Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Mahal Nggak?

Nino & Friends adalah toko yang mereka datangi untuk pertama kali. Toko ini berada di daerah Salizada San Lio, 5576. Air mancur berisikan cokelat cair yang berada di jendela toko menyambut mereka pertama kali.

“Whoaaa... kereeenn!” Dengan mata berbinar, Freya menatapnya dari luar jendela, beberapa kali mengerjapkan mata dan meneguk salivanya. Ngiler dengan cokelat sebanyak itu.

“Ayo masuk!” ajak Aideen, kemudian diikuti oleh Freya.

Ketika mereka memasuki toko tersebut, aroma biji kopi dan cokelat pun memanjakan penciuman mereka. Seorang staf toko wanita dengan nampan yang berisikan sampel kue dan cokelat menyapa mereka. Menyapa mereka? Sepertinya hanya menyapa Aideen saja, dengan tatapan yang hanya ditujukan ke arah Aideen tanpa memperdulikan keberadaan Freya yang ada di sampingnya. Oh, Freya hanya bisa memutar bola matanya malas.

Tidak di toko, tidak tadi di jalan, sepertinya semua mata hanya tertuju menatap pria yang kini ada di sebelahnya. Bukan iri atau cemburu, hanya saja mengganggu. Menekuk wajahnya tidak suka. Aku juga kan mau nyobain sampel cokelatnya... Dia merasa dirinya hanya sebutir debu yang tidak terlihat. Heyy... heyy... Aku ada di sini lohh... hallooo...

Aideen ingin tertawa melihat wajah cemberut Freya yang lucu menurutnya, namun ia tahan, dan tetap memasang wajah dingin dan datarnya. Sebenarnya ditujukan untuk pelayan wanita tersebut.

“Nih coba!” katanya, menyerahkan cokelat pada Freya yang sebelumnya dia ambil dari atas nampan. Freya menggelengkan kepalanya lemah.

“Kenapa?”

“Aku mau, tapi kalau nggak beli nggak enak nanti, takut diusir dari toko,” sedu Freya. Padahal dirinya sudah ngiler abis-abisan ingin mencicipinya.

“Ya beli aja. Nih coba!” Aideen menyuapkan cokelat dengan sedikit paksa ke mulut Freya. Freya sempat menolak, namun mengurungkan niatnya setelah menerima tatapan tajam dari Aideen. Ya Tuhan, serem, kaya mata mafia.

Entah dorongan dari mana Aideen dengan tiba-tiba berlaku seperti itu, ah seperti bukan seorang Aideen saja.

“Mahal nggak?” tanya Freya dengan mulut penuh yang masih mengunyah cokelat. “Ini enak banget,” lanjutnya dengan sumringah.

Aideen hanya mengangkat kedua bahunya. Aideen memang tidak tahu harganya, karena ia tidak pernah mengecek harga dan peduli dengan harga suatu barang. Jika ia suka, ia akan langsung membelinya.

“Itu kan sampel, memang untuk dicoba. Sampel kan gratis,” jelas Aideen.

“Ya ya ya,” Freya masih mengunyah menghabiskan sisa cokelat di mulutnya.

“Kamu nggak nyoba?” tanyanya setelah cokelat di mulutnya habis. Aideen hanya menggelengkan kepala.

“Kenapa?”

“Nggak suka makanan manis,” jelasnya datar. Freya hanya mengangguk kecil.

Lebih baik melihat-lihat barang-barang yang ada di toko ini. Ya, semoga ada barang yang sesuai budgetnya untuk dijadikan oleh-oleh.

Freya melangkahkan kakinya memutari dalam toko. Dengan teliti, ia melihat satu per satu barang dan tidak lupa mengecek harganya.

“Ahh ini sepertinya enak,” ujarnya sambil memegang satu kotak cokelat. “Harganya yang nggak enak!” Dia menggelengkan kepala pelan dan mengembalikan kembali kotak tersebut ke tempat asalnya.

Sudah 15 menit mereka habiskan di dalam toko tersebut. Akhirnya pilihannya jatuh kepada sekotak cokelat dan sekantong kopi dengan harga masing-masing 10 Euro. Ini sudah cukup, serunya dalam hati.

Hadoohh... maaf ya bukannya pelit, tapi budget tidak memadai. Hikss... nanti deh kalau udah diadopsi sama sultan dan dijadikan anak, nggak akan tanggung kalau belanja, tokonya sekalian dibeli.

