Bab 4 – Akar yang Berbisik
Malam turun dengan sunyi yang tak wajar. Tidak ada jangkrik, tidak ada suara burung malam, hanya desiran samar angin yang menyusup di antara celah-celah pohon seperti bisikan rahasia.
Lyara duduk di atas batu datar di dekat api kecil yang Lucien nyalakan. Api itu berwarna ungu pucat—bukan karena kayu, melainkan karena bahan dari akar sihir yang ia ambil dari dalam tanah. Api itu tidak menghangatkan tubuh, hanya memberikan cahaya agar roh malam tidak datang terlalu dekat.
Lucien duduk bersandar pada batang pohon besar, memejamkan mata seolah sedang bermeditasi. Tapi Lyara tahu pria itu tidak pernah benar-benar tertidur.
"Lucien," panggilnya pelan.
Mata hitam itu terbuka. “Apa?”
“Aku ingin tahu… kenapa kau bisa ada di sini? Maksudku… kenapa kau tidak bisa keluar dari hutan ini?”
Lucien diam beberapa saat. Ia menatap api ungu itu, lalu menjawab pelan, “Karena aku adalah bagian dari kutukan yang kau coba pecahkan.”
“Tapi siapa kau sebelum itu?”
Ia tidak langsung menjawab. Wajahnya yang dingin seperti batu tampak bergeser sesaat. Sorot matanya kehilangan tajamnya, seperti menyentuh kenangan lama yang ingin ia kubur.
“Aku dulu manusia. Anak dari seorang Penjaga Sihir. Tapi aku mengkhianati hutan ini.”
“Bagaimana bisa seseorang mengkhianati hutan?” tanya Lyara.
Lucien menatapnya. “Dengan cinta.”
Lyara terdiam.
Lucien melanjutkan. “Aku mencintai seseorang dari luar batas. Seorang wanita yang seharusnya tidak boleh menjejakkan kaki di tempat ini. Tapi aku membawanya masuk. Aku pikir aku bisa melindunginya… tapi aku salah. Ia dikorbankan untuk memperkuat segel yang menahan kekuatan hutan agar tidak mengalir ke dunia luar.”
Wajah Lucien menegang. “Dan aku… dikutuk untuk tetap di sini. Menjadi penjara bagi diriku sendiri.”
Lyara menggigit bibir. Ia bisa merasakan amarah dan luka yang terpatri dalam kata-katanya.
“Dan sekarang aku?” gumamnya. “Aku orang luar. Tapi kau… tetap menyelamatkanku.”
Lucien tak menjawab.
Tiba-tiba, suara gemeretak terdengar dari balik semak. Lucien langsung berdiri, tubuhnya kaku.
“Berdiri,” bisiknya. “Jangan gerak sembarangan.”
Lyara mengikuti arah pandangnya. Akar-akar pohon mulai menggeliat di tanah seperti ular lapar. Dari dalam kabut, muncul makhluk tinggi dengan tubuh rapuh, kulitnya seperti kayu terbakar dan matanya berwarna putih mati.
Makhluk itu berjalan terpincang-pincang, tapi setiap langkahnya membuat tanah di sekitarnya membusuk.
“Whisperroot,” kata Lucien pelan.
“Makhluk apa itu?”
Lucien menghunus belatinya sendiri—panjang, berurat seperti tulang. “Akar yang tumbuh dari roh pendendam. Mereka meniru suara yang paling ingin kau dengar.”
Whisperroot itu mendekat. Dan tiba-tiba…
“Ayah?” suara itu terdengar dari mulutnya.
Lyara membeku.
Itu… suara ayahnya. Pria yang meninggalkan mereka saat ia kecil. Pria yang wajahnya hampir ia lupakan.
“Lyara… maafkan aku. Aku menyesal…”
Whisperroot merangkak mendekat, tangan panjangnya terulur seperti hendak memeluk. Tapi dari tangannya, akar-akar tajam mencuat, siap menusuk.
“Jangan dengarkan!” seru Lucien.
Tapi suara itu semakin merintih. “Aku mencintaimu… aku mencintaimu, Nak…”
Dengan gemetar, Lyara mencabut belati pemberian Lucien.
“Aku… sudah memaafkanmu sejak lama,” bisiknya.
Lalu ia menebas makhluk itu dengan satu ayunan.
Jeritan tajam menggema, dan Whisperroot itu mencair seperti lendir hitam, menyerap kembali ke dalam tanah.
Sunyi. Hanya detak jantung Lyara yang tersisa.
Lucien menghampiri. “Kau kuat,” katanya pelan.
Lyara masih gemetar. Tapi di matanya, tak ada air mata.
“Tidak, aku cuma lelah,” sahutnya.
Lucien menatapnya lama. “Lelah… juga bisa membuatmu lebih tajam daripada siapa pun.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Lyara tidur di samping api ungu. Bukan karena ia merasa aman—tapi karena ia mulai belajar bagaimana cara bertahan.
