Bab 3 – Ujian Pertama
Pagi datang tanpa matahari. Cahaya yang menyinari hutan hanya berupa semburat abu-abu pucat yang menyusup di sela-sela dedaunan. Tidak ada burung berkicau, hanya gemerisik akar yang bergerak pelan seperti ular malas mencari mangsa.
Lyara menggigil meski tidak merasa dingin. Yang ia rasakan hanyalah tekanan—seperti ada sesuatu yang terus mengawasinya dari balik setiap pohon.
Lucien menunggunya di luar lubang pohon. Ia berdiri tegap, seolah telah berjaga semalaman. Matanya tetap sama: gelap, tak memantulkan cahaya. Tapi pagi ini, ada sesuatu yang berbeda.
Ia membawa sebilah belati.
"Untuk apa itu?" tanya Lyara curiga.
"Untukmu," jawab Lucien, menyodorkannya. "Kau akan membutuhkannya."
Lyara menatap benda itu. Gagangnya terbuat dari akar tua yang melilit tulang binatang kecil. Bilahnya hitam dan ringan, terasa panas saat disentuh. Aneh… seolah belati itu bernafas.
“Kita akan ke mana?” tanyanya, menyelipkan belati ke ikat pinggang.
Lucien menunjuk jalur sempit yang membelah hutan. “Ke tempat di mana kau akan menghadapi Bayangan Pertamamu.”
“Bayangan?”
Lucien tidak menjawab. Ia hanya mulai berjalan, dan Lyara mengikuti, meski hatinya tak henti berdebar.
Mereka tiba di sebuah tanah lapang yang dijaga oleh dua patung raksasa. Patung itu berbentuk manusia berkepala rusa, mulut terbuka lebar seperti sedang menjerit.
Tanahnya berwarna merah gelap, seperti pernah disirami darah. Di tengahnya, berdiri sebuah cermin tua—besar, tinggi, dan penuh retakan. Permukaannya memantulkan hutan di sekitarnya, tapi tidak menampakkan bayangan Lyara.
“Kau harus masuk,” kata Lucien tenang.
Lyara menatap cermin itu, lalu kembali menatap Lucien. “Apa maksudmu masuk? Ini cermin, bukan pintu.”
“Bagi manusia biasa, iya,” jawab Lucien. “Tapi kau tidak sepenuhnya manusia. Buktikan itu. Sentuh permukaannya. Lihat apa yang keluar.”
Lyara menelan ludah. Tangannya gemetar saat ia mendekat. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah tanah di bawahnya ingin menahan tubuhnya tetap di sana.
Ia menyentuh cermin itu.
Dan semuanya berubah.
Lyara berdiri di tengah sebuah ruangan—tidak, ini bukan ruangan biasa. Ini adalah kamarnya sendiri. Yang dulu. Sebelum ia terbangun di hutan.
Tempat tidur kecil dengan seprai bunga, jendela yang menghadap ke taman rumah, dan… suara.
Suara ibunya.
“Lyara… kau mau aku bacakan cerita sebelum tidur?”
Lyara membeku.
Ibunya sudah meninggal. Bertahun-tahun lalu. Tapi suara itu begitu nyata. Ia berbalik, dan di sana, wanita itu berdiri. Sama seperti dalam ingatannya. Hangat. Tersenyum.
“Mama?” bisik Lyara.
Namun sebelum ia bisa mendekat, suara Lucien bergema di kepalanya:
“Itu bukan ibumu. Itu adalah ingatan yang dikuliti dan dipakai oleh hutan.”
Sosok sang ibu berubah. Matanya menghitam. Senyum di wajahnya menegang. “Kenapa kau tidak datang saat aku butuh? Kenapa kau membiarkanku mati sendirian?”
“Mama…?” Lyara mundur.
Sosok itu berjalan cepat, berubah menjadi hitam seperti jelaga, melesat ke arahnya. “Kau! Anak durhaka! Kau seharusnya mati bersamaku!”
Lyara berteriak dan mencabut belati. Ia menebas udara.
Dan ketika cahaya kembali menyala…
Ia berdiri kembali di tanah lapang.
Napasnya terengah. Tubuhnya gemetar. Cermin itu kini retak lebih parah, dan dari dalamnya, darah hitam mengalir pelan.
Lucien berdiri di sisi seberang.
“Kau melihatnya,” katanya.
Lyara tidak menjawab. Ia menatap tangannya yang masih menggenggam belati. “Itu… bukan ibuku. Tapi itu… tahu hal-hal yang tidak mungkin diketahui siapa pun.”
Lucien mengangguk. “Bayangan Pertamamu telah menunjukkan bentuknya. Hutan menguji ingatan. Jika kau percaya padanya, kau akan hilang seperti mereka yang datang sebelum.”
Lyara menutup matanya. Ia hampir menyerah.
Tapi sekarang ia tahu… hutan ini bukan hanya tempat sihir. Ini adalah medan perang batin.
Dan ia belum kalah.
