Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Jejak Tak Terduga

Tidur yang tidak sepenuhnya nyenyak membuat Freya terbangun lebih pagi dari biasanya. Ia menggeliat malas di atas kasur, masih merasa lelah setelah pertemuan yang penuh kejutan dengan Aideen. Pikirannya masih dipenuhi bayangan pria asing yang ditemuinya kemarin. Aideen-nama itu terus bergema dalam benaknya.

"Kenapa aku masih memikirkannya?" gumam Freya sambil meregangkan tubuhnya. Sinar matahari pagi dari jendela kamarnya di penginapan kecil itu terasa hangat, tetapi entah mengapa tak mampu mengusir rasa gelisah dalam dadanya.

Setelah mandi dan sarapan ringan di lounge hotel, Freya mengambil peta yang sudah ia beli kemarin sore. Freya memutuskan untuk memanfaatkan hari ini dengan berkeliling Venezia. Ia memeriksa kembali daftar barang titipan teman-temannya di Jakarta, memastikan tak ada yang terlewat.

Ketika Freya melangkah keluar hotel, ia memutuskan untuk memulai harinya di Rialto Market, tempat yang terkenal dengan berbagai barang unik dan suasana lokal yang khas. Sepanjang perjalanan, ia menyempatkan diri berhenti di sebuah kedai kecil untuk membeli secangkir cappuccino. Aroma kopi yang hangat menemaninya melintasi jembatan Rialto yang ramai dengan turis.

Namun, di tengah langkahnya di sekitaran Rialto Market, ponselnya bergetar. Sebuah nomor asing muncul di layar. Dengan ragu, Freya mengangkatnya.

"Halo?"

"Freya, ini Aideen," suara di seberang terdengar tenang, tetapi ada nada mendesak di dalamnya.

"Oh, Tuan Aideen. Ada apa, ya?"

"Saya ingin bertemu. Bisa?"

Freya terdiam. Apa maksud pria ini ingin bertemu lagi? Kemarin saja ia merasa sudah cukup canggung berurusan dengannya. Tapi suara Aideen terdengar berbeda-seperti ada sesuatu yang penting.

"Boleh tahu alasannya, Tuan?" tanya Freya hati-hati.

"Ini tentang kejadian kemarin. Saya merasa belum benar-benar meminta maaf," jawabnya singkat.

Freya menghela napas. Ia tidak suka berutang budi, tetapi rasa ingin tahu mengalahkan keraguannya. "Baiklah. Di mana?"

Piazza San Marco

Freya tiba lebih dulu di lokasi yang dijanjikan. Tempat itu dipenuhi turis yang sibuk berfoto, tetapi Freya merasa dadanya sedikit sesak. Dia tidak tahu mengapa, tetapi perasaan tidak nyaman mulai menyusup.

"Apa yang aku lakukan?" gumamnya sambil mengalihkan pandangan ke arah kanal. Tapi sebelum sempat memikirkan lebih jauh, suara seseorang memanggil namanya.

"Freya."

Freya menoleh. Aideen berdiri tidak jauh darinya, mengenakan celana khaki dan kaos henley berwarna navy dibuka satu kancing paling atas serta sepatu kets. Ia sengaja tidak menggunakan pomade serta kacamata hitam, membuat penampilannya lebih santai, tetapi tetap berwibawa. Pria itu melangkah mendekat, membawa sekotak kecil di tangannya.

"Ini," ucap Aideen sembari menyodorkan kotak itu. "Ganti rugi kecil untuk kejadian kemarin."

Freya ragu-ragu mengambilnya. "Tidak perlu sebenarnya, Tuan. Lagipula saya sudah melupakan insiden itu."

"Tetapi saya belum." Aideen menatapnya serius. "Terimalah. Anggap saja sebagai permintaan maaf saya."

Freya membuka kotaknya perlahan. Di dalamnya ada sebuah syal sutra berwarna biru laut dengan pola sederhana tetapi elegan.

"Ini terlalu mewah," gumam Freya, bingung harus berkata apa.

"Tidak ada yang terlalu mewah untuk permintaan maaf," balas Aideen santai.

Freya hanya bisa tersenyum kecil. "Terima kasih, Tuan."

Mereka berjalan menyusuri kanal. Freya merasa suasana menjadi lebih santai setelah beberapa saat. Namun, rasa penasaran masih menggelayut di pikirannya.

"Tuan Aideen, bolehkah saya bertanya sesuatu?" Freya akhirnya membuka percakapan.

"Tentu. Apa itu?"

"Kenapa Anda bisa berbicara bahasa Indonesia dengan sangat lancar? Maksud saya, Anda tidak terlihat seperti orang Indonesia pada umumnya."

Aideen tersenyum kecil. "Ayah saya orang Indonesia. Saya sering berbicara bahasa Indonesia dengannya di rumah. Meskipun saya lebih sering tinggal di luar negeri, saya selalu ingat akar saya."

"Oh, begitu." Freya mengangguk. "Berarti Anda sering ke Indonesia?"

"Tidak seberapa sering," jawab Aideen, raut wajahnya sedikit berubah. "Ada beberapa alasan yang membuat saya jarang ke sana."

Freya tidak ingin menekan lebih jauh, tetapi rasa ingin tahunya sulit dibendung. "Apa Anda punya keluarga di sana?"

Aideen terdiam beberapa detik sebelum menjawab. "Saya punya. Tapi hubungan kami tidak terlalu baik."

Nada suaranya yang mendadak dingin membuat Freya menyesal bertanya. Dia tahu ada luka di balik kata-kata itu, tetapi tidak ingin mengungkitnya lebih jauh.

"Maaf kalau saya terlalu banyak bertanya," ucap Freya pelan.

"Tidak apa-apa," balas Aideen sambil kembali melangkah. "Kadang pertanyaan kecil justru membuka hal-hal yang kita tutupi terlalu lama."

Setelah berjalan cukup jauh, Aideen berhenti di depan sebuah kafe kecil. "Saya ingin mengundangmu makan siang. Tidak perlu merasa terbebani. Anggap saja ini bagian dari permintaan maaf saya."

Freya menggeleng cepat. "Tuan, ini sudah lebih dari cukup."

"Tapi saya belum merasa cukup." Aideen menatapnya tajam, tetapi tidak mengintimidasi. "Lagipula, saya jarang punya waktu untuk menikmati hari seperti ini. Anggap saja kamu menemani saya."

Freya merasa bingung. Di satu sisi, dia merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik sikap Aideen. Di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa pria ini berbeda dari kebanyakan orang yang pernah dia temui.

"Baiklah," jawab Freya akhirnya. "Tapi saya yang traktir minuman."

Aideen tertawa kecil. "Kita lihat nanti."

Di sela-sela kafe kecil dan hiruk pikuk Venezia, dua orang dengan latar belakang berbeda mulai menemukan jalan cerita mereka sendiri. Namun, di balik senyuman Aideen dan sikap santainya, ada misteri yang perlahan terungkap. Dan Freya, tanpa ia sadari, sedang berjalan menuju sesuatu yang lebih rumit dari yang pernah ia bayangkan.

-To Be Continue-

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel