Bab 1 – Tumbal Terakhir
Kabut turun tanpa aba-aba.
Bahkan saat langit masih menyisakan sisa jingga senja, hawa dingin merayap seperti kabut es yang menyentuh kulit. Lyara membuka matanya perlahan. Kepalanya berat. Lantai di bawah tubuhnya dingin, berlumpur, dan berlumut.
Ia terduduk, mencoba menstabilkan napas, tapi dunia di sekitarnya terasa asing. Sunyi. Tidak ada suara angin. Tidak ada suara burung. Hanya desiran lembut dedaunan—dan itu pun... seperti berbisik.
Di mana ini?
Ia mengingat samar-samar. Terakhir, ia sedang dalam perjalanan pulang dari kampus. Ada suara keras. Cahaya menyilaukan. Lalu... gelap.
Sekarang, ia terbangun di tengah hutan yang tak ia kenali.
Pohon-pohon menjulang tinggi, lebih tinggi dari apa pun yang pernah ia lihat. Kulit batangnya hitam seperti arang, namun berkilau seperti kaca. Udaranya pekat dengan aroma tanah basah dan bunga mati. Kabut tipis menggantung di antara akar dan daun, membentuk lorong samar yang seakan memanggil.
"Ini... mimpi, kan?" gumam Lyara sambil memegang kepalanya yang pening.
Tapi ketika ia berdiri, rasa nyeri menyengat muncul di lengan kirinya. Ia menarik lengan jaket, dan matanya membelalak.
Ada tanda.
Simbol bercahaya berbentuk akar menyebar dari pergelangan tangan hingga siku. Tampak seperti luka bakar... tapi anehnya bercahaya biru pucat, dan denyutnya mengikuti detak jantungnya sendiri.
Seketika, suara berat terdengar dari balik kabut.
"Kau terlalu cepat bangun."
Lyara berbalik. Nafasnya tercekat.
Seorang pria—atau lebih tepatnya, makhluk berwujud pria—berdiri tak jauh darinya. Tubuhnya tinggi, berselubung jubah hitam yang menyatu dengan kabut. Rambutnya hitam kelam, dan matanya... tidak seperti manusia. Mata itu sehitam malam, tidak memantulkan cahaya, namun di dalamnya seolah ada bintang mati yang tenggelam.
"Siapa kau?" Lyara mundur satu langkah, tapi akar di bawahnya bergerak, melilit kakinya seolah memperingatkan agar tak kabur.
"Aku... adalah mereka yang tertinggal. Penjaga. Bayangan. Terserah kau mau menyebutku apa." Ia mendekat, dan setiap langkahnya membuat tanah di sekitarnya berubah menjadi gelap. "Tapi bagimu, aku adalah satu-satunya alasan kau masih hidup di tempat ini."
“Tempat apa ini?” suara Lyara bergetar. “Kenapa aku di sini?”
Makhluk itu menatapnya lama. Lalu, dengan nada getir, ia berkata:
“Selamat datang di Enchanted Woods, Lyara Ardent.
Kau adalah Tumbal Terakhir dari dunia yang ingin melupakan keberadaan hutan ini.”
Hening.
Kata-katanya terdengar seperti kutukan. Atau nubuatan. Atau mungkin keduanya.
"Ini... tidak masuk akal. Siapa yang membawa aku ke sini?" tanyanya.
Lucien mengangguk pelan. "Sesuatu yang lebih tua dari waktu. Dan lebih lapar dari kematian."
Ia mengangkat tangan, dan dari tanah, muncul lingkaran akar yang membentuk semacam simbol raksasa. Di tengahnya, tampak sosok manusia... terkubur setengah, tubuhnya dipenuhi tanda seperti milik Lyara.
Mayat. Beku. Mati.
Lyara mundur. Napasnya tercekat. "Apa yang terjadi pada mereka?"
Lucien menatap tajam. "Mereka yang mencoba melarikan diri. Hutan ini... tidak menerima penolakan. Dan kau—" Ia menunjuk tanda di lengan Lyara. "—telah dipilih."
"Untuk apa?"
Lucien tersenyum dingin. "Untuk menebus dosa darahmu. Atau... mati seperti mereka."
Kabut berdesir pelan. Angin malam menari di antara pohon, dan suara lirih seperti tawa terdengar di kejauhan.
Dan untuk pertama kalinya, Lyara sadar…
Ia tidak sedang bermimpi.
Ia terjebak di dunia yang hidup.
Dan hutan ini ingin menelannya.