“Sudah?” tanya Aideen yang kini berada di sebelah Freya. “Iya,” jawab Freya sambil mengangguk dan memberikan beberapa lembar uang euro kepada kasir. Freya sempat melirik Aideen yang membawa lima bungkus cokelat. Jangan dibandingkan dengan kotak cokelat yang dibelinya ya. Kotak cokelat Aideen lebih besar daripada miliknya.

Itu cokelat yang kuinginkan tadi, tapi harganya nggak lucu! gumamnya dalam hati. Ya wajarlah, sekotak aja harganya 30 Euro, hampir setengah juta tuh kalau dirupiahin. Arghh... mana sanggup. Lah ini beli lima kotak.

Mereka melangkahkan kakinya meninggalkan toko. Hari sudah mulai gelap rupanya, waktu tidak terasa. Perjalanan dari kafe tadi menuju toko lumayan jauh, ditambah berkeliling sekitar 15 menit di dalam toko membuat kakinya pegal.

Susah payah Freya mengikuti gerak langkah kaki Aideen yang lebar. Padahal Aideen berjalan biasa saja, menurutnya. Namun Freya harus berjalan cepat untuk menyeimbanginya. Sesekali ia tertinggal dan berusaha menyusulnya.

“Ahh dia tinggi sekali sih, langkahnya susah kuikuti,” gerutunya tentu saja dalam hati. Dia sedikit takut jika menatap mata Aideen. Tajam dan menakutkan.

Namun kali ini kakinya sudah benar-benar pegal dan lelah. “A... Aideen,” panggilnya setengah berteriak karena ia sudah tertinggal sekitar lima meter. Kini ia berjongkok sambil mengatur napasnya.

Aideen yang merasa namanya dipanggil seseorang menoleh ke belakang. Dengan mengerutkan dahinya, ia melihat Freya sedang berjongkok. Mau tidak mau, ia menghampiri Freya karena tidak melihat pergerakan dari gadis itu.

“Maaf, aku lelah, kaki kupegal,” jelasnya saat Aideen berdiri di depannya. “Bolehkah kita beristirahat sebentarr saja?” pintanya sambil mendongakkan wajahnya ke arah Aideen, memasang puppy eyes-nya.

“Kakimu pendek sih, dan pasti jarang berolahraga kan,” dengus Aideen datar. Freya lelah tidak mau mendebatnya, hanya menekuk wajahnya saja.

Arghh... Jika saja tadi aku menolak untuk pergi bersama Aideen pasti tidak akan begini. Omongan pria ini benar-benar haduh bikin emosi aja!! sesalnya dalam hati.

Mana ada orang yang bisa tahan dengannya jika ia seperti itu, menyebalkan. Wajahnya sih tampan, tapi mukanya itu loh datar, dingin, dan serem. Ya, walau tadi dia sempat tertawa beberapa kali. Yang bikin males kadang omongannya pedes, kaya ramen level 20. Yaelaah pakai main fisik pula bilang kakiku pendek. Nggak takut kena pasal body shaming apa.

“Ya sudah, kita istirahat di sana saja!” serunya sambil menunjuk sebuah restoran. Freya menatap arah yang ditunjuk oleh Aideen. Aideen langsung melangkahkan kaki meninggalkan Freya yang masih berjongkok.

Whatttt... astaga apa-apaan ini, gerutunya. Menghembuskan napas dengan kasar kemudian berdiri dan mengejar Aideen. Untung ganteng, kalau nggak udah gue lempar ke kanal!! Ia menyentakkan kaki di sela-sela langkahnya.

Tentu saja Aideen sudah masuk restoran lebih dahulu. Freya menyusulnya dari belakang dengan langkah yang terseok-seok. Ristorante Antica Sacrestia itulah nama yang terpampang di papan nama restoran tersebut.

Setelah membuka pintu, Freya langsung mencari sosok pria menyebalkan itu, yang sekarang tengah duduk di meja di sudut restoran tersebut, dan segera menghampirinya.

“Leletnya,” seru Aideen. Astaga, Freya memutar bola matanya malas.

Di sebuah restoran elegan bernama Bistrot de Venise yang terletak di Calle Dei Fabbri, Venesia, suasana romantis langsung terasa begitu Aideen dan Freya melangkah masuk. Restoran itu dihiasi dengan dominasi warna merah dan marun di furnitur dan dindingnya. Setiap detailnya begitu mewah, dari kursi hingga piring yang digunakan. Pelayan di sana pun tampak anggun dengan seragam elegan mereka.

