5. Mafia atau bukan, kamu tetap kejam!
Freya menggeliat malas di balik selimutnya, terbangun oleh sinar matahari yang merembes masuk melalui jendela yang tak tertutup tirai. Matanya terpejam sejenak, berusaha menepis rasa kantuk yang masih menempel.
“Sudah siang,” gumamnya, menyadari waktu sudah menunjukkan pukul 08.15 AM. Alarm yang seharusnya membangunkannya malah tak terdengar sama sekali.
Badannya masih terasa pegal, dan kegiatan kemarin bersama Aideen meninggalkan kelelahan yang belum sepenuhnya hilang. Pandangannya beralih ke paper bag yang tergeletak di atas sofa. Di dalamnya, ada lima kotak cokelat yang Aideen berikan semalam.
“Aideen?” Freya bergumam, mengingat bagaimana dia sempat menolak hadiah itu, tetapi tatapan tajam Aideen membuatnya tak bisa berkata apa-apa. Katanya sebagai bayaran menemaninya jalan-jalan.
Dia tertawa kecil, menyadari kecerobohannya. "Bodoh, kunci mobilnya belum kukembalikan," katanya pada diri sendiri, kemudian bergegas menuju kamar mandi.
Setelah mandi dan berganti pakaian—ripped jeans, kaos, jaket kulit, dan sepatu kets—Freya turun ke lounge hotel untuk sarapan. Menu khas Italia terhidang di depannya, tapi pikirannya lebih tertuju pada ponsel yang ia keluarkan dari saku.
Tanpa basa-basi, ia menelepon Aideen.
"Halo, Aideen," ujarnya begitu telepon terhubung.
"Aku mau mengembalikan kunci mobilmu," katanya dengan tegas, langsung pada intinya.
"Apa? Sampai Senin?" Freya hampir tersedak. "Tapi—"
Aideen menutup telepon dengan cepat, membuat Freya merasa jengkel. “Kebiasaannya, seenaknya,” umpatnya kesal, sambil melanjutkan makannya dengan rasa frustrasi. Ironisnya, kesalnya itu justru membuatnya makan lebih lahap.
Setelah 45 menit, pesan masuk dari Aideen:
From: Boss Mafia Kejam
Depan hotel. Cepat!
Freya mendengus, kesal. “Sudah dimulai lagi,” gumamnya, meski tidak bisa menahan rasa penasaran. “Setidaknya dia ganteng," tambahnya pelan, mencoba menghibur diri.
Sesampainya di depan hotel, ia hanya melihat seorang pria dengan motor sport berperforma tinggi hitam yang mencolok. Freya mengerutkan dahi. "Mafia mana lagi nih?"
Pria itu melepaskan helm dan memanggil, "Freya, apa kau buta? Cepat ke sini!"
Freya membelalak saat mengenali sosok di depan itu. “Oh my God. Ganteng banget,” pikirnya dalam hati. Namun, ia segera menegur dirinya sendiri, “Frey, jangan tergoda! Ingat, dia itu menyebalkan!”
Aideen yang mengenakan celana jeans hitam dan leather jacket sama seperti Freya, seolah sudah janjian sebelum bertemu.
"Aideen," gumamnya pelan hingga nyaris tak terdengar, tetapi Aideen bisa melihat dari gerakan mulutnya
"Ya, ini saya. Memangnya kamu sedang melihat Ghosh Rider, hah? Cepat!" jawab Aideen, dengan nada tak sabar.
Freya mendekat, ragu. Begitu Aideen menyerahkan helm kepadanya, ia terkejut. “Buat apa?” tanyanya bingung.
"Buat kepala, Freya!" jawab Aideen dengan nada datar.
Freya menerima helm itu dengan kesal dan langsung memasangnya. "Kamu mau ke mana, sih? Pakai motor segala," tanyanya, matanya menatap motor itu dengan cemas.
“Ada urusan. Naik saja,” jawab Aideen singkat. Freya tidak punya pilihan selain menurut.
Saat motor melaju kencang di jalan besar, angin menerpa tubuhnya, memaksa Freya untuk memeluk punggung Aideen. Detak jantungnya tak bisa dikontrol lagi. Wajahnya memerah seperti tomat, tapi ia berusaha menyembunyikan rasa malu itu.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di Gruppo Ormeggiatori Del Porto Di Venzia yang terletak dekat dengan Dermaga San Basilio. Tempat tersebut adalah port untuk kapal boat. Aideen memarkirkan motor dengan cekatan.
"Turun," katanya, suara datarnya membuat Freya semakin curiga.
Freya turun dengan hati-hati, merasa sedikit lega. Beberapa detik sebelumnya, ia sempat merasakan kakinya gemetar karena ketakutan. "Aku selamat," gumamnya, sambil menghela napas panjang. ”Oh My Lord.” Rasanya Freya ingin merayakan dengan berbaring di tanah dan menciuminya.
Seorang pria berbaju jas menghampiri mereka dan menerima kunci motor dari Aideen. "Tuan, semuanya sudah siap," ucap pria itu.
Freya hanya bisa bergumam, "Tuh kan, mafia beneran."
"Ayo," kata Aideen sambil menarik tangan Freya dengan tegas. Freya hanya bisa mengikutinya.
Mereka berjalan menuju boat yang sudah menunggu. “Mau ke mana, sih? Jangan bilang kalau—” Freya tak bisa melanjutkan kalimatnya, takut dengan jawaban Aideen.
"Aku cuma akan menculik dan membuangmu di laut, kok," jawab Aideen dengan santai.
Freya terbelalak. "Apa?!" Ia merasa dirinya seperti orang konyol. ”Wah, dia benar bosnya mafia. Bagaimana caranya kabur dari sini?” monolognya dalam hati.
Aideen hanya tertawa kecil. "Rob, bawa gergaji mesin!" katanya sambil mengedipkan sebelah mata pada pria tadi.
Rob menahan tawa, sementara Freya semakin panik. "Lepas! Lepas, Aideen!" teriaknya, mencoba melepaskan cengkraman Aideen.
"Kalau kamu teriak, saya akan menyiksa dulu," jawab Aideen dengan nada bercanda.
Freya terdiam, pasrah. Begitu boat mulai melaju, ia merasa cemas. "Mom, maafkan aku," gumamnya terisak, berdoa dalam hati.
Aideen yang mendengarnya akhirnya tidak bisa menahan tawa. "Dasar gadis bodoh," ujarnya sambil menyentil kening Freya pelan.
Freya merasa hatinya mencelos saat mendengar suara tawa Aideen yang pecah, mengisi ruangan kecil di dalam boat. Tawa itu begitu lepas, bahkan Rob yang mengemudikan boat pun hanya bisa tersenyum simpul. Namun, tawa Aideen menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak, sesuatu yang membuat Freya waspada.
"Dasar gadis bodoh!" Aideen menyentil kening Freya ringan setelah menguasai dirinya dari tawa. Freya hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Hua— dasar mafia kejam!" serunya sambil mengibaskan tangan, seolah mengusir Aideen seperti nyamuk.
"Hahaha, kamu pikir saya kucing?" balas Aideen sambil kembali tertawa kecil.
Freya mendengus, lalu memelototi Aideen. "Mafia atau bukan, kamu tetap kejam!" katanya, menyilangkan kedua tangan di dada dengan ekspresi marah yang tidak sepenuhnya serius.
"Ah, siapa juga yang mau menculik gadis cerewet seperti kamu?" Aideen balas dengan nada santai, meski ada secuil senyuman di wajahnya. Ia kembali memandang laut, sementara Freya terus memutar otaknya, mencoba menebak apa yang sebenarnya akan terjadi.
Ketakutan Freya mulai memudar saat matanya terpaku pada pemandangan laut biru yang memukau. Tapi pikirannya kembali dihantui skenario terburuk. Apakah ini pemandangan terakhir sebelum tubuhnya dipotong-potong dan dilemparkan ke laut? Freya menggigil hanya membayangkannya.
"Kita akan tiba sebentar lagi," suara Aideen memecah keheningan. Benar saja, hanya dalam beberapa menit, boat yang mereka tumpangi bersandar di dermaga kecil. Aideen turun lebih dulu, diikuti oleh Rob. Freya tetap terpaku di tempatnya, ragu.
"Ayo," ajak Aideen, mengulurkan tangannya. Freya menggeleng dengan cepat, seperti anak kecil yang enggan.
"Hm ... Rob, tenggelamkan saja dia," ucap Aideen datar. Rob hanya mengangguk dengan ekspresi serius yang membuat Freya langsung bangkit dari duduknya.
"Baik! Baik! Aku turun!" gerutunya sambil meraih tangan Aideen. Dalam hati, Aideen tersenyum. Ternyata ancaman kecil cukup ampuh untuk membuat gadis itu menurut.
Langkah Freya berat saat mengikuti Aideen. Rob berjalan di belakang mereka, membuatnya tidak punya ruang untuk melarikan diri. Pikiran untuk berenang ke daratan sempat terlintas, tapi ide itu cepat ia singkirkan. Apa yang bisa ia lakukan di tengah laut? Diterkam hiu?
Ketika Freya melihat bangunan megah berdiri kokoh di hadapannya, ia tertegun. Hotel San Clemente Palace di pulau ini tampak seperti istana dari dongeng. Desain klasiknya yang elegan, kolam renang besar, dan teras yang menghadap ke laguna membuat Freya takjub hingga lupa akan ketakutannya. Matanya berbinar, seperti anak kecil yang melihat mainan baru.
"Sudah kubilang, kamu akan menyukainya," kata Aideen dengan nada puas.
Freya mengangguk pelan, masih terpaku pada pemandangan di sekitarnya. "Ya, kau benar," gumamnya.
Mereka melangkah ke lobi utama. Aideen berbicara dengan Rob dalam bahasa Italia yang lancar. Freya hanya bisa menatap mereka bingung, mencoba memahami, tapi sia-sia. Setelah itu, Aideen menghampiri Freya.
"Kamu tunggu di sini, ya. Aku dan Rob ada urusan sebentar. Kalau butuh sesuatu, minta saja pada pelayan," katanya.
Freya mengerutkan kening. "Boleh pesan apa saja?"
"Ya, apa saja," jawab Aideen sambil tersenyum tipis sebelum beranjak pergi.
Freya mendudukkan dirinya di sofa empuk yang terasa seperti awan. Ia tergoda untuk merebahkan diri, tapi cepat-cepat mengurungkan niatnya. "Jangan sampai kelihatan udik," gumamnya pada diri sendiri.
Setelah yakin dirinya aman, ia memutuskan untuk memanfaatkan kesempatan ini. "Aku pesan ravioli, tiramisu, gelato, dan es vanilla latte," ujarnya pada pelayan dengan senyuman puas. "Lihat saja, Aideen. Aku akan membuatmu membayar mahal," tambahnya dalam hati.
Namun, ketika waktu terus berlalu dan Aideen belum kembali, rasa tidak sabar mulai menjalari Freya. Gelato di hadapannya sudah habis, dan ia mulai bosan. Majalah di rak dekat sofa menarik perhatiannya. Ia memilih satu majalah travel dan mulai membukanya. Setiap halaman dipenuhi foto-foto Venice yang indah, membuat Freya ingin mengunjunginya suatu saat nanti.
"Mana sih Aideen? Lama sekali!" gumamnya kesal sambil mengetuk-ngetukkan kakinya. Ia melirik majalah bisnis yang tersisa di rak, tapi cepat-cepat mengalihkan pandangannya. "Bosan banget! Kenapa nggak ada komik atau novel di sini?"
Freya menghela napas panjang, memutar bola matanya, lalu kembali menatap pintu lobi dengan penuh harap. Namun, Aideen masih belum muncul. Perasaan kesal, takut, dan bingung bercampur jadi satu di pikirannya. Apakah dia ditinggalkan? Atau mungkin ini bagian dari rencana Aideen untuk mengujinya?
Freya menggelengkan kepala, mencoba menenangkan diri. Ia belum tahu apa yang sebenarnya direncanakan Aideen, tapi satu hal yang pasti, pria itu selalu punya kejutan di balik senyumnya yang misterius.
-To Be continue-
