Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Jangan iri, Freya. Hidupmu juga berharga

Freya duduk gelisah di sudut kafe, menunggu kedatangan Aideen yang tak kunjung tiba. Selembar majalah bisnis tergeletak di atas meja, menarik perhatiannya karena semua majalah travel sudah selesai ia baca. Walaupun tak paham isi majalah itu, ia membuka halamannya satu per satu, berpura-pura tertarik agar tidak terlihat bosan.

“Ehem.”

Suara deheman membuat Freya menoleh, di depannya ada Aideen berdiri bersama Rob. Aideen segera duduk di samping Freya, sementara Rob mengambil tempat di depan mereka.

“Akhirnya datang juga,” gumam Freya kesal, matanya masih tertuju pada halaman majalah.

Aideen hanya tersenyum tipis. Pandangannya jatuh pada majalah yang dipegang Freya. Di cover depan, terpampang foto dirinya mengenakan setelan jas. Wajahnya terpancar serius di dalam kabin jet pribadi. Aideen menelan ludah, merasa sedikit gugup.

“Freya,” ujar Aideen, mencoba mengalihkan perhatian. “Kamu sudah pesan apa saja?”

“Ravioli, gelato, latte, sama tiramisu,” jawab Freya datar, tanpa mengangkat pandangan.

Aideen melirik Rob, dan Rob membalas dengan ekspresi tenang. Tapi ketegangan jelas terasa. Halaman berikutnya dalam majalah itu memuat artikel panjang tentang Aideen beserta fotonya yang lebih detail. Aideen sangat berharap Freya tidak menyadarinya.

Namun, seperti mendengar doa yang tidak terkabul, Freya membalik halaman. Matanya langsung tertuju pada foto seorang pria di kabin pesawat. Ia mengernyitkan dahi, lalu menatap Aideen.

“Aideen William Mahardika? Itu kamu, ya?” tanyanya polos, menunjuk foto itu dengan ekspresi bingung.

Aideen terdiam sesaat. “Iya,” jawabnya pelan, sambil menatap Rob yang mulai terlihat tegang.

Freya tidak langsung merespons. Ia hanya mengangguk pelan, lalu kembali melihat majalah tersebut. “Oh, aku sering dengar nama itu di kantor. Orang-orang selalu membicarakanmu.”

“Kenapa? Mereka kenal aku?” tanya Aideen, mencoba tetap santai.

“Enggak juga. Tapi mereka suka ngefans. Ada yang panggil kamu Mr. Perfect, suami online, atau pacar impian. Aku sendiri malah capek mendengarnya.” Freya meletakkan majalah itu kembali ke meja dengan ekspresi malas. “Apalagi Mbak Tita, temen sekantorku. Wallpaper komputernya aja fotomu, bukannya anak atau suaminya.”

Aideen tertawa kecil, meski dalam hatinya ia masih mencoba memahami reaksi Freya yang tampak terlalu santai. Rob pun tersenyum, lega melihat situasi tidak terlalu serius.

“Oh ya, ada kejadian lucu,” lanjut Freya sambil menyilangkan tangan di dadanya. “Mbak Tita pernah teriak histeris waktu lihat foto kamu shirtless di media sosial. Itu bikin satu kantor panik. Dikira ada gempa atau kebakaran. Padahal cuma halu gara-gara fotomu.”

Aideen dan Rob tertawa, membayangkan situasi tersebut. Freya, yang merasa tidak dipahami, mengerutkan kening. “Hei, aku serius. Itu benar-benar mengganggu hidupku di kantor, tahu!”

Aideen mencoba meredam tawanya. Ia memandang Freya dengan lebih lekat. Dalam kekesalan kecil Freya, ada sisi polos yang membuatnya merasa nyaman.

“Jadi, kamu termasuk fansnya?” tanya Rob dengan nada menggoda.

“Aku? Enggak mungkinlah,” jawab Freya sambil mendengus. “Aku terlalu sering dengar namanya sampai jadi ilfeel.”

Aideen tersenyum lega. Ia menatap Freya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia senang Freya tidak melihatnya dengan cara yang sama seperti orang lain. Tapi di sisi lain, ia merasa sedikit aneh. Bukankah wajar kalau Freya terkesan atau penasaran? Namun, respons santainya justru membuat hubungan mereka terasa lebih alami.

“Oke, kalau gitu aku pesan minuman lagi,” ujar Aideen sambil berdiri. Ia melirik Rob sekilas. “Freya, kamu mau tambah sesuatu?”

Freya menggeleng. “Udah cukup. Aku masih kenyang.”

Aideen mengangguk dan berjalan menuju kasir, meninggalkan Freya dan Rob. Freya menghela napas panjang, merasa percakapan barusan cukup melelahkan. Namun, ia tidak bisa menahan senyum kecil yang muncul di wajahnya.

“Mr. Perfect, ya?” gumamnya pelan sambil melirik majalah yang masih terbuka di atas meja. “Mungkin memang cocok.”

Freya berdiri di tepi teras restoran, matanya berbinar-binar menatap pemandangan palung biru yang terbentang di hadapannya. Angin lembut menyapu wajahnya, membawa aroma laut yang segar. "Aideen, astaga— tempat ini indah sekali," katanya dengan decak kagum, senyum lebar mengembang di bibirnya.

Aideen yang berdiri di dekatnya mengangguk ringan. "Aku tahu kau akan menyukainya. Ayo, duduklah," katanya, menunjuk meja yang telah dipesan di sudut teras.

Freya menurut, tetapi matanya masih terpaku pada panorama yang memukau. "Ini luar biasa," gumamnya sambil mengangkat kedua ibu jarinya. Ia menoleh pada Aideen, wajahnya berseri-seri. "Terima kasih," ucapnya tulus.

Aideen tertegun sejenak, hatinya bergetar mendengar nada hangat dalam suara Freya. "Y— ya, sama-sama," jawabnya sedikit kaku. Ia berusaha mengalihkan pikirannya yang tiba-tiba terasa tak keruan.

Mereka duduk berdua di meja yang menghadap langsung ke laut. Udara terasa tenang, tetapi pikiran Aideen berkecamuk. Keheningan di antara mereka terpecah oleh suara Freya. "Aideen, apa yang kau lakukan di Venice?"

"Bisnis trip," jawab Aideen singkat sambil menyesap kopinya.

Freya mengangguk. "Oh, jadi Rob itu asistenmu?"

Aideen tersenyum kecil. "Bukan, dia lebih seperti rekan kerja sekaligus teman."

"Hmm, lalu apa sebenarnya pekerjaanmu?" Freya menatap Aideen dengan rasa penasaran yang sulit disembunyikan.

Aideen berpikir sejenak sebelum menjawab, "Aku hanya pekerja kantoran biasa."

"Hanya pekerja kantoran?" Freya menaikkan alis, tampak tidak sepenuhnya percaya. "Tapi bisnis trip sampai Venice? Belum lagi fasilitas mewah seperti ini. Kau pasti seorang manajer, kan?"

Aideen tertawa kecil. "Kurang lebih seperti itu," katanya, berusaha terdengar santai.

Freya tersenyum, lalu memandang laut biru yang terbentang luas di hadapannya. "Aku iri padamu."

Aideen menggeleng pelan. "Jangan iri, Freya. Hidupmu juga berharga. Apa yang kau miliki sekarang adalah sesuatu yang patut kau syukuri. Jadikan kesuksesan orang lain sebagai motivasi, bukan alasan untuk merasa kurang."

Freya terdiam sesaat, lalu tersenyum. "Kau benar. Aku harus lebih bersyukur."

"Bagaimana dengan hidupmu?" tanya Aideen, mencoba menggali lebih dalam.

Freya mengaduk pelan es cappuccino di depannya. "Tidak banyak yang menarik. Aku hanya seorang staf administrasi biasa. Temanku tidak terlalu banyak, hanya beberapa yang benar-benar dekat. Aku tinggal bersama Mom, dan— ya, begitulah." Ia tersenyum samar, tetapi sorot matanya tampak menyimpan sesuatu yang lebih.

"Ayahmu?" tanya Aideen ragu. "Tidak usah dijawab kalau kau tidak ingin."

Freya menghela napas panjang, lalu menatap Aideen. "Ayahku meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan."

"Maaf," kata Aideen dengan nada penuh penyesalan.

Freya tersenyum kecil. "Tidak apa-apa. Aku sudah menerima dan merelakannya. Itu sudah takdirnya, dan aku percaya dia ada di tempat yang lebih baik sekarang. Ayah dan ibuku, mereka selalu ada di sini." Ia meletakkan tangannya di dada, memberi isyarat bahwa kenangan orang tuanya selalu hidup dalam hatinya.

Aideen mengangguk pelan. "Ibumu juga sudah tiada?"

"Iya, saat aku berumur 14 tahun. Setelah itu, Ayah menikahi Mom, dan dia menjadi segalanya bagiku. Ibu, sahabat, sekaligus keluarga satu-satunya yang aku miliki sekarang." Suaranya bergetar, dan Aideen bisa melihat kilauan air mata di pelupuk matanya yang berusaha ditahan.

Aideen terdiam. Di balik keceriaan Freya yang selalu tampak, ia kini melihat sisi lain yang lebih rapuh. Wanita di hadapannya ini menyimpan luka, tetapi memilih menutupi semua itu dengan senyum dan tawa. Ada rasa kagum yang tumbuh dalam hati Aideen, tapi juga kekhawatiran yang sulit ia jelaskan.

Mereka menghabiskan sore itu dengan berjalan-jalan di pulau kecil, berbagi tawa dan cerita. Dalam keheningan yang tercipta di sela langkah mereka, Aideen merasakan sesuatu yang hangat, sesuatu yang perlahan mengubah cara pandangnya terhadap Freya. Namun, di balik itu semua, ada sesuatu yang masih belum ia pahami, perasaan yang ia tahu akan terus tumbuh setiap kali ia bersama Freya.

-To Be Continue-

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel