kenapa?” Akmal bertanya lirih.

“Aku mendengar langkah seseorang dari balik semak itu ….” Kalila menunjuk semak-semak di belakang kursi mereka.

Setelah menunggu beberapa menit tanpa bersuara. Keduanya menunggu benda apa yang mungkin bersembunyi, kemudian keluar dari semak-semak itu. Akan tetapi, mereka berdua dikejutkan hanya dengan munculnya dua ekor anjing dari tumpukan rumput liar itu. Keduanya mengembuskan napas lega sambil mengusap dada.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel