Bab 2 – Hutan yang Tidak Pernah Tidur
Lyara mengikuti Lucien tanpa benar-benar tahu ke mana ia melangkah. Kabut menebal di belakang mereka, menutup jalan yang baru saja mereka lalui. Seolah hutan ini sengaja menutup semua kemungkinan pulang.
Langkah mereka sunyi, tapi dunia di sekitarnya hidup. Di kejauhan, suara gemeretak ranting terdengar seperti tawa anak kecil. Akar di bawah kaki Lyara kadang bergerak sendiri, seolah menguji keberanian atau sekadar bermain-main dengan korbannya.
Lucien berjalan lurus, tubuhnya seperti bagian dari hutan itu sendiri. Tak satu pun makhluk liar mendekatinya.
“Kenapa aku?” tanya Lyara, akhirnya tak bisa menahan rasa penasaran dan takut yang mendidih di dada. “Kenapa bukan orang lain?”
Lucien menoleh perlahan. “Karena kau darah terakhir dari mereka yang pernah mencoba memenjarakan hutan ini.”
“Apa maksudmu?”
Ia tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia berhenti di depan pohon besar yang batangnya berlubang seperti gerbang. Di dalamnya, sebuah cahaya redup berkelip—seperti nafas yang tenang. Lucien mengangkat tangannya, dan akar di sekitar lubang membuka, memperlihatkan ruang sempit yang hangat.
“Kita bermalam di sini. Hutan tidak tidur, tapi manusia harus.”
Lyara melangkah masuk, ragu. Tempat itu sempit tapi bersih. Aroma tanah bercampur dengan getah manis menyambutnya. Anehnya, ia merasa lebih tenang begitu berada di dalamnya.
Lucien tidak ikut masuk. Ia berdiri di luar, membiarkan bayangan menyelimuti dirinya.
“Kau tidak akan tidur?” tanya Lyara.
“Aku bagian dari hutan ini. Dan hutan… tidak pernah tidur,” jawabnya, menatap jauh ke dalam kegelapan.
Lyara menatapnya sebentar, lalu memejamkan mata. Tapi pikirannya tak bisa diam. Apa maksud dari darah terakhir? Siapa sebenarnya dirinya? Dan kenapa Lucien menyebut hutan ini seperti makhluk hidup?
Ia mengingat tanda di lengannya. Akar yang menyala. Detaknya.
Seolah hutan itu kini bernafas lewat dirinya.
Suara bisikan membangunkannya. Lyara terbangun dalam gelap. Ruang itu masih sama. Tapi suara itu… tidak berasal dari Lucien.
Ia mengendap ke luar, dan matanya membelalak.
Seluruh hutan kini bercahaya.
Daun-daun bersinar hijau pucat. Kabut berubah menjadi bentuk-bentuk bayangan transparan—seperti roh yang menari. Mereka tidak menyadarinya. Mereka hanya berjalan… mengulangi langkah yang sama berulang-ulang.
Satu di antaranya berhenti.
Bayangan itu menoleh, meski tak punya wajah. Tapi Lyara bisa merasakan… rasa sedihnya.
“Kau… bisa melihat kami,” bisiknya. Suaranya seperti daun basah yang bergesek pelan.
“Siapa kalian?” tanya Lyara.
Bayangan itu melayang mendekat. “Kami adalah mereka yang tidak keluar… yang terlalu lambat, atau terlalu takut…”
“Terlalu percaya,” sambung bayangan lain di kejauhan.
Seketika, Lucien muncul dan mengangkat tangannya. Bayangan-bayangan itu menghilang dalam kilatan cahaya hitam.
“Jangan bicara dengan mereka,” katanya tajam. “Mereka bukan roh. Mereka adalah bagian dari hutan. Umur mereka sudah mati, tapi ingatan mereka masih hidup, dipelihara untuk menipu orang baru sepertimu.”
Lyara mengatup mulut. “Tapi… mereka bilang mereka dulu juga manusia.”
Lucien menatapnya. “Dan sekarang kau tahu, betapa berbahayanya tempat ini. Apa pun yang kau dengar, lihat, atau rasakan di malam hari… jangan percaya.”
“Termasuk padamu?” tanya Lyara, sengaja.
Lucien tidak menjawab. Tapi matanya—mata yang gelap dan hampa itu—bergetar sesaat.
Lalu ia berbalik. “Besok, kau akan menjalani ujian pertamamu. Jika kau gagal… hutan akan mengambilmu.”
Dan dengan itu, ia kembali larut dalam kabut. Meninggalkan Lyara sendirian di bawah langit yang kini dipenuhi cahaya roh.