Aideen memilih duduk di dalam restoran, meski ada juga pilihan tempat duduk di luar. Freya hanya tersenyum kecil, menilai harga makanan yang pasti mahal, tapi diam-diam ia merasa sedikit canggung.

Aideen memesan ‘full course’ makan malam khas Italia. Freya tidak bisa menghindar dari pikiran bahwa sekali lagi ia akan diperlakukan seperti ini, dengan Aideen yang seolah tak pernah keberatan mengeluarkan uang untuknya.

" Aideen, aku merasa tidak enak padamu," kata Freya dengan nada sungguh-sungguh.

Aideen menoleh, tak mengerti. "Apa maksudmu?"

" Dari kemarin, kau terus mentraktirku," Freya menghela napas. "Aku tidak mau dipandang sebagai wanita yang hanya memanfaatkanmu."

Aideen tersenyum dan menggelengkan kepala. "Jangan khawatir, Freya. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih karena sudah mau menemani aku."

Freya masih terlihat gelisah. "Tapi ini terlalu mahal, Aideen. Aku— aku tidak bisa mengganti apa-apa."

"Tenang saja, aku tidak akan meminta apapun darimu," Aideen menjawab dengan santai, berusaha meyakinkan Freya. "Aku hanya ingin melakukannya."

Freya mendesah. "Tapi aku tetap merasa tidak nyaman. Tolong jangan terus menerus mentraktirku seperti ini." Suaranya sedikit terdengar tegas, dan Aideen hanya tersenyum, sedikit bingung.

"Jadi, apa yang kamu inginkan?" tanya Aideen, masih berusaha memahami.

"Aku hanya ingin kita tidak selalu terjebak dalam situasi seperti ini, dengan hal-hal mahal," kata Freya, matanya sedikit menyipit. "Aku tidak ingin orang berpikir yang tidak-tidak tentang kita."

Aideen hanya tertawa. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Freya."

Freya bergidik membayangkan kemungkinan itu. "Tapi tetap saja, aku tidak ingin membuat kekasihmu cemas," katanya, sedikit mengeluh.

Aideen tertawa ringan. "Mantan kekasihku sekarang mungkin sedang menikmati liburan di Maldives," jawabnya, wajahnya menunjukkan ekspresi santai meski sedikit getir.

Freya terdiam sejenak, mencerna kata-kata Aideen, dan kembali meneguk minumannya. Ia merasa canggung, ingin menghindari perasaan yang semakin rumit antara mereka.

"Bagaimana dengan kamu, Freya?" Aideen bertanya tiba-tiba, memecah keheningan.

Freya tersedak, kaget mendengar pertanyaan itu. "Hah? Ah, tidak apa-apa," jawabnya buru-buru, tersenyum canggung.

Beberapa saat kemudian, Freya merasa sudah saatnya menceritakan sesuatu yang mengganggunya. Setelah menerima foto yang membuat hatinya terluka, ia merasa butuh tempat untuk berbicara, meski tahu mereka tak akan bertemu lagi setelah perjalanan ini.

"Sebentar," katanya, mengeluarkan ponselnya. "Aku— aku hanya ingin berbagi sesuatu."

Aideen menerima ponsel Freya dan melihat foto yang ditunjukkan. Freya menghela napas dalam-dalam.

"Ini foto dari kekasihku, dua minggu yang lalu," kata Freya, matanya mulai berkaca-kaca. "Dia menikahi sahabatku, Alona, yang mengirimkan foto itu." Freya terlihat mengusap air mata yang sudah mulai mengalir. "Kami sudah bersama selama tujuh tahun. Itu waktu yang lama bagi aku."

Aideen memandangnya dengan perhatian. "Kamu kuat, Freya," katanya lembut, menggenggam tangan Freya dengan penuh pengertian.

Freya menatap laut di depan mereka, berusaha menenangkan diri. Setelah beberapa saat, Aideen berkata, "Tidak ada salahnya menangis, Freya. Kadang, itu membantu."

"Terima kasih, Aideen," jawab Freya dengan suara gemetar, sambil tersenyum tipis meski air mata masih mengalir.

Aideen menangkup wajah Freya dengan lembut, menghapus air mata yang masih menetes. Dalam diam, keduanya hanya menikmati ketenangan malam itu, dengan Freya yang perlahan merasa lebih ringan, meski hatinya masih rapuh.

Di dermaga itu, angin malam menyentuh mereka berdua. Freya mulai merasa sedikit lebih tenang dalam pelukan tak terucap Aideen. Terkadang, sebuah pertemuan bisa menjadi lebih berarti dari yang dibayangkan.

-To Be Continue-

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel