Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Jika Anda menyentuh hati bersama seseorang, cinta Anda akan abadi

Mereka akhirnya tiba kembali di Venice. Rob segera berpamitan dengan alasan ada urusan penting, meski Aideen tahu itu hanya dalih. Rob selalu memberikan ruang kepada tuannya untuk menikmati waktu tanpa gangguan, sebuah sikap yang menunjukkan kesetiaan yang tak tergoyahkan.

Sebagai pelayan pribadi, Rob sudah mengabdi selama lima tahun, menggantikan pamannya yang mendapatkan tugas lain. Dengan usia hanya terpaut dua tahun dari Aideen, hubungan mereka lebih menyerupai saudara daripada majikan dan bawahan.

Kota Venice sore itu dipadati turis dan warga lokal. Suasana Sabtu yang sibuk membuat Aideen memutuskan untuk berjalan kaki, meninggalkan motornya. Freya mengikutinya dengan setengah hati, tatapan tajam Aideen menjadi alasan utama di balik kepatuhannya. Tidak ada gunanya berdebat dengan bos mafia itu.

Tanpa banyak bicara, Aideen menuntun langkah mereka ke port gondola. Ia tahu Freya diam-diam ingin mencoba gondola, meskipun gadis itu terlalu keras kepala untuk mengakuinya.

Namun, keinginan sederhana ini berubah menjadi drama kecil. Freya menolak mentah-mentah, bahkan memeluk tiang di port gondola, membuat orang-orang sekitar memperhatikan. Aideen hanya mendesah frustrasi, lalu memberikan ancaman lembut tapi cukup tegas hingga akhirnya Freya menyerah.

Gondola yang mereka naiki adalah jenis khusus untuk dua orang, lengkap dengan meja kecil berisi camilan dan minuman. Freya menatap pemandangan itu dengan ekspresi campuran antara takjub dan canggung. "Serius? Harus yang seromantis ini?" gumamnya pelan.

Aideen hanya mengangkat bahu, mengisyaratkan agar Freya menikmati perjalanan. Tanpa banyak protes lagi, mereka duduk di gondola yang perlahan mengarungi kanal-kanal Venice. Matteo, gondolier mereka, mendayung dengan penuh keahlian sambil menyanyikan lagu klasik. Suaranya yang merdu menjadi latar sempurna bagi keindahan kota ini.

Seperti yang sering kita lihat di film dokumenter, pendayung gondola biasanya mendayung sambil menyanyikan lagu seriosa ala Luciano Pavarotti dan Andrea Bocelli. Matteo pun melakukan hal yang sama dengan menyanyikan lagu romantis 'O Sole Mio,' yang pernah dibawakan oleh Luciano dan Andrea.

"Lihat itu, jembatan di depan," ujar Aideen, menunjuk Bridge of Sighs. Freya memandang dengan penuh rasa ingin tahu. Aideen menjelaskan singkat tentang sejarahnya, menghindari detail berlebihan yang tidak perlu. "Dulu, para tahanan melewati jembatan itu sebelum menghadapi hukuman. Sekarang, katanya kalau pasangan berciuman di bawah jembatan saat matahari terbenam, cinta mereka akan abadi."

Freya hanya mendesah kecil. “Mitos yang bagus, tapi sayangnya ini bukan situasi yang cocok untuk itu.”

Aideen terkekeh, senyumnya tipis tapi penuh arti. “Tenang saja, aku tidak punya niat untuk mengikuti mitos itu.”

Selama perjalanan, Freya mulai sedikit lebih rileks. Meski awalnya merasa canggung, ia tak bisa mengelak dari pesona kota Venice yang memikat. Kanal-kanal sempit, bangunan tua yang penuh cerita, dan suasana tenang di atas gondola memberikan kesan mendalam yang tak terlupakan.

Setelah 40 menit berlalu, gondola kembali ke port awal. Freya turun dengan hati-hati, sementara Aideen dengan santai melangkah keluar. “Lapar?” tanya Aideen, menatap Freya yang tampak sedikit kelelahan.

“Tidak, masih kenyang. Lalu, mau kemana lagi?”

Aideen berpikir sejenak sebelum menjawab, “Ke Dorsoduro. Ada banyak toko di sana. Kita beli oleh-oleh.”

Freya mengangguk, mengikuti langkah Aideen yang panjang. Distrik Dorsoduro menawarkan suasana yang berbeda — lebih tenang tetapi tetap hidup. Toko-toko kecil berjajar di sepanjang gang sempit, menjual berbagai barang khas seperti topeng Venetian. Freya sesekali berhenti untuk melihat-lihat, sementara Aideen dengan sabar menunggu, menunjukkan sisi lain dari dirinya yang jarang terlihat.

Di tengah perjalanan, Freya akhirnya memberanikan diri untuk berkata, “Terima kasih, Aideen. Hari ini lumayan menyenangkan.”

Aideen hanya melirik sekilas, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Kamu terlalu banyak bicara biasanya, tapi aku senang kamu menikmatinya.”

Sore itu berakhir dengan kehangatan yang tak terduga di antara mereka. Meski awalnya penuh ketegangan, momen-momen kecil seperti ini perlahan mempererat hubungan mereka, memberikan warna baru dalam dinamika yang selama ini terasa dingin.

Sampai akhirnya, mereka tiba di sebuah jalan kecil bernama SotoPortego dei Preti. Di antara dua rumah yang berdiri kokoh, terdapat sebuah ukiran batu berbentuk hati tepat di atas pintu masuk. Batu itu tampak berbeda dari batu-batu lainnya, seolah memiliki daya tarik tersendiri.

Freya menghentikan langkahnya, matanya terpaku pada batu berbentuk hati tersebut. "Aneh, ya? Tapi lucu juga," gumamnya sambil memiringkan kepala. Ia mengamati bagaimana orang-orang, baik pria maupun wanita, menyentuh batu itu dengan penuh kesungguhan.

"Penasaran banget, nih," bisiknya sambil tersenyum kecil. Ia lalu mencoba menyentuh batu tersebut. Namun, tubuh mungilnya membuat usahanya sia-sia. Ia berjinjit, bahkan melompat-lompat kecil, tetapi tetap saja tidak sampai.

Aideen, yang berdiri di belakangnya, menyilangkan tangan sambil tersenyum geli. "Kamu itu pendek, Freya," katanya santai, membuat Freya menoleh dengan tatapan tajam.

"Diam kamu! Aku hampir menyentuhnya tadi," bantah Freya, kembali mencoba meraih batu tersebut. Namun, usahanya tetap tak membuahkan hasil. Ia mulai frustrasi, sementara Aideen hanya tertawa kecil melihat tingkahnya.

Tanpa peringatan, Aideen melangkah mendekat dan, dengan satu gerakan, memeluk pinggang Freya dari belakang. "Aideen! Apa-apaan kamu?" serunya kaget. Tapi sebelum ia sempat melanjutkan protesnya, Aideen sudah mengangkat tubuhnya dengan mudah.

"Pegang tanganku," kata Aideen pelan, tangan kanannya menggenggam tangan Freya dengan erat. Bersama-sama, mereka menyentuhkan tangan Freya ke batu berbentuk hati itu. Sentuhan itu terasa hangat, dan Freya sempat terdiam sejenak.

Setelah menurunkan Freya, Aideen tersenyum puas. "Nah, sekarang kamu bisa bilang kalau kamu berhasil menyentuhnya."

Freya mendengus kesal, pipinya memerah. "Dasar seenaknya saja mengangkat orang begitu. Lain kali tanya dulu, tahu!"

"Kamu yang terlalu lama mencoba. Saya cuma membantu," jawab Aideen santai, lalu melangkah pergi.

Freya mengejarnya dengan langkah terburu-buru. "Eh, tunggu! Jangan pergi begitu saja. Kita belum selesai bicara!"

Aideen berhenti di depan sebuah kedai gelato. Ia menoleh dengan senyuman tipis yang sedikit menggoda. "Kalau masih ngomel, saya nggak jadi belikan kamu gelato."

Perubahan ekspresi Freya begitu cepat. Dari cemberut menjadi berseri-seri dalam sekejap. Matanya berbinar penuh harap. "Oke, oke, aku nggak ngomel lagi. Ayo beli gelatonya," katanya, nyaris tanpa jeda.

Aideen tertawa kecil, lalu masuk ke kedai bersama Freya. Mereka memilih rasa favorit masing-masing dan duduk di bangku dekat jendela. Sambil menikmati gelato, Freya terus bercerita tentang berbagai hal remeh, mencoba mengalihkan perhatian dari kejadian tadi.

Namun, di tengah kebahagiaan kecil itu, mitos tentang batu berbentuk hati itu terlintas di benak beberapa orang yang melihat mereka. ”Jika Anda menyentuh hati bersama seseorang, cinta Anda akan abadi. Namun, jika Anda masih sendiri, cinta sejati akan datang dalam waktu setahun.”

Setelah gelato habis, Aideen mengajak Freya ke sebuah restoran bernama Bistrot de Venise. Interiornya memukau, didominasi warna merah maroon yang elegan. Freya merasa canggung saat duduk di salah satu meja di dalam restoran. "Aideen, ini pasti mahal," gumamnya pelan.

Aideen hanya tersenyum. "Tenang saja. Anggap ini traktiran untuk menemani saya jalan-jalan."

"Tapi aku jadi merasa nggak enak. Dari kemarin kamu terus mentraktirku. Aku nggak mau dianggap matre," keluh Freya, wajahnya sedikit murung.

"Saya tahu kamu bukan seperti itu," jawab Aideen ringan. "Lagipula, saya suka melakukannya."

Freya menghela napas panjang, berusaha menerima penjelasan Aideen. Meski masih merasa sedikit canggung, ia mulai menikmati suasana. Setelah makan malam selesai, mereka melanjutkan perjalanan.

"Ayo ikut saya," kata Aideen tiba-tiba sambil menggenggam tangan Freya. "Ada tempat lain yang ingin saya tunjukkan."

Freya hanya mengangguk, kali ini tanpa banyak protes. Ada sesuatu dalam cara Aideen menggenggam tangannya yang membuatnya merasa nyaman. Mungkin, ia mulai terbiasa dengan kehadiran pria itu. Atau mungkin, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebiasaan.

-To Be Continue-

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel