3. Tenang Saja Saya Bukan Orang Jahat
"Berapa lama kamu di Venice, Freya?" tanya Aideen, memecah keheningan. Biasanya Aideen tidak banyak berbicara, tetapi gadis ini memunculkan sesuatu yang berbeda dalam dirinya.
Mungkin karena Freya tidak seperti gadis-gadis yang biasa ia temui. Tidak seperti beberapa gadis di meja sebelah yang terus mencuri pandang ke arahnya, Freya tidak terlihat mengenali siapa dirinya dan tidak berusaha menggoda. Aideen mengakui bahwa wajah tampannya sering membuatnya risih dengan perhatian berlebih. Namun kali ini, ia merasa santai.
Aideen ingin bersenang-senang sejenak, melupakan pekerjaan yang akhir-akhir ini melelahkannya. Biasanya, orang yang mengenalnya enggan mengajaknya berbincang. Namun kali ini berbeda—dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan berharga ini.
Freya, gadis yang baru dikenalnya, tampak lebih tertarik pada gondola yang berlalu-lalang di kanal depan mereka. Sesekali, ia menyeruput minumannya sambil tersenyum tipis.
"Senin siang aku flight pulang, Tuan," jawab Freya sambil memandang kanal. "Cuti aku cuma sampai Rabu," tambahnya, diikuti helaan napas panjang dan senyum satir. Aideen menangkap sesuatu di balik senyumnya—sebuah kesedihan yang belum pernah ia lihat selama bersama dengan gadis ini.
"Rindu rumah?" tebak Aideen, mencoba membaca ekspresi Freya.
Freya mengangguk pelan. "Iya, walaupun baru sehari di sini, aku rindu Mom dan teman-temanku. Biasanya sore begini Mom sudah menjemputku di kantor, lalu masak malam," gumamnya sambil tersenyum kecil. Ada seulas senyuman pada bibirnya ketika mengingat hal itu.
Namun, senyum itu memudar ketika bayangan seseorang muncul di pikirannya. Dirga. Nama itu membawa amarah dan rasa sakit. ”Besok dia menikah dengan wanita yang dihamilinya,” pikir Freya. Ia mencoba menepis cepat kenangan itu. ”Move on, Freya. Bukankah kau ke Venice untuk melupakan semua ini? Jangan terlalu lama larut dalam kesedihan. Nikmati liburanmu, Frey!”
"Ehem," dehem Aideen, membuyarkan lamunan Freya. Sehari tadi ia memperhatikan raut wajah Freya yang berubah-ubah. Ia tahu bahwa gadis di hadapannya sedang sibuk menyelami pikirannya.
Freya sontak membalikkan wajah ke arah Aideen, ia tersentak. "Ah, Tuan, aku kaget," ucapnya dengan wajah terkejut yang membuat Aideen menahan tawa. Ia hanya mengulas senyum tipis, cukup menikmati momen itu.
"Melamun, ya?" goda Aideen.
"Nggak, Tuan. Aku cuma lihat gondola itu," elak Freya sambil menunjuk ke arah kanal, berusaha mengalihkan perhatian. Tapi Aideen tahu ia hanya mencari alasan. Ada sesuatu di mata gadis itu yang sulit disembunyikan. Namun, ia berusaha untuk tidak bertanya dan ikut campur dalam hal apapun.
"Mau naik gondola? Sepertinya dari tadi kamu terus memperhatikannya," tawar Aideen santai.
Freya menggeleng. "Mau sih, tapi mahal. Aku mau pakai uangnya buat beli oleh-oleh saja," jawabnya dengan senyum kecil.
"Saya traktir," ujar Aideen, nyaris tanpa berpikir.
"No, no! Tidak, Tuan!" jawab Freya cepat. "Aku nggak mau merepotkan. Macchiato ini saja sudah cukup."
Baru kenal sudah ditraktir ini-itu. Kalau niatnya baik sih tidak masalah, tapi kalau punya maksud jahat? Membayangkannya saja sudah membuat Freya takut. Apalagi dia sedang berada di negara asing, tanpa mengenal siapa pun. Kedutaan Besar RI pun jauh, terletak di Roma, sedangkan dia di Venice.
Aideen menatap Freya sejenak, tersenyum kecil. Gadis ini benar-benar berbeda. Ia hampir tidak pernah menemui seseorang yang begitu mandiri tetapi sederhana.
"Oh ya, aku baru sadar, kita sudah berbicara banyak, tapi aku lupa menanyakan namamu, Tuan," ujar Freya, merasa malu. Ia baru tersadar belum berkenalan, padahal sudah setengah jam mereka duduk bersama.
"Aideen," jawab pria itu sambil menyesap kopinya.
"Baik, Tuan Aideen," jawab Freya sambil tersenyum kecil.
"Tanpa Tuan, oke?" balas Aideen dengan nada santai.
"Siap, Aideen," ucap Freya, menahan tawa kecil. Ia mulai merasa nyaman berbicara dengannya.
"Setelah ini, kamu mau ke mana?" tanya Aideen, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Aku mau cari toko oleh-oleh dan barang yang Mom serta teman-temanku pesan. Tapi sebelumnya aku mau beli peta di pusat informasi," jawab Freya.
"Peta? Untuk apa?"
"Peta lamaku rusak kena kopi tadi. Google Maps bikin pusing," jelas Freya dengan wajah muram, mengingat dirinya tersesat sebelum sampai di kafe ini.
"Kalau begitu, saya ikut," kata Aideen tiba-tiba.
"Hah?" Freya memandangnya dengan ekspresi kaget.
"Saya tahu jalan di Venice. Kamu tidak perlu beli peta lagi," jelas Aideen, meskipun tidak sepenuhnya jujur. Sebenarnya, ia hanya ingin menghabiskan waktu dengan cara yang normal, tanpa embel-embel status atau pekerjaan.
"Tapi—" Freya masih ragu.
"Tenang saja, saya bukan orang jahat," jawab Aideen santai sambil mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya. "Ini sebagai jaminan," lanjutnya sambil menyodorkan kunci itu kepada Freya. "Kalau saya berbuat macam-macam, kamu bisa menjual mobil ini."
Freya menatap kunci itu dengan mulut setengah terbuka. "Hanya sebuah mobil sport coupe?" gumamnya, bingung. Namun, sikapnya segera berubah curiga. "Jangan-jangan ini mobil curian?"
Aideen tertawa kecil, lalu mengeluarkan dokumen kendaraan dari dompetnya. "Ini surat-suratnya. Cek saja," ujarnya sambil menyerahkan dokumen itu.
Freya membaca dokumen itu. Nama Aideen tercantum jelas di sana. Masih dengan keraguan, ia menatap Aideen lagi. "Kalau kamu mafia?" tanyanya setengah bercanda, setengah serius.
Aideen mendekatkan wajahnya ke arah Freya, hingga jarak mereka hanya beberapa inci. "Kalau saya mafia," bisiknya dengan nada serius, "kamu pasti sudah saya culik dari tadi."
Freya tersentak, wajahnya memerah. "Stop! Aku takut!" ujarnya, menutup wajah dengan kedua tangannya. Aideen tertawa terbahak-bahak.
"Jadi bagaimana?" tanya Aideen sambil menahan tawa.
Freya akhirnya menyerah. "Oke, aku percaya padamu. Tapi janji jangan macam-macam, ya?"
Aideen mengangguk. "Janji."
Freya mengulurkan jari kelingkingnya. "Ayo berjanji!"
Aideen menatapnya heran, tetapi akhirnya menautkan kelingkingnya pada Freya. "Ayo kita pergi sekarang," ujar Freya, tersenyum puas.
"Saya bayar dulu," kata Aideen sambil berjalan ke kasir. Freya menatap punggung pria itu, merasakan sesuatu yang aneh tapi menyenangkan.
Ah, Freya masih belum percaya dengan apa yang terjadi. Akhirnya, dia punya teman selama liburan sendirian seperti ini. ”Apakah Aideen bisa dikatakan teman sekarang?” Ya, setidaknya begitulah yang ada dalam pikirannya. Daripada celingak-celinguk sendirian seperti anak hilang, lebih baik ia menerima tawaran Aideen. Setidaknya ada teman untuk mengobrol.
Mana ganteng lagi. Uh, Bikin deg-degan, membuat jantungnya melompat-lompat. Berdekatan dengan pria seperti ini benar-benar melelahkan. Next kalau ketemu apotek, aku harus cari obat jantung dulu. Sekalian konsultasi sama dokter spesialis. ”Kasihan jantungku, olahraga terus dari tadi,” pikirnya sambil menahan senyum sendiri.
Namun, ia tetap waspada. Bagaimana jika Aideen sebenarnya orang jahat? Iblis yang bersembunyi di balik wajah malaikat, seperti di novel atau film? ”Ingat, jangan percaya siapa pun, Freya! Sasuke Uchiha saja bilang begitu!”
"Fiuh," ia menghela napas panjang sambil memasukkan kunci dan surat kendaraan milik Aideen ke dalam tas kecilnya. ”Semoga dia lupa sama kunci ini. Aku bisa jual nanti, beli banyak barang! Haha!” pikirnya licik, lalu menggelengkan kepala, memukul pelan kepalanya sendiri. "Apa sih, Frey? Bodoh banget," gumamnya pelan.
Aideen, dari balik kaca kafe, memperhatikan kelakuan Freya dengan senyum geli. Ia menahan tawa melihat gadis itu tersenyum, menggeleng, lalu memukul kepalanya sendiri. Ada sesuatu yang menghibur tentang gadis ini—sederhana, polos, dan mengingatkannya pada keponakannya yang berusia lima tahun.
"Yuk," ajak Aideen, tiba-tiba sudah berdiri di sebelah Freya.
"Let's go!" jawab Freya cepat sambil berdiri. "Kemana kita?"
"Ikuti saja saya," kata Aideen sambil melangkah keluar.
Freya berjalan dengan riang mendahului Aideen. Rasa takutnya tentang mafia tampaknya sudah hilang sepenuhnya. Aideen tertawa kecil di belakangnya sebelum mensejajarkan langkahnya dengan Freya. ”Petualangan ini akan menarik,” pikirnya sambil tersenyum kecil.
-To Be Continue-
